Tuesday, November 27, 2012

Paradiso Yogyakarta


Inspirasi – Perjalanan di kota Gudeg, dengan segala keeksotisan tempat-tempat wisata menjadi surga tersendiri untuk para pencari objek gambar. Untuk sekelas Bag packer dengan tiket kereta Progo dari Stasiun Senen, Jakarta menuju Lempuyangan, Yogyakarta seharga Rp.35.000,- kita bisa menikmati dan memulai perjalanan di negara dependen yang berbentuk Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini dikenal dengan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota ini memiliki batas utara Tugu Yogyakarta, timur sungai Code, selatan Panggung Krapyak, dan barat sungai Winongo. Dari Lempuyangan, terus berjalan kearah barat melewati kali Code yang merupakan hulu aliran lahar dingin dari Gunung Merapi saat meletusnya, kami menuju Jl. Malioboro;  Malioboro adalah tempat perkumpulan para pedagang kaki lima yang  dibuat sedemikian rupa menjadi tempat wisatawan turis dan mancanegara memanjakan matanya untuk menikmati barang jualan para pedagang sepanjang kira-kira 3 KM di pusat kota.

Mbah Suparti seorang penjual gudeg telah berjualan selama 40 tahun di depan Hotel Mutiara, Malioboro. Berusia sekitar 60 tahun memiliki cucu sebanyak 20 orang dari 3 anak lelakinya adalah seorang keturunan asli Kota Yogjakarta. “Buka di internet, ndo. Gudeg depan hotel disitu ada harga-harganya”, ungkap Mbah dengan senyum sumringahnya sambil melayani para pembeli. Makanan berbahan dasar nangka yang diolah bersama gula merah dan didiamkan selama satu hari satu malam, disajikan juga dengan krecek (krupuk kulit) yang diolah dengan bumbu khasnya. Makanan ini banyak dijajakan sepanjang jalan Malioboro dengan bakul nasi penjualnya.

Seorang nenek usia 72 tahun bernama Mbah Harjo Perwiro, yang berjualan buah di pinggir jalan. “Mbah maunya kerja terus, ndak mau nyusahain”, ungkap Mbah pemilik 3 orang anak dan 7 orang cicit. “Ndak dingin, dan sudah terbiasa,” jelas Mbah yang bertempat tinggal di Gamping dan kembali 3 hari sekali kerumahnya dan memilih tidur di emperan jalan. Sudah selama 20 tahun menjadi penjual buah di kawasan Malioboro.

Penjual wayang yang sudah bergelut selama 32 tahun juga nampak sangat menikmati pekerjaannya. Wayang yang terbuat dari kulit dan kayu berjejer rapi disusunnya untuk dijajakan beserta miniature otomotif (becak dan sepeda ontel). Biasanya Pakde Wongso (40tahun) mampu menerima pesanan baik dalam jumlah kecil maupun skala besar untuk pemesanan pembuatan wayang, bahkan sangat tidak keberatan jika ada yang berminat untuk menjadi supplier untuk bisnis wayangnya.

Makanan pinggir jalan yang paling khas di kota Yogjakarta adalah Sega kucing (nasi kucing) yang juga kini banyak ditemukan di Jakarta. Menyediakan nasi yang dibungkus berukuran kecil dengan goreng-gorengan dan aneka minuman hangat yang disajikan adalah pilihan paling pas dengan harga yang sangat terjangkau. Penambah aroma sedapnya berasal dari arang sebagai bahan pembakar dan pemanas air yang dimasak di dalam cerek.  

Selain sega kucing, Ronde makanan hangat jajanan pinggir jalan adalah menu yang diandalkan saat dinginnya kota Yogjakarta menyelimuti. Makanan yang bebahan dasar ketan dibuat bulat kecil-kecil yang brisi  gula merah yang ditambahkan dengan wedang jahe, roti, kacang tanah, kolang-kaling. Andi, 27 tahun sudah selama 2 tahun berdagang ronde dengan modal sendiri, setelah sebelumnya ikut berdagang bersama bosnya. “Susahnya paling kalo lagi ada satpol PP, berjualan di pinggir barat karena disitu trotoar untuk pejalan kaki. Biasanya disini untuk parkir jadi penuh motor.” Pria asli Magelang ini  menuturkan.

Turut melengkapi keramaian Malioboro juga, kang Jejen seorang penjual gulali asal Garut, Jawa Barat turut menjajakan dagangannya. Berbekal keahlian yang didapatnya dari kursus kepada seorang temannya untuk merancang gulali menjadi bentuk yang unik berupa bunga dan bentuk-bentuk lainnya, Kang Jejen kini juga tengah menetap di daerah Yogjakarta bersama keluarga kecilnya yang dibangun sejak tahun 2009 lalu.

Kegiatan ekonomi jual-beli segala aneka jajanan dan barang jualan para pedagang yang memulai aktifitasnya sejak pagi-pagi buta setiap harinya di Pasar Beringharjo yang juga menjadi bagian dari Jl.Malioboro. Pasar Beringharjo mempunyai makna filosofis karena juga merupakan salah satu pilar ‘Catur Tunggal’ (terdiri dari Kraton, Alun-alun Lor (utara), dan Pasar Beringharjo) yang melambangkan fungsi ekonomi sebagai satu tahapan pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat.

Terus berjalan kita akan melewati benteng Vredeburg, benteng yang dibangun Belanda pada tahun 1765 dan memiliki menara pengawas di keempat sudutnya dan kubu untuk tentara Belanda berkeliling-keliling. Menggambarkan diorama perjuangan bangsa Indonesia sebelum meraih kemerdekaannya. Terdapat juga Monumen Serangan 1 Maret 1949 di Yogakarta, Gedung Bank Indonesia, dan Gedung Pos Indonesia, serta Gedung BNI disekitar daerah 0 KM.

Tim Inspirasi juga mengunjungi Kraton Yogyakarta, tempat yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal raja namun juga menjadi penjaga nyala kebudayaan Jawa.Bangunan yang sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu namak masih kokoh berdiri dan nampak asri serta terawat dengan baik. Kraton memiliki garis imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi disini kita dapat menyaksikan aktivitas abdi dalam yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Berjalan kea rah Selatan, menyusuri daerah di belakang kompleks Kraton ada Alun-Alun Kidul atau yang biasa disingkat Alkid, tempat yang disimbolkan dengan gajah yang memiliki watak tenang. Mencoba atraksi yang dinamakan Masangin, yaitu melewati jalan antara dua beringin yang ada di tengah alun-alun dengan mata ditutup kain hitam. Konon, jika orang mampu melewatinya dan tak serong dan menabrak makan akan dapatkan keberkahan dan keinginannya tercapai.

Masih banyak lagi objek wisata dan tempat-tempat menarik di Yogyakarta, dari setiap sudutnya  selalu menarik, tatanan yang begitu apik dengan keramahan dan kesopanan dari masyarakat sekitar bahkan hingga kepada para tukang becak yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan turis lokal maupun mancanegara berkeliling di Yogyakarta. Selalu ada kesan, selalu ada kisah, selalu ada banyak hal untuk dibagikan untuk menjadi inspirasi.Paradiso Yogyakarta, Surganya wisata. (DZ)

Comments System

Disqus Shortname