Tuesday, April 9, 2013

Kecelakaan Sejarah Menggunakan Lambang Palang untuk Kemanusiaan.


Jika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya sebuah tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi kemungkinan terbesar

Inspirasi – Berbicara mengenai kampus BSI, memang segaris lurus jika kita katakan sebagai miniatur kenegaraan Indonesia, baik ditelisik dari lokasi strategisnya maupun orang-orang yang berada didalamnya sebagai bagian keluarga besar yang memiliki identitas kepluralan. Sejalan hiruk-pikuk agenda perbincangan yang kerap dilakukan dalam berbagai kesempatan oleh beberapa aktifis Senat maupun UKM akan kemunculan kembalinya UKM KSR BSI yang mengekor kepada organisasi kemanusiaan nasional PMI (Palang Merah Indonesia) yang sudah mendapatkan SK sementara dari kelembagaan Pudir III Bidang Kemahasiswaan.

Lambang Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada tentara yang terluka di medan perang, pada waktu itu setiap pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Lambat laun muncul pemikiran yang mengarah kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di medan perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu Lambang.

Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka menekankan mengenai kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.

Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun 2006,  sebuah keputusan penting lahir, yaitu diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan III tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005.  Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak bisa digunakan dan ‘masuk’ ke suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih banyak pihak selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu.

Pemaknaan lambang palang yang digunakan memang tidak dapat juga mempersempit ruang pemikiran untuk sebuah label agama atau paham tertentu, apalagi jika lambang tersebut juga sudah disepakati sebagai organisasi kemanusiaan terbesar yang didirikan di Indonesia sejak masa kemerdekaan Indonesia silam.

Namun dekadensi moral, budaya dan ideologi yang terjadi dibelantika dunia saat ini tidak terlepas dari proses sekulerisasi yang merambah ke penjuru negeri. Sekulerisasi dengan berbagai pilar yang diperdagangkan mampu merubah dunia menjadi nihil dan absurd dari nilai-nilai luhur yang menjadi identitas suatu bangsa –khususnya Islam dan dunia ketimuran-.
Jika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya sebuah tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi kemungkinan terbesar. Perubahan inilah yang disebut oleh karl Marx sebagai proses “evolusioner” imbasnya segala sesuatu dapat berubah dan tidak ada nilai yang mapan karena selalu mengusahakan penyelarasan dan konseptualisasi dengan kebutuhan yang berkembang.
Berbagai prodak yang ditawarkan telah dikonsumsi mentah-mentah oleh publik, mulai demokrasi, kebebasan, toleransi, kesetaraan gender, HAM dsb. Semua produk tersebut mampu mendongkrak tata nilai yang telah mapan, dari moral sosial, hukum kenegaraan serta nilai keberagamaan yang dianggap sakral dan absolut sekalipun tidak luput dari upaya pendekonsrtuksian. Semua itu tidak lain agar sesuai dengan selera, humanistik, hak asasi dan nilai pembebasan (liberalitation). Ketika nilai-nilai itu diperjuangkan, tidak bisa dipungkiri segala nilai dan pegangan yang dianggap mapan akan menjadi profane, absurd serta dapat dikompromikan.

Orang-orang yang bersikap objektif dalam berbagai agama dan peradaban sepakat bahwa menyelesaikan sebab-sebab timbulnya penyakit harus dikedepankan dari sekedar mengatasi efek sampingnya.

Karena manusia yang berpolitik adalah juga umat beragama. Dan UKM yang memperjuangkan gerak politiknya, dengan mengusung kepentingan anggotanya yang 100% muslim serta memperjuangkan nilai-nilai keislaman yang dibangun merasa perlu untuk menengok kepada suatu hal maupun kejadian yang dapat disebut sebagai pemerkosaan terhadap ideologi dengan digunakannya lambang palang.

Meski, memang harus memahami kembali tentang lambang-lambang universal yang ada dan digunakan di Indonesia (seperti logo PMI tersebut), bukan sesuatu yang asal saja sehingga bisa dirubah dan bukanlah semata-mata simbol-simbol universal sebagai (dihubungkan) lambang keagamaan. Namun untuk sebuah kampus Bina Sarana Informatika yang terdiri dari mayoritas masyarakat muslim, meski bukanlah kampus berlabel islam alangkah baiknya turut memperjuangkan nilai-nilai keislaman bahkan menjadi pelopor atas keberanian mengaungkan kemurnian hak untuk mengedapankan nilai-nilai yang baik walau hanya dari titik terkecil berupa lambang dan nama yang disematkan pada sebuah organisasi kegiataan mahasiswanya. Karena hal demikian menjadi tolak ukur keberadaan presentase tingginya perjuangan dan nilai-nilai kemuliaan yang selalu diupayakan dan dibangun untuk umat yang maslahat. *A001*

Comments System

Disqus Shortname