Monday, June 11, 2012

Surat Untuk Vania


Tak…Tak…Tak…
Begitulah suaranya ketika aku menekan tombol huruf pada keyboard di laptopku satu-persatu. Bunyi yang dikeluarkan dari alat yang kuperbuat oleh kesepuluh jariku itu kian membuatku bersemangat dalam menemukan sebuah ide cerita yang akan ku presentasikan di kelas satu minggu lagi. Meskipun mata mengantuk, otot di kedua lengan ini mulai terasa lemas, serta kucuran air keringat yang kerap membasahi dada dan punggungku tidak menjadi penghalang buat aku menulis dan mencerahkan sebuah inspirasi yang mengalir dalam pikiran jernihku.

Namaku Vania Anggraeni. Aku duduk di bangku sekolah menengah atas yang sesaat lagi akan mengakhiri langkah sekolahku seumur hidupku, kelas 12. Memang belum saatnya buat aku untuk menghadapi ujian yang bisa meletihkan tubuh dan pikiranku, ujian nasional, tetapi banyak dari guru-guru kami di kelas 12-A memberikan banyak sekali tugas yang aku sendiri kadang terlalu sukar untuk aku kerjakan. Salah satunya ini, membuat surat bebas.

Meskipun namanya surat bebas, tetapi tetap saja aku bingung akan menulis surat apa. Terlebih, aku sudah lama tidak mengirimkan surat dengan saudaraku yang tinggal di Cilacap. Wah betapa kangennya aku tidak mengirimkan sepucuk surat kepadanya lagi. Kudengar kabar dari situs jejaring sosial yang bertanda F itu, dia sudah berbahagia dengan lelaki pilihannya dan memilih untuk berumah tangga sekitar 1 tahun yang lalu. Hmm… aku pun turut bahagia dengan dipilihnya lelaki itu untuk mendampingi saudara tercintaku itu, Annissa. Bagaimana tidak ia bisa dapat kekasih idamannya dengan mudahnya? Wajah yang cantik, dengan warna kulitnya yang putih, ditambah lagi dengan lentik alis dan kerlingan matanya yang indah, dipadukan dengan jilbab merah jambu yang selalu ia kenakan untuk menutupi aurat rambut hitamnya yang panjang, sudah sepantasnya pria idaman seperti dia bisa dengan mudah merebut hatinya Nisa, saudaraku yang sangat kucinta itu. Tapi aku…? Beragam pertanyaan kerap muncul dikalangan saudara-saudaraku dan teman-temanku yang lain. Namun sayangnya pertanyaan-pertanyaan itu bertajuk pada hal yang sama yang seringkali membuatku enggan untuk menjawab. “Van, mana nih lelaki idaman kamu?”

Tapi tunggu dulu. Tidak menjawab bukan berarti tidak ada sama sekali. Hanya saja ‘jodoh’ itu belum kutemukan. Terlebih lagi karena aku masih duduk di bangku SMA. Ya memang, berbagai dorongan kerapkali datang dari pihak teman-temanku yang menginginkan aku memiliki seorang pacar, karena saudara-saudaraku yang lain semuanya sudah menikah, dan aku belum pernah merasakan apa yang disebut sebagai ‘pacaran’. Maklumlah, larangan orangtua mencegahku memiliki pacar sebelum aku beranjak remaja. Tapi kalau aku harus bersiap untuk meneguhkan keinginanku untuk memiliki seorang kekasih, selalu ada saja halangannya. Masalah terbesar ketika aku ingin sekali berpacaran itu adalah karena aku seorang wanita, spekulasi klasik yang kerapkali aku dengar itu adalah wanita tidak boleh mengutarakan perasaan cintanya duluan. Lalu aku harus bagaimana? Ternyata mencari pacar itu bisa sesulit mencari calon suami ya…

Oleh karena itu, aku mencoba memberanikan diri menulis sebuah surat cinta, yang aku tujukan pada seseorang yang ada dalam pikiranku, alias imitasi. Kuhentikan penulisan kata-kata di lembaran putih diatas ukiran meja coklatku ini. Kurentangkan tubuhku di atas kasur yang terbentang oleh selimut putih yang dingin dan lembut. “Semoga besok ada inspirasi yang masuk kedalam pikiranku, ya Tuhan…Amin”.

Keesokan harinya…
Aku memikul beberapa buku yang tersusun rapi di dalam ransel di belakang punggungku dan melangkahkan kedua telapak kaki-kaki lentikku menuju ruangan kelas 12-A. Baru aku mau mendorong gagang pintu kelasku, seseorang menghampiriku dari belakang penglihatanku dan berlarian ingin menemuiku.
“Van, kamu mau ke toko buku tidak?” tanya Amanda kepadaku.
“Ke toko buku? Memang ada apa Dha?” tanyaku.
“Aku mau minta tolong dong sama kamu. Kamu mau nggak ngembaliin buku-buku yang sudah aku pinjam seminggu kemarin? Cuman toko bukunya di sekitaran Sudirman, Van…” mohonnya sambil menampilkan mimik sedihnya kepadaku.

“Hmm… gimana ya? Oke deh. Tapi kamu yang ongkosin aku ya,” pintaku.
“Setuju… thenkyouu Van. Kamu memang sahabat aku yang paliiiinnnggg baiikkk”. Akhirnya aku memutuskan untuk menggantikan dia mengembalikan buku-bukunya nanti siang. Manda juga sudah memberikanku jatah ongkos yang dilebihkan dengan uang sisa untuk makan siangku kalau-kalau perutku ini goyah dan berbunyi saat aku dalam perjalanan.

Teng.. Teng.. Teng..
Usai sudah seluruh kegiatan belajar-mengajar di kelas kami. Dan karena tidak ada lagi yang harus ditunggu, akhirnya aku langsung bergegas ke toko buku yang berada di areal Sudirman itu. Aku berangkat dengan menggunakan angkutan kota dan dilanjutkan dengan menaiki bis kota. Terik matahari yang menusuk kulitku dan asap tebal kendaraan bermotor membantu sel-sel kulitku mengeluarkan air keringat yang makin membasahi tubuhku. Maklumlah, aku belum diijinkan orangtuaku untuk memiliki motor sekarang ini.
Sesampainya aku di toko buku itu, aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat buku yang lainnya. Suasana yang hening makin menggerakkan hatiku untuk membaca buku-buku novel favoritku. Buku novel berjudul ‘Spring of Love’ menjadi incaranku di pustaka novel. Tapi sesampai aku di tempat itu, aku bertemu seorang lelaki yang katanya ingin juga meminjam buku incaranku itu. Tanpa sengaja ketika aku menolehkan tanganku untuk mengambil bukunya, dia juga menolehkan tangannya sehingga kami berdua bersentuhan tangan.
“Emm…mbak. Mau pinjem buku ini ya?” tanya lelaki itu.
“Ahh…iya. Mas mau juga?” tanyaku sambil tercengang melihat wajahnya yang begitu tampan.
“Emm…iya mbak” jawab lelaki itu. Sembari menoleh kanan kiri si lelaki itu kemudian mengeluh, “yah mbak… bukunya tinggal satu”
Aduhh. Aku berpikir sejenak atas masalah kecil ini. Aku tidak mungkin merebut langsung buku itu karena bagaimanapun dia sudah stand-by duluan menanti buku itu. “Yah mas… tapi saya ingin banget baca buku ini. Buat saya aja ya mas. Plisss…” ujarku bermuka masam.
“Aduh mbak, padahal adik saya ingin banget bisa baca novel ini. Saya sendiri juga suka lho,” ujar kembali lelaki itu. “Hmm… ahh mbak. Saya punya ide. Bagaimana kalau kita berdua aja yang pinjam buku ini? Untuk uang sewanya biar kita patung-patungan deh.”
Aku pun berpikir sejenak. “Hmm… boleh juga mas. Ide yang bagus tuh”
“Yes. Akhirnya saya bisa juga baca buku ini. Oh iya, supaya saya bisa ngubungin kamu, kamu missedcall nomor saya yaa” senang lelaki itu.
“Oh iya mas.” Setelah dimissedcall, “kenalkan. Namaku Rama. Rama Aditya”, kenal lelaki itu pada aku.


“Vania. Vania Anggraeni. Senang berkenalan…” jabat tangan kami berdua.
“Baiklah, Vania. Beberapa hari kedepan saya sms kamu ya. Terimakasih. Jangan lupa lho”
“Iya Ram. Pastinya.”
Akhirnya kita berdua terpisah. Aku bisa memegang buku itu dengan bayar setengah harga. Tapi, aku juga harus berjanji kalau aku akan menggilirkan si Rama membaca buku ini. Aku bisa merasakan ketampanannya. Postur tubuhnya yang proposional, rambutnya yang tipis, dan wajahnya yang begitu lelaki membuat hatiku kian berdebar saat aku berada didekatnya. Tapi apakah pantas jika aku berharap lebih dari perasaan suka ini? Kami kan baru saja kenal, masak iya sudah ada cinta di hati aku?


Keesokan harinya, setelah hari peminjaman buku itu…
Aku membaca kembali sebuah kisah paling menyentuh dari cerita yang dibawakan oleh novel itu sepulang sekolahku. Cerita seorang lelaki imirgan yang jatuh cinta pada wanita islami saat mereka berdua dipertemukan di London. Kalau awal mula cinta bisa bersatu dari sebuah perkenalan biasa dengan orang yang belum kita kenal, kenapa aku tidak? Aku pasti bisa memiliki seorang lelaki. Tetapi kan kisah ini bila aku bandingkan dengan yang kemarin, kan ada sedikit kesamaannya. Apakah iya pacarku nanti akan seperti dia, atau memang dia? Jawabnya, nanti saja ya. Aku tidak mungkin menyatakan perasaan ini begitu saja.
Sepintas kemudian berderinglah nada telepon dari handphoneku, lagu kesukaan aku Vania yang berjudul Rahasia. Kulihat layar kecil disamping bawah diatas kasurku, ternyata si Rama!!
“Assalammu’alaikum. Ini dengan Vania ya?” sapa Rama kepadaku.
“Waalaikumsalam. Iya Ram. Ada apa?” sapa aku kembali.
“Van. Sudah selesai belum baca bukunya? Adik aku mau baca nih”
“Oh iya Ram. Hmm… mungkin dua harian lagi ya. Aku pasti selesai baca kok.”
“Oh gitu ya. Okelah. Ditunggu yaa. Daa Vania. Assalammu’alaikum”
“Waalaikumsalam, Ram…” Tuut tuut tuut… akhirnya selesai perbincangan di antara kami.
Betapa senangnya aku bisa kembali berhubungan dengan dirinya lagi. Ternyata memang jodoh itu tidak kemana ya…

Dua hari kemudian…
 Aku harus kembali mengerjakan tugas menulis suratku setelah selama empat hari terbengkalai oleh karena buku novel yang aku baca. Ditambah lagi pikiranku makin terganggu oleh bayang-bayang lelaki yang aku kagumi itu. Rama… kapan kamu meneleponku kembali?
Tak lama berselang, handphone yang aku taruh di meja samping aku bergetar dan berbunyi kembali. Aku berpikir pasti dialah orangnya. Sontak saja aku langsung terima telponnya.
“Assalammu’alaikum Rama…” sapaku.
“Waalaikumsalam Vania. Gimana nih baca bukunya? Seru kan?” sapanya.
“Seru banget Ram. Kisah cintanya menyentuh banget.”
“Wah, aku jadi makin penasaran nih. Adik aku terus minta mana kakak mana kakak. Hehehe… Oh iya, sudah bisa aku pinjam bukunya? Kita ketemuan aja yuk,” ajak Rama ketemu denganku.
“Oh iya. Ayo Ram. Aku aja ya yang ke rumah kamu,” ajakku.
“Okee Van. Rumahku di Jalan Antika Raya no. 19. Meet me later. Assalammu’alaikum”
“Waalaikumsalam warahmatulahhi wabarakatuh…”
Tuut tuut tuut. Hatiku berbahagia lagi. Sik asik… asik… kenal dirimu. Lagu Ayu Ting-Ting yang pernah dibawakan oleh Dion penyanyi Indonesian Idol beberapa waktu lalu itulah yang menggambarkan perasaanku hari ini. Semoga dia yang menjadi milikku.
Pada jam lima belas itu kami berdua akhirnya bertemu. Tidak hanya dengan tujuan ingin meminjam buku semata namun diantara kami juga ada obrolan basa-basi. Panjang lebar kami bercerita satu sama lain dan perbincangan pun berakhir pada pukul tujuh belas (jam 5 sore). Kuberlari cepat menuju rumahku dan langsung membuka pintu rumah, kunaiki tangga rumah menuju kamarku, dag dig dug… kubuka pintu kamar, aku masuk dan aku tutup kembali pintu kamarku itu. Ahh… betapa senangnya aku bisa dekat dengannya. Ku peluk erat guling dari kasurku lalu kududuki sprei putih yang terbentang menutupi kasur putihku. Andai kamu jadi milikku, Rama.

Esok lusa kemudian…
Sudah sepanjang tiga hari ini kami saling berhubungan, dan semakin terbuka lebar pintuku untuk segera memiliki kekasih hati. Aku akan coba teguhkan niatku untuk menyatakan perasaanku ini padanya duluan. Meskipun aku adalah seorang wanita, tetapi aku ga bisa sungkan untuk langsung mengutarakan perasaanku padanya. Namun saat ku sudah bersiap untuk bertemu dengannya kembali, tiba-tiba sebuah pesan singkat datang membunyikan dering handphoneku.

“Vania… maafkan aku. Sepertinya kita tidak bisa bersama lagi. Aku sudah dalam persiapan menuju Singapura karena aku akan menjalani transplantasi hati. Senang bisa berkenalan denganmu”

Perasaan sedih langsung kurasakan di dalam lubuk hatiku. Betapa saat ku ingin mengutarakan perasaanku pada dirinya dan kami harus berpisah secepat ini. Langsung ku bergegas menuju kediamannya di Jalan Antika Raya itu. Kedua kaki ku terus berlarian mengejar waktu, berharap Rama belum beranjak pergi. Namun apa daya, sesampainya ku disana, rumah kosong dan hanya berpasangkan sebilik kayu dengan tulisan ‘dijual’. Ia telah pergi meninggalkanku.
Aku pulang kembali dengan tangan hampa. Tak lama kemudian datanglah sepucuk surat dengan beralamatkan Jalan Mahardika II nomor 63, atas nama Vania Anggraeni. Sepucuk surat yang bermotifkan tanda hati dan bewarna kemerah-merahan itu kemudian kubuka dan pengirimnya tidak lain dan tidak bukan adalah Rama, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkanku.

“Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Vania Anggraeni. Maafkan aku bila aku pergi secepat ini ya. Jujur aku seneng banget bisa berkenalan denganmu. Malahan, aku ingin sekali kamu bisa jadi pacarku. Tapi, aku harus dirawat di Singapura, dan mungkin tidak akan kembali lagi karena orangtuaku memutuskan untuk membawaku tinggal dan menetap disana. Ini buku kita yang sempat kita pinjam di Toko Buku Sudirman selasa kemarin. Kamu kembalikan ya. Semoga persahabatan kita tidak putus sampai disini ya, aku akan selalu mengingatmu karena kamu lah yang memberiku semangat berinteraksi dengan seorang teman. Dan satu yang perlu kamu tahu, aku juga sayang sama kamu Van. Kamu baik-baik ya disana. Alamat baruku ada dibalik surat ini. Kirim balasan surat dariku ini ya. Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Rama Aditya.”

Aku pun tak kuasa menahan tangis yang mendalam atas perpisahan ini. Ia juga menyelipkan buku yang sempat kami pinjam untuk kemudian dikembalikan lagi. Aku menyesal… karena aku terlambat untuk menyatakan perasaan ini kepada dia.

“Assalammu’alaikum. Rama… Jujur, aku memang sudah sangat menyukaimu saat pertama kita bertemu. Dan makin lama, perasaan ini pun semakin bertambah. Dan jujur, aku ingin sekali menjadi pacar kamu. Tapi aku terlambat untuk menyatakannya, dan kita terlanjur dipisahkan oleh takdir. Tapi aku bahagia bisa berkenalan dengan kamu, bisa dekat dengan kamu, dan bisa jadi bagian dalam hidup kamu. Aku bahagia banget. Kamu cepat sembuh ya di sana. Semoga proses transplantasi hatinya sukses. Aku cinta sama kamu. Wassalammu’alaikum…tertanda, Vania Anggraeni.”

Itulah kalimat-kalimat yang kutuliskan melalui sepucuk surat balasan kepada dirinya, Rama. Dan dari surat itu pula, kubungkus menjadi satu tugas sekolahku yang akan aku presentasikan di depan kelas. Aku berharap, tidak aka ada lagi pendam-memendam perasaan. Selamat berjuang Rama, semoga ada Rama-Rama lainnya yang datang mengisi hati ini. Nyatakanlah perasaanmu, sebelum keadaan itu akhirnya meninggalkanmu.

#Abraham Yusuf Indrayana

Comments System

Disqus Shortname