Wednesday, June 6, 2012

Fabien Menjemput Hidayah di Perbatasan Afghanistan

"Kalau bukan karena Allah SWT yang telah mengangkat derajat dan melimpahkan rahmat-Nya kepada saya, hidup saya akan habis ditengah-tengah dunia kehinaan. Dunia yang hanya layak dilakukan hewan dan seluruh keinginannya tercurahkan untuk memenuhi kebutuhan hawa nafsu dan nalurinya  tanpa nilai-nilai ataupun prinsip hidup." (Fabien)

Sejak kecil ia bercita-cita  menjadi perawat yang bekerja secara suka rela untuk meringankan penderitaan anak-anak yang sakit. Beranjak dewasa postur tubuh dan kecantikannya menarik perhatian banyak orang. Keluarga pun menyarankan untuk memanfaatkan keindahan tubuh dan wajahnya untuk bekerja, dengan begitu ia bisa menghasilkan uang yang berlipat. Peragawati, pekerjaan tersebut mengantarkan Fabien menjadi bintang.

Namun ia harus membayar mahal semuanya. Karena harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaanya. Ditambah ia harus mnghilangkan seluruh perasaan dan sensivitas sehingga ia kehilangan rasa malu dan kecerdasannya. Dalam buku "Khilafah Orang Bertaubat" ia bercerita bahwa tidak perlu ada yang dipaahami dalam hidup ini selain gerak tubuh dan iringan musik. Selain itu ia juga harus meninggalkan makanan-makanan enak dan bergantung pada vitamin serta obat-obatan untuk menjaga stamina. 

Fabien pun menuturkan, Rumah-rumah mode telah memanfaatkan diriku sebagai patung bergerak. Tugasnya hanya mempermainkan hati dan pikiran. Sebab disana aku belajar bagaimana menjadi dingin, keras hati, terperdaya dan hampa jiwaku. Aku hanya menjadi kerangka yang mengenakan baju. Aku benda mati yang bisa bergerak dan tersenyum, namun tidak merasakan apa-apa. Bukan aku saja yang dituntut seperti itu. Bahkan semakin mahir dan mencolok seorang model dalam melepaskan sisi kemanusiaannya, maka akan semakin tinggi prestasinya di dunia yang ”dingin” ini.

Sebentar ia menarik nafasnya, kemudian melanjutkan ceritanya. “ Adapun jika aku melanggar satu saja peraturan rumah mode, maka ini berarti menghadapkan diriku pada beragam sangsi, termasuk didalamnya hukuman psikis dan juga tubuh. Aku hidup mengelilingi dunia memperagakan mode-mode busana yang paling baru dengan segala yang ada padanya, berupa mempertontonkan kecantikan, tipuan dan memenuhi ambisi setan dalam menampakkan lekuk-lekuk tubuh wanita tanpa ada rasa malu dan sungkan!

Aku tidak pernah merasakan indahnya busana pada tubuhku yang hampa selain dari hawa nafsu dan kerasnya hati. Manakala aku merasakan cemoohan para penonton dan ejekan mereka atas kepribadianku serta penghormatan mereka terhadap apa yang aku pakai, sebagaimana saat aku berjalan, berlenggak-lenggok, maka pada setiap ritme gerakanku selalu diiringi kata ‘seandainya’. Setelah masuk Islam, aku tahu bahwa kata ‘seandainya’ membuka peluang perbuatan setan. Hal itu memang benar. Kami dahulu hidup dalam dunia kehinaan, jauh sekali terperosok kedalamnya. Maka celakalah orang yang menjerumuskan diri ke dalamnya dan berusaha untuk melakukan hal tersebut.

Perubahanku terjadi di tengah perjalanan kami ke Beiru. Dimana aku melihat penduduk disana membangun hotel dan rumah mereka kembali di bawah kejamnya alat-alat perang. Dengan kedua mataku sendiri aku menyaksikan rumah sakit anak-anak di Beirut. Aku tidak sendiri, tapi bersama teman-temanku dari kalangan ‘patung manusia’! Mereka sekedar melihat tanpa bersimpati seperti kebiasaan mereka. Aku tidak mampu bersikap seperti mereka dalam hal itu. Sungguh, saat itu lenyaplah belenggu popularitas, kemuliaan dan kehidupan palsu yang aku alami dari mataku. Serta merta aku menuju ke tubuh anak-anak kecil itu dalam suatu usaha menyelamatkan yang masih hidup dari mereka, dan aku tidak kembali kepada teman-temanku di hotel, di mana ketenaran sedang menungguku. Aku memulai perjalananku menuju kemanusiaan hingga aku sampai pada jalan cahaya, itulah Islam, lalu aku meninggalkan Beirut.

Bersama Kaum Muslimin Afghanistan dan Pakistan.

Aku menjalani kehidupanku yang sebenarnya, belajar menjadi seorang manusia. Delapan bulan sudah keberadaanku membantu dan melindungi keluarga-keluarga yang menderita akibat peperangan. Aku senang hidup bersama mereka, sehingga mereka pun memperlakukanku dengan baik. Keyakinanku terhadap Islam sebagai agama pedoman hidup semakin bertambah selama menjalaninya dan kehidupanku bersama keluarga-keluarga Afghan dan Pakistan serta gaya hidup keseharian mereka yang teratur. Kemudian aku mulai mempelajari bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an. Sungguh aku telah memperoleh kemajuan berarti dalam hal itu. Jadi, setelah aku mengadopsi aturan hidupku dari para perancang mode di dunia, kini hidupku berjalan mengikuti prinsip-prinsip Islam yang agung.

Aku menghadapi tekanan duniawi bertubi-tubi dari rumah-rumah mode internasional di Beirut. Mereka mengirim tawaran-tawaran kepadaku dengan melipatgandakan bayaran bulananku sampai tiga kali lipat, namun aku menolaknya dengan tegas. Mereka tidak punya jalan lain kecuali mengirimkan hadiah-hadiah yang mahal untukku agar aku mencabut sikapku dan keluar dari islam. Kemudian mereka berhenti merayuku untuk kembali dan berusaha mencoreng citraku di hadapan keluarga-keluarga Afghan. Mereka menyebarkan cover-cover majalah yang memuat foto-fotoku dulu ketika berprofesi sebagai peragawati dan menempelkannya di jalan-jalan. Seolah-oleh mereka balas dendam karena taubatku dan berupaya menimbulkan ketegangan antara diriku dan keluarga baruku. Tetapi, alhamdulillah, dugaan mereka salah.

Sungguh aku menyesali hari-hari yang telah berlalu itu, ketika sekarang aku merasakan kehormatan dan kemanusiaan diriku, serta bahwa aku seorang manusia yang mulia lagi terhormat , yang mempunyai kedudukan dan harga diri. Tidak pernah terdetik dalam benak saya, bahwa pada suatu hari tangan saya yang indah, tangan yang bertahun-tahun saya jagaagar tetap halus, akan saya pergunakan untuk melakukaan pekerjaaan kasar ditengaah-tengah gunung, Ttepai kerja keras ini semakin membersihkaan dan mensucikaan kedua tangaan saya dan akan mendatangkan pahala kebaikan dari-Nya, Insya Allah.

Comments System

Disqus Shortname