Wednesday, June 27, 2012

Cinta Sejuta Makna

Oleh : Asep Hidayat

Fajar masih menggantung di peta langit, nyanyian-nyanyian malam masih terasa hingga subuh menjelang. Kokokan ayam jantan sesekali membuatku terbangun dari lelapnya tidur.Sudah beberapa hari ini aku di buat gelisah, senang dan juga ada sedikit ketakutan. Takut kehilangan yang entah darimana rimbanya. Seperti biasa, sehabis subuh aku paksakan untuk membaca Al Ma'tsuraat dan surat Al Waqiah. Konon dengan membaca surat tersebut hati menjadi lebih tenang dan diberi kemudahan di dalam rizki. Dan memang itu benar adanya

Pagi ini aku harus kembali merantau, merantau untuk mencari ilmu dan juga tentunya mencari duniaku. Duniaku yang sempat hilang karena terhempas badai hidup yang bertubi-tubi. Ada sedikit ke khawatiran di wajahnya yang sendu, namun beliau tetap mampu menyembunyikannya dariku “Ibu tidak menyangka dulu masih kecil, sekarang sudah dewasa” katanya sambil membasahi jiwaku


“Ibu yang selalu mendidik dan membimbing kita sebagai anak-anaknya tanpa terkecuali namun sebelum membalas jasanya kita keburu sudah berkeluarga.”
Rambutnya yang sudah memutih membuatku tidak segan untuk terus melangkah meninggalkannya. Ingin sekali rasanya tinggal bersamanya namun ilmu belum diraih dan pengalaman belum didapat, belum ada yang bisa membuatnya tetap tersenyum terkecuali ilmu yang di dapat dari anaknya. “Selesaikanlah apa yang sudah kau mulai, tetaplah berbuat baik ketika dirantau maupun di kampung sendiri. Tetaplah bersabar dan ikhlaslah dalam menjalani hidup, Allah sungguh sangat dekat dengan orang-orang yang sabar”. Nasehatnya, sepertinya beliau tahu tentang kegundahanku
“Apakah ini yang di maksud dengan yang namanya cinta? Ketika kita jauh, namun terasa dekat”
Ini bukan perantauanku yang pertama kali, dulu ketika selepas sekolah dasar (SD) aku juga pernah merantau ke kota lain. Namun itu ketika tulang-tulang ibuku masih sekuat baja bahkan aku yang menangis seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ma'lum tinggal di asrama dan melakukan segalanya dengan mandiri dalam usia yang masih dini tidaklah mudah. Tanpa belas kasihan, ibu meninggalkan aku sendiri di asrama untuk belajar dan tentunya bergabung dengan orang asing yang semuanya bersarung dan berkopiah.


Belum pernah sekalipun aku melihat ibu menangis. Terkecuali ketika beliau harus menjadi perempuan perkasa dalam usia yang masih terbilang muda. Jum'at yang masih gelap, kita di kagetkan dengan suara Tahlil dari orang terkasih untuk meninggalkan kita selama-lamanya. Masih terasa dalam ingatanku, adzan subuh yang berkumandang mengajak kita semua untuk selalu bersimpuh. Dalam buaian do'a yang panjang, kita terkaget-kaget ketika beliau (bukan ibu) meminta maaf kepada ibu dan kami semua. Innalillahi wa innalilahi roji'un. Bibir dan mata kami basah. Ibu menangis namun tanpa suara 
Beliau mengapit kami seperti induk ayam mengapit anak-anaknya. Sembari meyakinkan bahwa yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal, semuanya akan kembali kepada yang punya hidup tanpa terkecuali. Kami telah kehilangan nahkoda. Nahkoda yang membuat para awaknya tetap nyaman meski di hempas badai deras yang bergelombang besar, kini wakil nahkoda yang masih lemah harus menjadi nahkoda yang sebenarnya. Meski tidak sekuat karang namun beliau tidak mudah di goyahkan. Kami sebagai awaknya tidak mau kehilangan sang nahkoda lagi. Cukup satu nahkoda yang boleh di ambil Tuhan
Matanya yang sayu dan pipinya yang ranum selalu membuatku di buat rindu. Meski belum pernah sekalipun aku mengucapkan “Aku sayang ibu” secara lisan, tapi cinta dan rindu ini selalu membucah-buncah. Yah, perempuan jawa yang selalu tersenyum meski hidup tidak selamanya lurus. “Ada kalanya hidup harus berhenti sebentar dan menikmati yang namanya susah agar kita tahu yang namanya bahagia. Bahagia itu di ciptakan bukan pencarian apalagi di tunggu” katanya sambil  menciumi pipiku

Dengan segala kenakalanku, beliau masih saja mendidik dan membimbingku untuk menunjukan arti dari hidup yang sebenarnya. Bukan sumpah serapah yang terbiasa kudengar dari tetangga sekitar ketika memarahi anak-anaknya . “Ucapan itu doa”
Pernah pula aku membuatnya marah, ketika tidak mau berangkat sekolah tanpa alasan yang jelas. Beliau hanya diam dan biasanya hasil dari kemarahannya itu tidak ada makanan yang bisa dimakan sebab tidak ada yang memasak. Hemm.. marah yang unik, mungkin perlu kutiru untuk membimbing generasiku
Dalam sujud-sujud malamnya yang panjang  beliau selalu mendoakan orang tuanya, kasihnya dan tentunya kami anak-anaknya. Tak terasa pipinya basah, mungkin karena beban hidupnya yang terlalu berat. Berat, namun kami tak pernah melihat dalam semburat wajahnya yang ayu. Beliau tetap kokoh, meski banyak topeng diluar sana yang kerap mencaci maki. “Kuncinya sabar dan Ikhlas” 
Tak terasa kejadian itu sudah Sebelas tahun yang lalu, ombak badai yang bertubi-tubi kini pelan namun pasti semakin surut. Kadang kecil, kadang juga besar. Tapi semua ini sudah bisa dilalui sebab pengalaman yang mengajarkan itu. Bertahan pada prinsip asal itu benar. Oh Tuhan, andai saja nyawa bisa diminta kembali pasti sudah kuminta nyawa itu untuk menemani ibuku tercinta
Mas, latihlah diri kalian untuk selalu bertopang pada diri kalian sendiri dan Allah. I'timad ala nafsi: mandiri, bertumpu pada diri sendiri. Segala hal dalam hidup ini tidak ada yang abadi, semuanya akan berganti silih berganti. Kesusahan akan pergi, kesenangan akan pergi. Ahirnya hanya tinggal urusan kalian sendiri dengan Allah saja nanti”

Nasehat itu membuatku kembali kuat untuk meraih impian. Memang benar semua ini tidak ada yang abadi, semuanya akan kembali kepada yang punya hidup. Melakukan yang terbaik itu yang seharusnya kita lakukan. Bukan pasrah sebelum mengusahakan dengan sungguh-sungguh.


Dengan diiringi doa dan nasehat yang bertumpuk-tumpuk. Aku tetap melangkah. Tak lupa, kuciumi tangannya sebagai tanda baktiku. Tangan yang telah mengasuh, mendidik dan menyuapiku dengan penuh keikhlasan. Tak lupa kuciumi pula pipinya, meski asem namun membekas.

                                                                           ***
Selalu saja kurindu
Abad-abad terus berlalu
Berjuta kali berganti baju
Nun jauh di sana
Mata bening menatapku haru
Penuh rindu
Mata Bundaku yang selalu kurindu

Terima kasih yang tak terhingga, Ibu….:)

Comments System

Disqus Shortname