Wakil Presiden Mahasiswa BEM BSI 2011-2012
Kita bayangkan kekuatan
mahasiswa bersatu dengan gerak juang yang sistematis dan terukur. Tujuan seluruh komponen
sama, yakni perubahan yang lebih baik. Hanya perdebatan jalan
mana yang lebih efektif dan efisen yang seringkali jadi hambatan. Bahkan, beberapa kawan seenaknya
bicara revolusi tanpa tahu makna yang diucapkan. Gerakan mahasiswa bukan
dewa serba bisa. Karena keterbatasan itu pulalah, maka mahasiswa perlu
mengkontekskan gerakannya dalam geliat zaman. Perlunya kritik dan
otokritik terus menerus terhadap pilihan-pilihan yang diambil. dengan begitu, menjadi benar kata orang
bijak, bahwa gerakan mahasiswa adalah anak pada zamannya. Artinya, setiap zaman memiliki
masa dan penyesuaian dengan pola-pola gerakan yang juga berkembang. Jika pola penindasan lebih
berkembang dari pada pola gerak aktor
perubahannya, maka apa yang mau diharapkan dari mahasiswa ?
Bernard Shaw pernah
berujar “Progress is impossible without cange,and those who cannot change their
minds cannot change anything. Setiap zaman mengandung tantangan yang
berbeda dikarenakan zaman yang terus berubah. Setiap perubahan
tentunya menyiratkan pesan bahwa kemampuan adaptasi adalah kunci keberhasilan. Dalam catatan sejarah, gerakan mahasiswa di
Indonesia selalu berada dalam barisan depan dalam perubahan sosial. Namun, ada sebuah kegelisahan
yang hinggapi dalam tubuh gerakan mahasiswa. Konsep dan metode
gerakan yang dilakukan dianggap belum mampu menyesuaikan tantangan zaman. Mahasiswa terjebak
romantisme sejarah sehingga kurang kreatif melihat dan meramu strategi.
Aksi-aksi jalanan dan tuntutan penggulingan rezim selalu menjadi rumus tunggal
dalam merespon sebuah persoalan.
Setiap rentetan periode
gerakan adalah anak pada zamannya. Tahapan sejarah gerakan mahasiswa selalu
menghadirkan sebuah tantangan yang membutuhkan metode baru. Albert Einstein
mengatakan bahwa “We cannot solve problems by using the same kind of thinking we used
when we created them”. Artinya, perlu sebuah
gagasan-gagasan kreatif untuk keluar dari penyelesaian dengan cara-cara
konvensional yang pada setiap zaman harus dirubah. Gerakan mahasiswa
sebelum merubah masyarakat juga dituntut untuk mereformasi dirinya. Saat ini
adalah era dimana gerakan mahasiswa mengalami titik nadir. Indikasinya adalah
semakin jauhnya masyarakat bahkan mahasiswa sendiri sebagai pihak-pihak yang
selalu diatas namakan dalam tiap aksi.
Periode gerakan
mahasiswa di Indonesia memang menyiratkan tantangan – tantangan yang berbeda
tiap zamannya. Angkatan 1908, berhasil merangsang organisasi – organisasi berbentuk modern.
Tantanganya adalah bagaimana cara menyamakan frame ke-indonesiaan pada
organisasi yang pada saat itu kental dengan semangat tribalisme. Angkatan 1928 berhasil memberikan
identitas nasional dengan persatuan pemuda-pemudi Indonesia. Era ini membuat
mahasiswa mulai berpikir dan bergerak secara bersama-sama untuk merdeka. Era
1945 memberikan kita kemerdekaan yang masih diwarnai friksi antar golongan tua
dan muda dalam memandang momentum pencapaian kemerdekaan. Begitu pula tahun
1966 dan 1998, tantangan yang muncul adalah
rezim yang otoriter dan sekarang di era demokratisasi tentunya tantangan yang
ada harus disikapi dengan cara-cara yang sesuai dengan semangat zaman.
Tantangan gerakan
mahasiswa pada era ini bisa kita kategorikan menjadi eksternal dan internal. Era ini adalah zaman
globalisasi dan demokratisasi. Pengaruh globalisasi menyebabkan masalah yang
dulu dihadapi dalam lingkup lokal maupun regional, kini menjadi satu
kesatuan masalah global. Belum lagi arus budaya hedonisme
begitu merasuk ke dalam perilaku mahasiswa kita. Ditambah lagi, gerakan mahasiwa harus
mampu bergerak tidak hanya sebagai gerakan intelektual namun juga harus bisa
membasis. Paradigma pemberdayaan masyarakat harus menjadi acuan agar tidak jauh
dari rakyat. Aksi-aksi jalanan yang miskin konsep bukannya menjadi kurang
relevan, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan gerakan. Sehingga ketika semua
berjalan baik, maka citra dan kepercayaan
masyarakat akan kembali diletakkan di tangan mahasiswa.
Sedangkan dari internal
sendiri kita bisa lihat bagaimana polarisasi yang membuat terpecah-pecahnya
mahasiswa, kapitalisasi gerakan yang berorientasi modal dan keuntungan,
lemahnya kaderisasi, intervensi senior, inkonsistensi perkataan dan perbuatan,
minimnya kreatifitas kemandirian dana, tidak mampu menjaga
independensi dan selalu menggunakan metode-metode yang reaktif. Kedua tantangan
baik eksternal maupun internal jika tidak disikapi bisa menyebabkan krisis
kepercayaan pada gerakan mahasiswa dan disorientasi gerakan.
Pencarian solusi selalu
menyiratkan kritik dan otokritik. Gerakan mahasiswa harus terus menerus
mereformasi diri, menambal lubang-lubang kelemahan
dan keluar dari jebakan pikiran konvensional untuk mencari solusi kritis. Ada
empat model gerakan yang bisa ditawarkan untuk menghadapi tantangan hari ini.
1.
Gerakan intelektual. Aktivis mahasiswa
adalah aktor intelektual yang bergerak dengan intelek pula. Mengadakan
kegiatan-kegiatan intelek seperti seminar, diskusi, kelompok-kelompok kajian
yang mengupayakan solusi pemecahan buat masalah yang dihadapi. Hasil-hasil
kajian inteektual bisa juga dijadikan sumber dana yang legal apakah dijadikan
buku atau tulisan di media massa. Jika kemandirian dana
bisa terwujud, intervensi dan tarikan
kepentingan tidak akan mengganggu fokus gerakan mahasiswa.
2.
Gerakan kultural. Mahasiswa harus membumi
dan bekerja bersama rakyat. Advokasi dan kegiatan bersama masyarakat harus
menjadi pilihan. Dalam jangka panjang masyarakat akan mau bergerak dengan
aksi-aksi mahasiswa.
3.
Gerakan struktural. Selama ini gerakan
mahasiswa selalu vis a vis dengan negara. Namun,sebenarnya bekerja sama dengan
insitusi negara untuk mendukung kerja-kerja gerakan sudah saatnya dijadikan opsi.
Bagaimanapun sebuah gerakan tidak akan efektif jika tidak bekerja sama dengan
pihak-pihak yang berkepentingan.
4.
Gerakan massa. Ketika aspirasi tidak
lagi didengar, maka aksi massa menjadi alat
yang sah dalam menyampaikan aspirasi. Aksi massa yang dialakukan hendaknya
melibatkan elemen-elemen lain seperti massa buruh, tani, nelayan, pedagang, rakyat miskin kota, perempuan dan elemen-elemen lain.
Selain itu,gerakan
mahasiswa juga seharusnya melakukan spesialisasi gerakan. Sejak di organisasi, mulai dipilah mana kader
politik, kader organisatoris, kader ideologis dan
kader yang ingin bergerak di bidang non politik , seperti wirausaha. Ini agar kekuatan aktor
perubahan tidak terpusat hanya di ranah politik. Namun, harus ada juga yang menguasai kekuatan ekonomi, seni, budaya, social ,dan lainnya. Sehingga sinergisitas
antar komponen bisa lebih terasa dalam membuat sebuah move. Kader intelektual dibina
secara khusus dengan mentor yang telah disiapkan. Secara serius kaderisasi
adalah harga mati bagi hidup mati sebuah organisasi gerakan.
Melihat kondisi kekuatan
politik di Indonesia, satu – satunya tools yang masih sangat
pantas dilirik adalah merebut dan merevolusi partai politik. Aktivis mahasiswa harus
mampu melihat bahwa partai bukan harus disikapi secara antipati. Tetapi dilihat sebagai
tools. Artinya, partai jika dikelola orang-orang
yang memang memiliki idealisme, tentunya akan berjalan di rel
yang benar. Partai harus direbut karena di negara ini, semua kebijakan hampir
lahir dari pemikiran kader-kader partai. Baik itu kader eksekutif
dan legislatif. Dengan begitu, gerak juang antara
mahasiswa di akar rumput dan tokoh-tokoh eks aktivis mahasiswa yang sudah duduk
di pemerintahan bisa terjalin dengan baik. Sehingga bukan gerakan
mahasiswa anti elit politik (oposisi permanen), melainkan gerakan
bersinambungan. Dimana penyuplai isu di akar rumput dan elit politik bisa
memperjuangkan baik itu secara ekstra parlementer maupun parlementer. Bukan seperti yang
selama ini kita lihat, aksi mahasiswa selalu hilang diterpa
angin sepoi-sepoi.
Edward Shill
mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung
jawab sosial yang khas. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum
intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang
disebut reformasi. Namun, heroisme jangan
dijadikan sandaran yang membuat gerakan mahasiswa jalan di tempat. Solusi
sebuah masalah selalu berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Jika
gerakan mahasiswa lupa atau terus nyaman dengan berada dalam penjara romantisme
sejarah, maka gerakan hanya akan menjadi riak-riak yang tidak pernah
mampu menunjukkan diri sebagai penyambung lidah rakyat.