Friday, February 15, 2013

Burhanudin Muhtadi, Pendidikan Indonesia Butuh Disain Besar





Inspirasi - Burhanudin Muhtadi, Ketua Lembaga Survei Indonesia. Seorang pengamat politik dan memiliki latar belakang pendidikan yang sebetulnya adalah agama, saat Sekolah Dasar di Kutoarjo dan termasuk siswa terbaik. Kemudian atas saran orang tuanya agar masuk ke Madrasah Tsanawiyah, sekolah yang dikelola NU. Kemudian saat SLTA ada dibangun sebuah proyek intelektual, karena banyak guru yang didatangkan dari luar misal : untuk pengajaran Bahasa Inggris dari Eropa, dan agama dari daerah Timur Tengah dan diasramakan, dimana disana menjadi challenging intelektualnya.

Selepas dari Surakarta, beliau masuk ke IAIN Jakarta. Mencari suasana yang tepat mencurahkan dan mengeluarkan talenta yang dipunya. Dimana Jakarta menjaditrendsetter perkembangan intelektual di Indonesia. Dan pertama kali disana yang terpikir adalah bagaimana kuliah tanpa memberatkan orang tua. Karena hal itulah akhirnya beliau rajin menulis di koran-koran Jakarta. Sejak saat itu juga muncul kemandirian untuk tidak meminta uang sedikitpun kepada orang tua. Kuliah dijurusan Tafsir Hadist ternyata disana banyak pelajaran pengulangan dari apa yang didapatkan di Solo, kemudian beliau memilih aktif di forum kemahasiswaan FORMAJI dari sinilah beliau mendapatkan ilmu sosial, politik, aktifis. Melihat bagaimana melakukan pendekatan kuantitatif baik dikalangan media maupun partai politik makin lama makin memahami arti penting, sehingga LSI dan seorang Burhanudin Muhtadi mendapati posisi di hati masyarakat dan tertarik bagaimana pendekatan secarabehavior sebagai pengamat politik.

Bagaimana Pandangan Bapak Terhadap Pendidikan di Indonesia ?

Ada kegelisahan yang dirasakan berbagai kalangan, pendidikan kita belum cukup mampu menjawab tantangan global, ada banyak PR besar dalam menyiapkan konsep dasar untuk pengembangan anak didik. Yang berhasil bukan karena sistemnya untuk mencetak anak didik yang berkualitas, melainkan karena determinasi dan kesungguhan secara individual. Jika sistem kita benar memang saya pikir akan banyak lulusan siswa dengan nilai terbaik dan akhlak yang terbaik. Namun ini adalah jawaban, bahwa sistem kita memang tidak mampu melahirkan output yang memadai sesuai dengan yang dicita-citakan finding founders.

Kalo saya ingin membuat suatu perbandingan sederhana, karena dengan pengalaman yang pernah dimiliki di luar. Yakni, beban pendidikan yang terlalu berat untuk mata pelajaran karena di luar negeri untuk tingkat dasar itu ada aspek permainannya, karena khawatir overload karena akan membuat stress secara psykologis dan dengan spesifikasi yang begitu beragam membuat kurang fokus, bahkan dapat merugikan. Ketika pada akhirnya mereka dapat memilih untuk menjadi ahli matematika atau ahli sosial dan lain sebagainya itu belakangan. Jika dilihat dari kualitas sebetulnya kita tidak kalah, jika diberikan kesempatan untuk menikmati belajar di institusi-institusi pendidikan.

Kita punya anggaran pendidikan cukup besar yakni 20%, tapi saya melihat kementrerian pendidikan dan kebudayaan tidak ada disain besar yang baku akan sistem dan output yang dapat dihasilkan. Dengan pergantian kurikulum yang terus bongkar pasang, dari sisi softwarenya itu kurang. Kita seringkali memubadzirkan anggaran besar pendidikan tersebut dengan program-program yang kurang bermanfaat. Ada berbagai agenda yangdibuat asala anggaran habis, misal program sertifikasi yang akhirnya membuka peluang banyak penyalahgunaan dana. Pendidikan juga sering dijadikan sebagai pemenangan pilkada namun substansinya tidak ada. Kita tidak punya sistem pendidikan yang baku karena supporting sistemnya juga kurang, jadi bagaimana kampus-kampus di Indonesia yang jarang berlangganan jurnal-jurnal internasional. Sehingga soal mindset feodalisme yang mengakar pada pola pendidikan kita. Kalo kita lihat di kampus Indonesia yang besar itu adalah gedung rektoratnya, berbeda jika di kampus luar negeri itu gedung perpustakaan yang luas, besar, dan berada di depan. Nah ini yang paling mendasar gedung rektorat itu dapat dilihat aura kekuasaannya yang begitu kuat sedangkan perpustakaan itu adalah aura intelektual.

Kita menuntut Political Will dari pemerintah dan DPRD supaya persoalan besar yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dapat diselesaikan permasalahannya secara komperhensif. Sehingga tidak hanya berakhir dengan anggaran 20% selesai tanpa ada disain besar. Harus ada perubahan mental dan ini bukan hanya dituntut untuk kalangan eksekutif dan legislatif bagaiamana menekankan intelektual segala-galanya bukan hanya berdasarkan kekuasaan dan menyebarkan virus negatif iklim politik dan kekuasaan misalnya dalam pemilihan rector di institusi pendidikan. Karena pemerintah punya keterbatasan, sehingga lembaga pendidikan swasta memberikan deferensiasi dalam melengkapi kekurangan yang dihadapi oleh masalah pendidikan Negara. Misal seperti yang terjadi di Afrika dan Amerika contoh Harvard adalah kampus swasta yang mampu berkembang dan hebat, karena jika swasta itu akan memiliki ideology dan inovasi yang tidak terganggu oleh birokratisasi Negara dan memiliki manuver yang lebar dan hebat, di tengah kesulitan dan keterbatasan institusi pendidikan negeri karena masih kuatnya birokratisasi dan politik maka perguruan tinggi seperti Bina Sarana Informatika ini diharapkan menjadi solusi dan terobosan untuk memajukan bangsa Indonesia. (DZ)

Comments System

Disqus Shortname