Dahulu aku bukanlah
seorang anak yang berbakti pada ayah dan ibuku, aku adalah seorang pengekang
laksana Malin Kundang yang durhaka pada ibunya sendiri. Namun semua itu merubah
diriku pada saat ayah meninggalkan aku, ibu beserta adikku yang masih kecil.
Kehidupan kami yang dulu serba dari hidup mewah berganti jauh dari kehidupan
yang tak bisa dikatakan layak. Ibu
seorang penyabar, apalagi saat ayah harus meninggalkannya karena serangan
jantung yang disebabkan karena aku. Lagi lagi karena aku, ya memang aku yang
harus menanggung semuanya. Dia kecelakaan pada saat mengendarai mobil setelah
beberapa kali menghubungi aku dan aku jawab dengan nada perintah agar cepat
sampai di sekolah karena saat itu para orang tua murid harus datang untuk mendatangi
rapat kelulusan murid SMP di kawasan Jakarta Selatan.
Sungguh tragis,
bahkan aku menganggapnya tak adil ketika dunia tak berpihak kepadaku lagi.
Sempat ku terdiam lalu menangis di pusara ayahku dengan menggenggam ijazah yang
kudapatkan setelah 3 tahun ku menempuh di bangku sekolah menengah pertama. Ibu
berusaha menenangkan aku walaupun aku tahu diapun sangat terpukul dengan
kepergian seorang lelaki yang amat sangat dia cintai. Begitupun adikku, yang
seharusnya diumur yang masih terbilang kecil dia masih mendapat belaian dari
kedua orang tuanya namun tidak saat ayah meninggalkannya.
Beranjak tiga
tahun berlalu begitu lambat namun dapat ku lalui dengan sabar. Keseharianku tak
seperti anak-anak lainnya. Teman-teman biasa memanggilku dengan sih pedangdut,
ya karena aku adalah seorang panyanyi dangdut dengan bermodal suara aku pindah
dari panggung ke panggung lainnya. Sebenarnya aku malu melakukannya. Namun aku
hanya mengikuti langkahku kemana dia berpijak.
Mentari
menyibakkan sinarnya seakan tak ingin kalah dengan sang rembulan yang telah
menyinari malamnya yang gelap. Panas semakin menyengat namun tak ku hiraukan.
Aku sudah terlambat dari lima menit yang lalu. Aku benci saat-saat seperti ini.
Kenapa aku harus berjalan tak menggunakan mobil seperti dahulu? Kenapa aku
harus kesiangan dan ibu tak membangunkanku, dia malah sudah sibuk dirumah
orang? Huuuuuuuuhhh... Tak sempat meneruskan rasa kecewaku pada dunia. Aku
tertegun pada seorang bocah kecil yang sangat rajin mencari uang. Dengan mata
nanar kepada orang-orang pejalan kaki maupun kepada sang pemilik mobil-mobil
mewah seperti mobil almarhum ayahku, bocah lelaki itu terus menjajakan suaranya
dengan menggenggam sebuah krencengan. Dan saat ku dekati ia. Aku kaget bukan
kepalang ternyata dia...
”Ngapain kamu
disini Rif?” tanyaku sambil menyeret dia ke tepi jalan.
”Kaka yang
ngapain disini?” jawabnya acuh...
”Kamu sekarang
berani sama kaka ya, nanti kaka bilangin sama ibu kalo selama ini kamu....,” belum
sempat aku meneruskan kata-kataku.
”Kaka seorang penyanyi
dangdut gitu” ucapnya memotong pembicaraanku
”Darimana kamu
tahu?”
”Kenapa kaka
engga pernah bilang sama arif?”
”Kamu engga perlu
tahu Rif, yang harus kamu tahu itu kamu sekolah sama kayak temen-temenmu yang
lain, kamu engga perlu melakukan seperti ini, ibu bisa marah kalo dia tahu kamu
seperti ini”ucapku menjelaskannya dan tak terasa air mataku mengalir saat ku
menatap mata polosnya.
Seketika tubuh
mungil itu memelukku, terasa hangat menenangkan hati dan fikiranku sama seperti
ayah dan ibuku saat mereka memelukku dulu.
”Arif bukan bocah
kecil lagi ka,Arif cuma ingin membantu kaka, Arif tahu saat semalam kaka
menggung di kampung sebelah. Ibu sakit keras ka, dia harus dibawa kerumah
sakit,” jawabnya lirih sambil memelukku.
”Sakit apa Rif,
kenapa dia engga pernah cerita?”
”Arif juga engga
tahu sakit apa, ibu batuk-batuk berdarah waktu ibu beres-beresin baju
cuciannya”
Aku tercengang,
aku bingung, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan saat ini.
”Kita kerja cari
uang bareng-bareng ka biar ibu bisa kerumah sakit, tapi kita engga usah cerita
ke ibu tentang ini ka, kaka janji ya,” pintanya membuatku tersenyum kepadanya.
”Tapi kamu harus
janji, kamu engga boleh ninggalin sekolahmu, sekolah itu nomor satu,” jawabku
sambil mengangkat telunjukku. Dan dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
tanda setuju.
Jam istirahat
telah tiba. Namun hari ini, hari yang tak paling aku sukai. Setelah terlambat
dua puluh menit jam masuk sekolah tadi, kini aku mendapat teguran dari ibu
Kepala Sekolah. Teman sebangkuku yang merupakan satu-satunya sahabatku dia memberikan
dorongan kepadaku untuk tetap terus semangat saat aku berjalan keluar kelas
menuju ruang Kepsek.
”Silahkan masuk”
setelah aku mengetuk pintunya tiga kali.
Lalu aku duduk
berhadapan dengannya setelah dia mengijinkanku duduk. Kemudian dia memberikan
peringatan padaku agar aku melunasi semua tunggakanku kepada sekolah sebelum
ujian nasional dimulai atau kalau tidak aku tidak diperkenankan untuk mengikuti
ujian tersebut.
Seperti biasa aku
pulang malam. Sudah berulang kali ibu menungguku dikursi kayunya. Biasanya ia
tertidur, namun tidak malam ini. Ia menyalakan lampu saat aku membuka pintu
rumah dengan pelan. Ia marah setelah aku mencium tangannya. Aku tahu rasa kesal
itu. Aku sadar bahwa tak sepantasnya seorang wanita pulang sampai malam seperti
ini. Aku mencoba membuat alasan, namun kini ibu tak bisa dibohongi lagi.
”Darimana kamu
nak, kenapa akhir-akhir ini selalu saja pulang malam”
”Habis ngerjain
tugas dirumah teman bu”
”Dengan wajah
celemotan gitu” aku terdiam saat ibu berbicara seperti itu
”Jawab Kania,
apapun alasan kamu, ibu sudah tidak bisa terima, ibu sudah dengar dari yang
lain. Kamu nyanyi kan?” sebelum sempat aku memberi jawaban, dia batuk-batuk.
Semakin lama semakin parah. Dia langsung pergi ke toilet. Aku mengikuti
langkahnya. Dan aku tak dapat menutupi rasa cemasku saat apa yang dikatakan
adikku itu benar apadanya. Darah merah segar keluar dari mulutnya. Dan ia
mencoba menutupinya dari aku saat aku memanggilnya.
Dua minggu telah
berlalu. Aku tak dapat menepati janjiku pada Ibu Kepsek. Aku terpaksa tak
mengikuti ujian nasional. Aku malah sibuk mengurus ibuku yang sakit parah.
Andai dia tahu saat ini aku ujian, dia tak akan membiarkanku mengurusnya,
mungkin dia akan mencari pinjaman uang agar aku bisa ikut ujian. Namun semua
itu tak kulakukan. Setelah adikku mandi, dia berbisik padaku agar aku pergi ke
sekolah. Aku hanya geleng-geleng kepala. Lalu ia mengingatkanku pada kata-kata
yang dulu pernah kuucapkan bahwa apapun yang terjadi sekolah tetap nomor satu.
Aku beranjak pergi dan mengucapkan salam pada ibuku. Sesampainya di sekolah,
aku hanya dapat menyaksikan teman-temanku yang sedang serius mengerjakan soal,
begitupun dengan sahabatku yang berulang kali menengok bangku kosong
disebelahnya yang adalah bangkuku. Betapa perih hati ini, ingin aku menangis
namun aku hanya bersabar. Tiba-tiba Bu Sigit, wali kelasku muncul dari
belakang. Aku kaget, sempat aku mengusap air mataku namun dia lebih dulu
melihatnya.
”Sekarang
masuklah ke ruanganmu” ucapnya dengan tersenyum
”Engga bu, saya
belum melunasi tunggakan sekolah”
Dengan wajah
gembira bukan main aku langsung masuk dan duduk di sebalah bangku sahabatku.
Hari ini adalah
hari bahagia untuk aku beserta teman-temanku. Sekolah telah ramai dari pagi
ini. Rata-rata murid membawa orang tuanya untuk pengambilan ijazah dan
pengumuman yang lainnya. Aku hanya datang sendiri untuk mengambil sebuah hasil
yang selama ini aku capai dengan susah payah. Aku sempat iri dengan mereka dan
terlintas sosok Ibu di rumah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Setelah kudapatkan ijazah itu. Aku duduk di
aula untuk mengikuti acara selanjutnya yaitu pengumuman murid-murid yang mendapatkan
beasiswa dari universitas terkemuka dengan program PMDK. Pertama kali ibu
Kepsek memberikan sambutan pembukaan acara dan seterusnya dilanjutkan oleh Bu
Sigit untuk memberitahu berita yang sangat dinanti-nantikan. Ada sepuluh orang
yang mendapat beasiswa itu. Tadinya aku sempat tak ingin mengikuti acara ini
karena aku tahu aku tak akan mendapat beasiswa ini. Namun niatku dicagah oleh
Bu Sigit. Entah mengapa dia mencegahku. Satu persatu telah disebutkan. Sorak
sorai dan tepuk tangan memeriahkan acara tersebut. Wajah bahagia terpacancar
dari mereka yang berdiri gagah menerima hadiah itu. ”Kania Wijayanti” aku kaget
saat Bu Sigit memanggil namaku untuk ketigakalinya. Lalu aku beranjak dari
tempat dudukku dan menerima sebuah plakat yang diberikan langsung dari ibu
Kepsek. Ya tuhan betapa bersukurnya aku saat ini. Dan aku harus katakan ini
kepada ibu. Ya, aku harus buru-buru sampai rumah untuk memberikan kabar baik
ini.
Aku berlari dan
membuka pintu rumahku tanpa mengetuknya, lalu aku menuju ruang tengah tepatnya
kamar ibuku. Lalu aku menciumnya dan mengatakan kabar baik itu. Aku ingin dia
bahagia atas jerih payah yang kuraih selama ini. Aku ingin dia sembuh dan
merayakan hari ini bersama-sama. Namun dia hanya tersenyum. Sebuah senyum yang
mengandung sebuah makna. Tiba-tiba dia batuk parah hingga mengeluarkan cairan
merah itu berulang kali. Adikku sibuk mengelap mulutnya. Aku tak dapat menahan
rasa sakitku betapa sakit aku melihat ibuku seperti ini. Aku menyuruh adikku
untuk membawanya ke rumah sakit. Namun dia mencegahnya dan memegang tanganku
dan adikku.
"ohok..ohokk...
Kania, kamu telah dewasa. kamu anak yang pintar. Dan ibu sangat bahagia
mempunyai anak sepertimu juga adikmu. Ini adalah hadiah terindah yang kamu
berikan kepada ibu nak. Kamu mau jagain adikmu kan. Dan arif, kamu harus mengikuti kakakmu, jadilah
seperti dia. Kalian harus bersatu, engga boleh berantem lagi ya,” ucapnya lirih
kepadaku dan adikku.
"Iya bu, tapi ibu
harus sembuh," jawabku
"Ya bu, ibu
berobat ya“ disambut adikku
"Engga usah, ibu
sudah lega. Ibu kengen sama kalian, boleh ibu peluk kalian”
Lalu aku dan
adikku jatuh ke dalam pelukan ibu. Betapa hangat kurasakan. Tiba-tiba suara itu
melemah, tangan itu mulai merenggang, nafas itu sudah tak terasa. Aku
melepaskan pelukannya dan ketika ku tatap wajah ibu yang sudah pucat pasi, aku
berusaha membangunkan dari tidurnya berharap bahwa tak ada apa-apa. Namun Arif
meyakinkanku bahwa ibu telah tiada. Betapa mirisnya hati ini. Kenapa ia sama
dengan ayah meninggalkanku saat aku memberikan hadiah untuk mereka.
Semilir angin
menerbangkan rambutku yang sebagian ditutupi oleh kain bewarna hitam. Di atas
tanah merah yang masih basah dengan nisan bertuliskan nama ibuku. Aku terus
mendoakannya walaupun air mata ini membasahi wajahku dan membuat pandanganku
menjadi buram. Arif berusaha menenangkanku sama seperti dulu ibu yang
menenangkanku waktu ayahku pergi. Dia pun pasti sangat kehilangan ibu. Seketika
sebuah telapak tangan memegang pundakku. Saat ku tahu orang itu tak lain adalah
Bu Sigit, wali kelasku dan juga teman baik ibuku.
”Biarkan dia
pergi dengan tenang nak, masih panjang perjalanan kalian, dia pasti sangat
bahagia jika melihat kalian bahagia”.
”Kenapa semuanya
pergi, apa mereka udah engga sayang sama kami,” ucapku dengan terbata-bata.
”Dunia ini hanya
sementara, dan kitapun pasti akan mengalami hal yang sama yaitu meninggal dan
nantinya kita akan dipertemukan di akhirat sayang”.
”Lalu siapa yang
akan menyayangi arif lagi,” tiba-tiba Arif bertanya dengan sesungukan
”Ada kakakmu, ada
ibu dan juga teman-temanku, ibumu telah menitipkan kalian pada ibu, jadi
sekarang anggap saya sebagai ibu kalian ya. Dan teruskanlah mendoakan orang tua
kalian, agar mereka bahagia di atas sana,” jawabnya tersenyum.