Saturday, May 4, 2013

Mahasiswa Abadi di Kehidupan


 Aku ingin terus belajar, ingin meraih bintangku yang paling terang, ingin merajut segenap mimpi dan harapanku untuk mengajarkan dan berbagi pembelajaran dimanapun dan sampai kapanpun. Aku ini mahasiswi abadi di universitas kehidupan. Seperti ribuan bahkan jutaan orang lainnya, yang menghuni sepersekian wilayah dan menginjakan bumi di tanah air tercinta Indonesia yang merasa begitu digalau jika berbicara mengenai ujian nasional yang harus dilaksanakan meski mengetahui tidak ada esensi yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan dimana ada proses mengajar, membimbing dan menjadikan seseorang/anak didik untuk menjadi manusia-manusia dengan sosok dan bentuk yang memiliki prilaku dan akhlak terbaik dan semua itu tidak bisa dihasilkan hanya dengan proses menjawab soal semata karena esensi pendidikan yang maha penting akan berubah jalurnya hanya menjadi persekolahan, semua kerap hanya mendapatkan nilai dan prestigious terbaik meski dengan menghalalkan segala cara. Heran, kenapa pemerintah masih saja menerapkan agenda Ujian Nasional. Padahal sudah terlalu banyak hal yang mencacatkan esensi pendidikan itu sendiri. Selain dengan status lulus maupun tidak yang berdampak pada melabelkan siswa dengan beban mental, Ujian Nasional juga kerap menjadikan para siswa maupun guru turut melakukan penghalalan segala cara untuk menutupkan diri dari rasa malu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misal ada siswa yang tidak lulus. Tidak hanya itu, Ujian Nasional juga menjadi santapan mengiurkan bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kecurangan dengan bermain anggaran percetakan atau bahkan dalam pembuatan soal-soal, bairlah saja hanya kepada Allah kita meminta segenap perlindungan dari segenap keburukan yang terjadi.Hufftt…aku menutup coretan pada buku catatanku sambil menarik nafas dan tertahan sesak. Namun ternyata selain itu ada masalah lain yang mengambil porsi ruang lebih banyak dikepalaku, tapi aku tak ingin terlalu berlarut dalam masalah sehingga cukup kuhempaskan saja dan melanjutkan hari ini bersama kawan-kawanku menanti pengumuman kelulusan dari sekolah menenggah atasku.

Selembut sapaan mentari yang menghangatkan jiwa-jwa. Sesejuk angin yang menerpa wajah-wajah dengan kelembutan alam yang disyahdukan. Di hari pengumuman kelulusan ini ketika sebuah amplop putih mendarat di tanganku, ada setitik air yang turut menggenang disekitar bola mataku. Kucoba bertahan agar tak menghapus kebahagian yang ditorehkan hari ini untuk kesyukuran. Kubuka amplop kepunyaanku perlahan dari sisi kanan dan kiri juga telah nampak kawan-kawanku yang bersorak kegirangan, ada yang saling berpeluk mesra dengan hasil kelulusan yang didapatkan. Semakin perlahan ku lepaskan setiap lekatan lem yang ada dan didalamnya tertera bahwa Amelia Indah Pratiwi dinyatakan lulus dengan rincian nilai yang kudapatkan, aku tersenyum dan mengucap syukur bahwa segala jerih payah yang diusahakan dalam mengerjakan ujian nasional cukup terbayarkan. Meski dipalung hati masih ada sesak mengganjal yang masih membelenggu di dalam dada, termasuk segala pikir yang turut berputar-putar memenuhi rongga kepala, ya ada rasa takut dan khwatir yang begitu amat berlebihan bahkan lebih dari sekedar dari amplop putih yang baru kupastikan isinya yang memang tidak jauh berbeda dengan apa yang bisa kuprediksikan dan dari segala usaha yang telah aku kerahkan.

Karena ganjalan itulah aku tak bersikeras seperti kawan-kawanku yang tengah mempersiapkan rangkaian puing-puing harap dan asa untuk keselanjutan pendidikan dan sekolah tingkat tinggi, mempersiapkan diri dan suasana diri dan hati untuk universitas mana yang akan menjadi tujuan kelanjutan pembelajaran kenaikan tingkat yang kira-kira pas dan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan pastinya biaya selama study. Seharusnya begitu juga dengan diriku, turut mempersiapkan diri untuk mengikuti tes-tes masuk universitas. Namun pagi tadi, ketika tengah membantu ibuku menyiapkan santap sarapan seperti biasanya. Dengan tatapan serius  namun penuh keteduhan, ibu ku menatap wajahku. “Nak, maafkan ibu. uang tabungan ibu tahun kemarin sudah terkuras habis untuk biaya berobat ayahmu. Sepertinya ibu tidak sanggup untuk menyekolahkan kamu lagi ke tingkat universitas seperti kawan-kawanmu. Maafkan ibu,” sambil mengelap butir-butir air matanya ibuku terisak.

Ya Rabb, tak kuat rasanya hatiku mendengarnya,” ucapku dalam hati. Hampir sebuah piring yang tengah ku pegang terlepas karena tanganku juga turut bergetar, namun segera aku menguatkannya. Aku tak ingin menangis dan membuat ibuku semakin terluka. Ku tahan semua perasaan kecewa ini sedalam-dalamnya. Hingga aku mampu menyungingkan senyum dan ibuku tak perlu khawatir dengan apa yang baru saja diucapkannya. Dan melanjutkan hingga sarapan siap.

Di meja makan, ibuku kembali membuka kembali perbincangan. “Nak, kau tahu bahwa ibu begitu sangat menyayangimu”. Aku mengangkat kepalaku dan tepat menatap ibu, kemudian tersenyum dan mengangguk dan melanjutkan sarapanku. Namun pagi ini sepertinya ibuku begitu ingin banyak bercakap-cakap.  “Nak, ibu dulu punya seorang kawan beliau sahabat baik ibu. Sejak dulu kita selalu bersama-sama dalam segala aktifitas, dia teman yang baik. Hingga dia memutuskan menikah dan tinggal di daerah Lampung mengikut suaminya. Kala itu kami berjanji jika nanti memiliki anak yang berlawanan jenis maka kami akan menyatukannya dalam ikatan pernikahan agar hubungan kami tidak terputus. Dan betul saja, ibu memiliki dirimu dan dia memiliki seorang putra, “ ibuku menghela nafas kemudian melanjutkan.

“Kemarin saat di pasar, tanpa disengaja ternyata Allah mempertemukan kami kembali. Dia sedang pulang di rumah orang tuanya, di tempat kita dulu senang bermain-main. Kami bercerita banyak hal dan sampailah pada janji kita dulu. Nah, ibu ingin bertanya padamu bagaimana jika ibu berniat ingin menjodohkan dirimu dengan anak lelakinya. Mudah-mudahan anaknya juga orang yang baik sebagaimana perangai ibunya, dan ibu juga yakin dan begitu percaya serta tidaka ada rasa khawatir jika kau menyetujui niatan ini.” Ibuku terlihat begitu nampak senangnya menceritakan mimpinya.

Aku masih meneruskan kunyahan terakhirku, dan menatap ayahku yang tengah terbaring lemah karena vonis lumpuh oleh dokter selama setahun terakhir ini. Kemudian angan-anganku melayang kepada cita dan harapku untuk dapat duduk dibangku perkuliahan dan study pendidikan mengejar cita-citaku. Dan kini ditengah gerbang kelulusanku, ibu tiba-tiba menyuguhkan aku suatu gerbang yang berbeda yakni pernikahan. Ingin mencoba tersenyum manis namun rasanya begitu amat sulit aku menarik pipiku untuk melebarkan dua sisinya. Aku berjalan gontai menuju kamarku. Mencoba menghempaskan segala risau yang kini melandaku.

Rasanya terlampau sulit semua, aku yang tak mampu meneruskan pendidikanku lagi. Meski demikian harusnya aku bisa terus berjuang dan berusaha sendiri. Namun teringat dengan perjanjian orang tuaku itu, teringat gerbang baru yang disiapkan itu. Bahkan aku sama sekali tak mengenal siapa orang yang kerap akan mendampingiku melanjutkan kehidupan ini hingga akhir. Apakah dia juga mempunyai cita-cita dan harapan yang sama, apakah dia akan mendukungku mengejar segenap mimpi-mimpi dan harapanku. Ataukah dia hanya akan menjadikanku sebagai seorang pelayan di rumahnya, ataukah seperti apa. Terlampau berat aku meraba-meraba kejadian apa yang akan terjadi dan bagaimana aku menemukan cara untuk menjalankan dan menerima semua ini dengan sebaik-baiknya. Apalagi dimasa ini ketika seluruh teman-temanku bisa menentukan jalan kehidupannya masing-masing bersama seseorang yang juga merupakan pilihan hatinya tidak seperti agenda siti nurbaya macam ini.  “Oh ibu, aku pun juga sangat menyayangi dan menghormatimu. Dan tak sedikitpun aku ingin melukai perasaanmu. Namun rasanya aku tak sanggup dengan semua ini. Ya Rabb tunjukan jalanNya.

Semakin gontai rasanya. Aku semakin tak mengerti semua terjadi begitu cepatnya. Dibantu oleh penghulu yang memintaku untuk menandatangani buku kecil berwarna merah dan biru. Semua orang tersenyum dan nampak berbahagia dengan acara yang penuh bebungaan dan makanan yang tersedia. Aku didandani seperti barongsai namun ucap mereka yang berada disekitar bahwa aku cantik bagai ratu balqis berdampingan dengan Sulaiman, atau Kate Midleton berdampingan dengan Pangeran Wiliam. Ada seorang lelaki disampingku namanya Khoirul Umam berusia 10 tahun diatasku dan dialah anak dari sahabat ibuku.Ya Rabb, aku menikah hari ini.

Acara seharian full begitu lelah meluluhkan seluruh sendi-sendi badanku, banyak tamu yang datang memberikan do'a restu dan do'a keberkahan agar menjadi rumah tangga sakinah, mawaddah, warahmah dari sanak-saudara dan teman-teman serta guru-guruku. Ini awal perjalanan pertama sebuah gerbang rumah tangga yang harus kujalani.

Aku tak mengerti dengan apa yang harus kukerjakan dan bagaimana melewati hari-hari ini. Meskipun cara memasak dan membersihkan rumah memang kerap menjadi tugasku dirumah bersama ibuku dulu. Namun kurasa bukan hanya itu, ada pekerjaan besar yang harus dilakukan apalagi jika kini sudah berstatus suami dan istri, tetapi aku betul-betul tidak mengerti. Mas Khoirul Umam adalah guru terbaik yang kini kumiliki untuk membimbing dan mengarahkan apa-apa yang perlu dan dapat kulakukan. Bahkan begitu simplenya beliau hanya memintaku untuk tersenyum dan menyiapkan secangkir kopi jika dia datang, begitu saja katanya. Aku juga diberikan kebebasan melakukan kegiatan apapun yang aku sukai, aku tidak perlu mengkhawatirkannya jika dia kerap akan pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali karena dia termasuk orang yang sibuk dengan pekerjaannya.

Di hari ketika dia mengajakku untuk menempati sebuah rumah yang sudah dipersiapkannya. Ini adalah kali pertama dimana aku harus meninggalkan aktifitas yang biasa selalu ditemani ibu bersamaku. Di rumah baru kami, ya dia mengulang agar hanya aku dapat tersenyum dan membuatkan secangkir kopi untuknya. “Mel, kopinya tak perlu diberi gula,” pintanya. Aku mengerutkan dahi, dan bertanya-tanya mengapa. Tapi langsung saja kusediakan secangkir kopi permintaannya, Mas Khoirul Umam memintaku untuk duduk dihadapannya. “Gag perlu pake gula kopinya, udah cukup manisnya kalo aku minumnya sambil pandangin kamu,” ucapnya sambil meneguk kopinya. Tersipu malu aku dibuatnya langsung saja kumendaratkan cubitan kecil ke pinggangnya dia terpingkal. Ya betul, kata ibuku benar bahwa Mas Khoirul Umam memang orang yang baik serta pandai bergurau.

Hari selanjutnya berjalan sebagaimana pengantin baru yang melewati masa-masa indahnya. Mas Khoirul Umam memang begitu loyal dengan pekerjaannya. Dia sering pulang larut malam, dan aku begitu khawatirnya sehingga sering tertidur di ruang tengah ketika menunggunya, meski kerap dia memarahiku agar pergi tidur lebih awal saja, karena dia juga membawa kunci rumah. Namun aku tetap membandel, lagi pula bukankah tugasku memang hanya tersenyum menyambutnya. Jadi, jika aku tertidur bagaimana bisa aku tersenyum.

Berjalan seperti keadaan rumah tangga seperti biasanya saja, bahkan bisa dikatakan tanpa perdebatan dan jauh lebih tenang dan jauh lebih biasa-biasa dari keadaan rumah tangga yang dialami oleh pasangan nikah muda pada umumnya. Ya, mungkin saja karena memang Mas Khoirul Umam yang begitu sangat mengerti dan mapan dengan pribadinya begitu juga dengan aku yang memang tak banyak membantah jika Mas Khoirul Umam meminta apapun dari diriku.

Namun dari keadaan yang boleh dikatakan selalu biasa inilah, sehingga aku pun terbawa untuk tidak sedikitpun menaruh curiga ataupun khawatir akan berbagai hal. Aku sangat amat mempercayai mas Khoirul Umam, toh lagi pula biasanya mas Khoirul Umam juga selalu menceritakan segala hal yang dialami selama satu hari kerjanya. Kejanggalan-kejanggalan juga tak biasa ditampakan, jadi ya rumah tangga kami memang berjalan seperti biasa saja. Kadang aku begitu sungkan untuk bertanya jika kulihat memang sesekali ada kejanggalan meski hanya hal sepele, misal ketika mas Khoirul Umam salah memanggilku. Namun aku tak menggubris itu dan lebih memilih untuk menyimpan rasa penasaran dan kejanggalan itu saja, lagipula itu hanya hal sepele. Aku terus percaya bahwa Mas Khoirul Umam orang yang baik, jadi tak mungkin saja jika dia berusaha menyembunyikan apapun dariku.

Ternyata dengan cara aku mengabaikan rasa penasaran itu, kejanggalan demi kejanggalan itu terus terjadi. Namun seketika membaca raut mukaku dan menampakan kecurigaan, Mas Khoirul Umam malah mengajakku untuk menikmati makan malam di luar. Di sebuah restoran mewah, disanalah ketika aku tak pernah membayangkan ada hal-hal yang terjadi sebelumnya, ketika suamiku memperkenalkan sesosok wanita berbusana muslimah begitu anggun dan cantiknya bernama Hafsah, dia diperkenalkan sebagai sepupu dari Mas Khoirul Umam yang telah menyelesaikan S2 di Kairo.

Darinyalah Mas Khoirul Umam bermaksud agar aku belajar banyak hal dari Hafsah, siapa tau jika aku memang masih berniat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang bangku perkuliahan nanti. Dan mas Khoirul Umam memberikan saran agar aku belajar tahsin dan menghafal al-Qur'an saja terlebih dahulu kepada Hafsah, lagi pula Hafsah juga di Jakarta tidak tinggal bersama orang tuanya sehingga banyak waktu jika aku merasa kesepian dan butuh seorang teman untuk beraktifitas dirumah.

Aku makin merasa akrab dengan Hafsah ternyata dia memang wanita muslimah yang begitu cerdas, baik, serta berwawasan luas. Dia banyak menceritakan hal dan kejadian yang dialami selama ini. Namun aneh juga diusianya yang hampir memasuki usia 29 tahun seusia dengan Mas Khoirul Umam, Hafsah tidak menceritakan tentang kehidupan percintaannya maupun tentang siapa yang diidamkan menjadi pasangannya. Atau mungkin Hafsah memang terlampau serius untuk mengejar gelar doctornya di Kairo sana. Entahlah, namun aku terlampau bersyukur ketika Mas Khoirul Umam memberikan aku seorang teman dan sahabat yang sebaik dan selembut Hafsah.

Hingga hari dimana ketika itu hujan lebat dan mas Khoirul Umam pulang memang sangat larut. Hafsah kuminta untuk bermalam dirumahku dan memutuskan masuk ke dalam kamar tamu yang berada dipojok sejak sore tadi. Aku menunggu mas Khoirul Umam dengan hati yang harap-harap cemas karena petir dan gelegar kian menyambar-nyambar dengan tajamnya. Arah jarum jam berhenti diangka 2 dini hari, deru suara mobil suamiku terdengar sudah tiba di pekarangan, aku telah menyiapkan air hangat jika mas Khoirul Umam ingin menyegarkan diri. Mas Khoirul Umam membuka pintu dan aku tengah berdiri dengan tersenyum dihadapannya, dia mendaratkan kecupan hangat dikeningku. Aku menyiapkan secangkir kopi, tetapi mas Khoirul Umam memutuskan untuk mandi air hangat saja, kemudian mengajakku untuk mendirikan Sholat Lail berjamaah bersamanya.

Pukul setengah tiga dini hari dan rintik-rintik hujan sudah mulai mereda, mas Khoirul Umam mengajak untuk merebahkan diri hingga subuh datang sambil mengajakku berbincang-bincang pelan. Awalnya dia tanyakan tentang bagaimana Hafsah sahabat baruku yang dikenalkannya beberapa minggu lalu, dengan lugas dan cekatan aku begitu senang menjawabnya terlebih dia memang wanita yang baik, cerdas, dan berwawasan luas. Kupikir mas Khoirul Umam mau mengarahkan sudah terpikir jurusan kuliah apa yang ingin ku ambil dan ingin private pelajaran apa lagi dari Hafsah. Namun mas Khoirul Umam malah membuka suatu rahasia yang dia sembunyikan, yakni sebetulnya Hafsah bukanlah sepupu aslinya. Hafsah dahulu adalah teman satu kelas mas Khoirul Umam di perkuliahan di Lampung.  Dan Hafsah adalah istri mas Khoirul Umam yang dinikahi sejak 5 tahun silam secara agama meski tidak tercatat di kantor urusan agama karena orang tua mas Khoirul Umam tidak merestui dengan alasan masyarakat menjustifikasi Hafsah beraliran sesat di Lampung karena begitu taatnya Hafsah menjalankan agama sehingga hal tersebut merupakan keasingan, sehingga ibunya mengajak mas Khoirul Umam untuk pindah ke Jakarta kerumah neneknya, disanalah ketika ibuku berkunjung dan serta merta saja menjodohkan pernikahan kami. Hafsah wanita yang tangguh, dia terus belajar hingga dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Kairo dan langsung saja kembali ke Jakarta dan menemui mas Khoirul Umam. Ya Rabb, mendengar pengakuan ini aku bagai tersengat aliran listrik serta merta menusuk jantung ku.

Entah mendapat bisikan dari setan sebelah mana, tiba-tiba saja aku begitu amat murka. Aku begitu ingin melemparkan Hafsah kegenangan hujan yang petirnya menyambar-nyambar dan menggelegar. Aku langsung sigap bangkit dan menghampiri kamar Hafsah di pojok sebelah. Aku mengetuk-ketuk keras pintunya, tidak beberapa lama pintu baru dibukanya. Ku tatap wajah Hafsah dengan masih berbalut mukena yang dikenakannya mungkin selesai melaksanakan sholat sunnah. Tadinya aku begitu murka dengan semua pengakuan yang kudengar dan ingin saja aku menampar wajah dan menghabisi Hafsah dari pandanganku. Namun menatap wajahnya, entahlah ada kesejukan yang tiba-tiba menghalau marah itu. Hafsah seketika juga sesenggukan, dan berbicara lewat tatapan dengan mas Khoirul Umam yang juga datang menghampiri. “Kau sudah jujur dan Amel sudah mengetahui  semua?”, bisik Hafsah. Dan dijawab anggukan kecil oleh mas Khoirul Umam. Tiba-tiba Hafsah memelukku dan aku menangis sejadi-jadinya karena tak kuasa dengan semua hal ini.

Aku ingin terus belajar, ingin meraih bintangku yang paling terang, ingin merajut segenap mimpi dan harapanku untuk mengajarkan dan berbagi pembelajaran dimanapun dan sampai kapanpun. Aku ini mahasiswi abadi di universitas kehidupan. 

Salah apa diriku, dengan semua kenyataan yang kini berada dihadapanku. Bagaimana aku menyusun puing-puing kehancuran dan keluluh lantakan perasaanku. Jadi, siapa yang perlu disalahkan. Aku begitu gamang, begitu tak mengerti dengan setiap serpihan-serpihan kejadian yang menimpa diriku. Begitu tak menyangka mengapa takdir ini yang harus kudapati, sedang semua mimpi dan harapku untuk memburu ilmu di jenjang bangku perguruan tinggi sudah dimakan awang-awang. Aku begitu membenci, entah siapa yang harus ku benci. Apakah ibuku yang menjodohkan aku, ataukah mas Khoriul Umam suamiku yang telah membohongi aku, ataukah ibu mertuaku yang tak pernah menceritakan semua hal ini sedari awal, ataukah kepada Hafsah yang sebetulnya paling berhak untuk membenci karena mengetahui bahwa suaminyalah yang  telah aku rebut selama lima tahun ini, dan aku telah menduduki posisinya. Ya Rabb, Aku hanya berpasrah dan tak mengerti semua.

Tidak, orang tuaku bermaksud membahagiakan aku dengan pernikahan kami. Begitu juga dengan ibu mertuaku pasti inginkan kebaikan juga untuk keluarganya dan persahabatannya bersama ibuku. Mas Khoirul Umam, dia adalah suami terbaik, dia tak pernah menyeringai marah apalagi berkata kasar dan mendaratkan pukulan jika aku berbuat salah. Dan Hafsah, bukankah dia perempuan yang baik dan cerdas. Dia menempatkan diri sebagai sahabat terbaikku, dia mengajari aku berbagai hal, dia begitu lembut, dan dia begitu tabah dan sabar hingga dia berkenan diperkenalkan sebagai sepupu mas Khoirul Umam. Ya Rabb, Aku begitu tak kuasa. Waktu menjelang subuh ini begitu menyakitkan
****
Hingga pagi ketika sarapan, semua nampak kikuk. Mas Khoirul Umam memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor. Hafsah sudah berkemas-kemas. Aku masih berdiam diri mencoba menyusun puing-puing semua hal ini. Nampak dihadapanku ulah seorang bocah berusia dua tahun yang coba bermain-main dengan kakak perempuannya. Berebut mainan dan kadang kakaknya begitu usil dengan adiknya. Namun ketika adiknya berjalan hampir saja terjatuh karena mainan yang berserakan si kakak sigap membantu dan juga merapikan seluruh mainan tersebut.

Ya, semua kejadian itu terjadi sudah 3 tahun silam. Dan kini aku tengah mengandung diusia 3 bulan dengan kepala pening dan perut yang memualkan. Bocah berusia dua tahun itu adalah anak Hafsah namun bukan anak mas Khoirul Umam. Hafsah masih sering berkunjung setiap sebulan sekali. Dan tengah bermain-main dengan putri kesayanganku yang sebentar lagi juga akan bertambah dengan adiknya. Ternyata pernikahan dahulu antar mas Khoirul Umam dengan Hafsah telah gugur karena selama 5 tahun pernikahan mereka tidak mendapat kejelasan status juga dan Hafsah tidak menerima nafkah lahir dan batin dari mas Khoirul Umam. Karena saat itu Hafsah juga mendapat kesempatan untuk mengambil kuliah di Kairo. Padahal aku juga tidak keberatan jika mas Khoirul Umam ingin taadud (berpoligami) walau nanti akan menambah urusan yang lebih riweh menjelaskan semua dengan keluarga besar kami. Namun, Hafsah betul-betul wanita tangguh, yang begitu kuat dia menerima semua keputusan tersebut. Hingga setahun kemudian ada seorang lelaki sholeh yang telah menyelesaikan kuliah S3nya di Teheran dan mempersunting Hafsah dengan cara sebaik-baiknya. Ya Rabb, Hafsah tetaplah sahabat terbaikku dan mas Khoirul Umam adalah suami yang baik serta sholeh. Dan aku ingin terus belajar, ingin meraih bintangku yang paling terang, ingin merajut segenap mimpi dan harapanku untuk mengajarkan dan berbagi pembelajaran dimanapun dan sampai kapanpun. Aku ini mahasiswi abadi di universitas kehidupan. 

Comments System

Disqus Shortname