Wednesday, June 12, 2013

Mengagumi Tan

Dialah Tan Malaka, yang kalau menurut Dr. Alfian dalam tulisannya pada jurnal Prisma tahun 1977 ialah pejuang kesepian. Sekiranya tidak berlebihan, kalau hari ini banyak yang bilang Tan Malaka adalah Tuhan. Tuhannya kaum pergerakan, Tuhan bagi mereka yang ingin mengenal sesungguhnya arti dari kepahlawanan.
Kiranya 20 tahun Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan dari negara-bangsa yang ia cita-citakan yaitu, Indonesia. Dialah orang Indonesia pertama yang berkeliling dunia dengan gelar sebagai pelarian politik. Dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, kemudian diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy. Kemudian dia menyelundup ke Ranggon, Singapura, Penang, dan kembali lagi ke negeri asalnya Indonesia.

Selama masa pembuangannya itu, tidak sekalipun dia memakai nama asli. Ditiap tempat yang dia singgahi namanya selalu berganti. Semisal di Filipina, Tan Malaka memakai tiga nama; Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Hasan Gozali. Bahkan sampai di Indonesia Ilyas Hussein dipakai guna menghindar kejaran dari imperialisme Belanda dan Jepang. Lantas yang menjadi pertanyaan, kenapa Tan Malaka harus menjadi seorang pelarian politik?

Saat Poeze, seorang sejarawan Belanda yang tekun membidani wacana pergerakan nasional, berkunjung ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dia bercerita. Ketika Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, saat berkunjung ke tempat kelahiran Tan Malaka (Minangkabau) berkata kepada Poeze,”saya heran, mengapa ditempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Pertanyaan itu sontak menjadi stimulus Poeze untuk meniliti soal revolusi Indonesia dengan fokus objek Tan Malaka.

Cukup mengherankan memang bagi kita, kenapa Tan Malaka harus memberontak. Padahal di antara temannya dialah orang yang paling beruntung dapat mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Bukitinggi. Hal ini tidak terlepas dari status sosial ayahnya yang bekerja sebagai pegawai pertanian pada masa kolonial Belanda. Dengan status sosial yang mapan di kampungnya, ditambah kondisi alam tanah minangkabau yang subur, memberontak adalah sesuatu yang aneh kiranya.

Semangat memberontak Tan Malaka bisa dilihat dari karya tulisnya, salah satunya, Dari Penjara Ke Penjara. Menurut Tan Malaka pada hakikatnya manusia adalah sama, sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Pada dasarnya manusia berhak untuk hidup dan kehendak jangan mati. Dua pokok ini yang menurut Tan Malaka adalah kodrat terbesar dari manusia.

Kenyataannya tidak. Hal ini berdasar saat Tan Malaka bersentuhan langsung dengan kondisi masyarakat Deli, wilayah yang masih satu pulau dengan tanah kelahirannya, Sumatera. Di Deli, Tan Malaka melihat bahwa manusia Indonesia tidak hidup laik. Kontras sekali dengan kekayaan iklim dan tanah Deli.
Sumber kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik masyarakat Deli seperti; emas, tembakau, kelapa sawit, karet, dan teh. Dihisap dan dikuras habis oleh kolonial Belanda. Belanda membawa kekayaan alam itu keluar dari tanah Deli yang kemudian dijualnya. Sehingga kayalah Belanda.

Kemudian Tan Malaka mengambil kesimpulan bahwa pertentangan kelas di Deli begitu tajam. Antara modal-tenaga dan penjajah-terjajah. Hidup masyarakat Deli dibuat miskin oleh Belanda. Hal ini berdasar pada kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat Deli. Dari soal penentuan harga hasil panen masyarakat Deli yang dibayar murah, sampai pada perampasan tanah. Yang menutup harapan masyarakat Deli untuk hidup.

Kiranya atas dasar inilah Tan Malaka mengambil langkah untuk menjadi seorang pemberontak. Dikarenakan melihat kondisi bangsanya, yang diperlakukan tidak adil oleh kolonial Belanda. Dari perampasan, penghisapan, hingga pembunuhan, merupakan bukti bagi Tan Malaka untuk memberontak dan menyatakan diri sebagai orang yang merdeka agar hidup dapat berubah menjadi laik.

Itulah Tan Malaka yang lahir sebelum negara-bangsa bernama Indonesia ini lahir pada revolusi Agustus 1945. Yang masih punya jiwa semangat memberontak dalam melihat proses ketidak adilan dimasanya. Sekarang bagaimana? (didaktika/inspirasi)

Comments System

Disqus Shortname