Thursday, May 24, 2012

Hadiah terakhir untuk Ibu

Oleh : Atika Ningtyas

Dahulu aku bukanlah seorang anak yang berbakti pada ayah dan ibuku, aku adalah seorang pengekang laksana Malin Kundang yang durhaka pada ibunya sendiri. Namun semua itu merubah diriku pada saat ayah meninggalkan aku, ibu beserta adikku yang masih kecil. Kehidupan kami yang dulu serba dari hidup mewah berganti jauh dari kehidupan yang tak bisa dikatakan layak. Ibu seorang penyabar, apalagi saat ayah harus meninggalkannya karena serangan jantung yang disebabkan karena aku. Lagi lagi karena aku, ya memang aku yang harus menanggung semuanya. Dia kecelakaan pada saat mengendarai mobil setelah beberapa kali menghubungi aku dan aku jawab dengan nada perintah agar cepat sampai di sekolah karena saat itu para orang tua murid harus datang untuk mendatangi rapat kelulusan murid SMP di kawasan Jakarta Selatan.

Sungguh tragis, bahkan aku menganggapnya tak adil ketika dunia tak berpihak kepadaku lagi. Sempat ku terdiam lalu menangis di pusara ayahku dengan menggenggam ijazah yang kudapatkan setelah 3 tahun ku menempuh di bangku sekolah menengah pertama. Ibu berusaha menenangkan aku walaupun aku tahu diapun sangat terpukul dengan kepergian seorang lelaki yang amat sangat dia cintai. Begitupun adikku, yang seharusnya diumur yang masih terbilang kecil dia masih mendapat belaian dari kedua orang tuanya namun tidak saat ayah meninggalkannya.

Beranjak tiga tahun berlalu begitu lambat namun dapat ku lalui dengan sabar. Keseharianku tak seperti anak-anak lainnya. Teman-teman biasa memanggilku dengan sih pedangdut, ya karena aku adalah seorang panyanyi dangdut dengan bermodal suara aku pindah dari panggung ke panggung lainnya. Sebenarnya aku malu melakukannya. Namun aku hanya mengikuti langkahku kemana dia berpijak.

Mentari menyibakkan sinarnya seakan tak ingin kalah dengan sang rembulan yang telah menyinari malamnya yang gelap. Panas semakin menyengat namun tak ku hiraukan. Aku sudah terlambat dari lima menit yang lalu. Aku benci saat-saat seperti ini. Kenapa aku harus berjalan tak menggunakan mobil seperti dahulu? Kenapa aku harus kesiangan dan ibu tak membangunkanku, dia malah sudah sibuk dirumah orang? Huuuuuuuuhhh... Tak sempat meneruskan rasa kecewaku pada dunia. Aku tertegun pada seorang bocah kecil yang sangat rajin mencari uang. Dengan mata nanar kepada orang-orang pejalan kaki maupun kepada sang pemilik mobil-mobil mewah seperti mobil almarhum ayahku, bocah lelaki itu terus menjajakan suaranya dengan menggenggam sebuah krencengan. Dan saat ku dekati ia. Aku kaget bukan kepalang ternyata dia...
”Ngapain kamu disini Rif?” tanyaku sambil menyeret dia ke tepi jalan.
”Kaka yang ngapain disini?” jawabnya acuh...
”Kamu sekarang berani sama kaka ya, nanti kaka bilangin sama ibu kalo selama ini kamu....,” belum sempat aku meneruskan kata-kataku.
”Kaka seorang penyanyi dangdut gitu” ucapnya memotong pembicaraanku
”Darimana kamu tahu?”
”Kenapa kaka engga pernah bilang sama arif?”
”Kamu engga perlu tahu Rif, yang harus kamu tahu itu kamu sekolah sama kayak temen-temenmu yang lain, kamu engga perlu melakukan seperti ini, ibu bisa marah kalo dia tahu kamu seperti ini”ucapku menjelaskannya dan tak terasa air mataku mengalir saat ku menatap mata polosnya.
Seketika tubuh mungil itu memelukku, terasa hangat menenangkan hati dan fikiranku sama seperti ayah dan ibuku saat mereka memelukku dulu.
”Arif bukan bocah kecil lagi ka,Arif cuma ingin membantu kaka, Arif tahu saat semalam kaka menggung di kampung sebelah. Ibu sakit keras ka, dia harus dibawa kerumah sakit,” jawabnya lirih sambil memelukku.
”Sakit apa Rif, kenapa dia engga pernah cerita?”
”Arif juga engga tahu sakit apa, ibu batuk-batuk berdarah waktu ibu beres-beresin baju cuciannya”
Aku tercengang, aku bingung, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan saat ini.
”Kita kerja cari uang bareng-bareng ka biar ibu bisa kerumah sakit, tapi kita engga usah cerita ke ibu tentang ini ka, kaka janji ya,” pintanya membuatku tersenyum kepadanya.
”Tapi kamu harus janji, kamu engga boleh ninggalin sekolahmu, sekolah itu nomor satu,” jawabku sambil mengangkat telunjukku. Dan dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

Jam istirahat telah tiba. Namun hari ini, hari yang tak paling aku sukai. Setelah terlambat dua puluh menit jam masuk sekolah tadi, kini aku mendapat teguran dari ibu Kepala Sekolah. Teman sebangkuku yang merupakan satu-satunya sahabatku dia memberikan dorongan kepadaku untuk tetap terus semangat saat aku berjalan keluar kelas menuju ruang Kepsek.
”Silahkan masuk” setelah aku mengetuk pintunya tiga kali.
Lalu aku duduk berhadapan dengannya setelah dia mengijinkanku duduk. Kemudian dia memberikan peringatan padaku agar aku melunasi semua tunggakanku kepada sekolah sebelum ujian nasional dimulai atau kalau tidak aku tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian tersebut.

Seperti biasa aku pulang malam. Sudah berulang kali ibu menungguku dikursi kayunya. Biasanya ia tertidur, namun tidak malam ini. Ia menyalakan lampu saat aku membuka pintu rumah dengan pelan. Ia marah setelah aku mencium tangannya. Aku tahu rasa kesal itu. Aku sadar bahwa tak sepantasnya seorang wanita pulang sampai malam seperti ini. Aku mencoba membuat alasan, namun kini ibu tak bisa dibohongi lagi.
”Darimana kamu nak, kenapa akhir-akhir ini selalu saja pulang malam”
”Habis ngerjain tugas dirumah teman bu”
”Dengan wajah celemotan gitu” aku terdiam saat ibu berbicara seperti itu
”Jawab Kania, apapun alasan kamu, ibu sudah tidak bisa terima, ibu sudah dengar dari yang lain. Kamu nyanyi kan?” sebelum sempat aku memberi jawaban, dia batuk-batuk. Semakin lama semakin parah. Dia langsung pergi ke toilet. Aku mengikuti langkahnya. Dan aku tak dapat menutupi rasa cemasku saat apa yang dikatakan adikku itu benar apadanya. Darah merah segar keluar dari mulutnya. Dan ia mencoba menutupinya dari aku saat aku memanggilnya.
Dua minggu telah berlalu. Aku tak dapat menepati janjiku pada Ibu Kepsek. Aku terpaksa tak mengikuti ujian nasional. Aku malah sibuk mengurus ibuku yang sakit parah. Andai dia tahu saat ini aku ujian, dia tak akan membiarkanku mengurusnya, mungkin dia akan mencari pinjaman uang agar aku bisa ikut ujian. Namun semua itu tak kulakukan. Setelah adikku mandi, dia berbisik padaku agar aku pergi ke sekolah. Aku hanya geleng-geleng kepala. Lalu ia mengingatkanku pada kata-kata yang dulu pernah kuucapkan bahwa apapun yang terjadi sekolah tetap nomor satu. Aku beranjak pergi dan mengucapkan salam pada ibuku. Sesampainya di sekolah, aku hanya dapat menyaksikan teman-temanku yang sedang serius mengerjakan soal, begitupun dengan sahabatku yang berulang kali menengok bangku kosong disebelahnya yang adalah bangkuku. Betapa perih hati ini, ingin aku menangis namun aku hanya bersabar. Tiba-tiba Bu Sigit, wali kelasku muncul dari belakang. Aku kaget, sempat aku mengusap air mataku namun dia lebih dulu melihatnya.
”Sekarang masuklah ke ruanganmu” ucapnya dengan tersenyum
”Engga bu, saya belum melunasi tunggakan sekolah”

”Sudahlah, ibu sudah mengurusnya dan berbicara dengan Kepsek, dan sekarang kamu diijinkan mengikuti ujian nasional”
Dengan wajah gembira bukan main aku langsung masuk dan duduk di sebalah bangku sahabatku.

Hari ini adalah hari bahagia untuk aku beserta teman-temanku. Sekolah telah ramai dari pagi ini. Rata-rata murid membawa orang tuanya untuk pengambilan ijazah dan pengumuman yang lainnya. Aku hanya datang sendiri untuk mengambil sebuah hasil yang selama ini aku capai dengan susah payah. Aku sempat iri dengan mereka dan terlintas sosok Ibu di rumah yang sedang berjuang melawan penyakitnya.  Setelah kudapatkan ijazah itu. Aku duduk di aula untuk mengikuti acara selanjutnya yaitu pengumuman murid-murid yang mendapatkan beasiswa dari universitas terkemuka dengan program PMDK. Pertama kali ibu Kepsek memberikan sambutan pembukaan acara dan seterusnya dilanjutkan oleh Bu Sigit untuk memberitahu berita yang sangat dinanti-nantikan. Ada sepuluh orang yang mendapat beasiswa itu. Tadinya aku sempat tak ingin mengikuti acara ini karena aku tahu aku tak akan mendapat beasiswa ini. Namun niatku dicagah oleh Bu Sigit. Entah mengapa dia mencegahku. Satu persatu telah disebutkan. Sorak sorai dan tepuk tangan memeriahkan acara tersebut. Wajah bahagia terpacancar dari mereka yang berdiri gagah menerima hadiah itu. ”Kania Wijayanti” aku kaget saat Bu Sigit memanggil namaku untuk ketigakalinya. Lalu aku beranjak dari tempat dudukku dan menerima sebuah plakat yang diberikan langsung dari ibu Kepsek. Ya tuhan betapa bersukurnya aku saat ini. Dan aku harus katakan ini kepada ibu. Ya, aku harus buru-buru sampai rumah untuk memberikan kabar baik ini.

Aku berlari dan membuka pintu rumahku tanpa mengetuknya, lalu aku menuju ruang tengah tepatnya kamar ibuku. Lalu aku menciumnya dan mengatakan kabar baik itu. Aku ingin dia bahagia atas jerih payah yang kuraih selama ini. Aku ingin dia sembuh dan merayakan hari ini bersama-sama. Namun dia hanya tersenyum. Sebuah senyum yang mengandung sebuah makna. Tiba-tiba dia batuk parah hingga mengeluarkan cairan merah itu berulang kali. Adikku sibuk mengelap mulutnya. Aku tak dapat menahan rasa sakitku betapa sakit aku melihat ibuku seperti ini. Aku menyuruh adikku untuk membawanya ke rumah sakit. Namun dia mencegahnya dan memegang tanganku dan adikku.
"ohok..ohokk... Kania, kamu telah dewasa. kamu anak yang pintar. Dan ibu sangat bahagia mempunyai anak sepertimu juga adikmu. Ini adalah hadiah terindah yang kamu berikan kepada ibu nak. Kamu mau jagain adikmu kan. Dan  arif, kamu harus mengikuti kakakmu, jadilah seperti dia. Kalian harus bersatu, engga boleh berantem lagi ya,” ucapnya lirih kepadaku dan adikku.
"Iya bu, tapi ibu harus sembuh," jawabku
"Ya bu, ibu berobat ya“ disambut adikku
"Engga usah, ibu sudah lega. Ibu kengen sama kalian, boleh ibu peluk kalian”
Lalu aku dan adikku jatuh ke dalam pelukan ibu. Betapa hangat kurasakan. Tiba-tiba suara itu melemah, tangan itu mulai merenggang, nafas itu sudah tak terasa. Aku melepaskan pelukannya dan ketika ku tatap wajah ibu yang sudah pucat pasi, aku berusaha membangunkan dari tidurnya berharap bahwa tak ada apa-apa. Namun Arif meyakinkanku bahwa ibu telah tiada. Betapa mirisnya hati ini. Kenapa ia sama dengan ayah meninggalkanku saat aku memberikan hadiah untuk mereka.

Semilir angin menerbangkan rambutku yang sebagian ditutupi oleh kain bewarna hitam. Di atas tanah merah yang masih basah dengan nisan bertuliskan nama ibuku. Aku terus mendoakannya walaupun air mata ini membasahi wajahku dan membuat pandanganku menjadi buram. Arif berusaha menenangkanku sama seperti dulu ibu yang menenangkanku waktu ayahku pergi. Dia pun pasti sangat kehilangan ibu. Seketika sebuah telapak tangan memegang pundakku. Saat ku tahu orang itu tak lain adalah Bu Sigit, wali kelasku dan juga teman baik ibuku.
”Biarkan dia pergi dengan tenang nak, masih panjang perjalanan kalian, dia pasti sangat bahagia jika melihat kalian bahagia”.
”Kenapa semuanya pergi, apa mereka udah engga sayang sama kami,” ucapku dengan terbata-bata.
”Dunia ini hanya sementara, dan kitapun pasti akan mengalami hal yang sama yaitu meninggal dan nantinya kita akan dipertemukan di akhirat sayang”.
”Lalu siapa yang akan menyayangi arif lagi,” tiba-tiba Arif bertanya dengan sesungukan
”Ada kakakmu, ada ibu dan juga teman-temanku, ibumu telah menitipkan kalian pada ibu, jadi sekarang anggap saya sebagai ibu kalian ya. Dan teruskanlah mendoakan orang tua kalian, agar mereka bahagia di atas sana,” jawabnya tersenyum.

Comments System

Disqus Shortname