Monday, February 4, 2013

Bahagia Itu Sederhana

Pagi ini semua seperti berselimut salju, dinginnya membuat badan ini menggigil bahkan bibir ini tak sanggup untuk menyembunyikan hawa yang sangat membuat suhu badan terasa membeku. Aku 4 bersaudara dengan hidup yang penuh dengan tantangan dan banyak tikungan namun kuhadapi hidup ini dengan selalu tersenyum Aina. Aku tinggal didesa Ayeman jawa tengah, tepatnya dibawah kaki gunung. Ayah dan ibu adalah petani sedangkan aku harus membagi waktu untuk bersekolah dan bekerja untuk membantu orangtuaku serta membayar sekolahku dan adik-adiku yang masih kecil. Datangnya sang fajar membuat aku bangun dari lelap tidur semalam menuju kamar mandi untuk sholat memohon perlindungan sang Maha untuk segala jalan kehidupan, setelah sholat berjamaah aku harus berangkat kepasar untuk membeli bahan-bahan kue bersama ibu, pasarnya memang cukup jauh butuh waktu sekitar 1 jam untuk jalan menuju pasar sebab didesaku belum ada alat transportasi umum.

Sesampainya dipasar aku harus berpisah dengan ibu karna tugas kita masing-masing telah dibagi, aku membeli bahan untuk membuat lapis putri ayu sedangkan ibu membeli perlengkapan untuk membungkusnya karna kebetulan hari ini plastik pembungkusnya habis. Baru beberapa langkah dari itu tiba-tiba muncul bunyi gubrak, ternyata itu suara dari balik badanku ternyata ibu yang jatuh, ibu memang akhir-akhir ini kecepean jadi kondisi itu yang membuat badan ibu drop lalu dibantu dengan orang-orang dipasar ibu dibawa ke puskesmas Sumber Sehat yang letaknya tidak jauh dari pasar.

 “Aina, Aina” suara ibu yang pelan. Akhirnya setelah 1 jam pingsan ibu siuman dan masih berbaring di kasur yang berwarna biru. “Ia buk, ini aina ibu ga apa-apa kan?” tanyaku matapun mulai berkaca-kaca. “Ibu tidak apa-apa nak, kita pulang yuk” sambil memegang erat tanganku. “Nanti aja bu, ibu kan baru saja siuman dan masih perlu istirahat”ungkapku. “Nanti ibu istirahat dirumah saja”Ujarnya. Akhirnya akupun membawa ibu pulang kerumah dengan menggunakan ojek, saat itu aku mulai berfikir keadaan ibu yang mulai lemah tak mungkin dipaksakan untuk berjualan, apalagi dengan membawa kue keliling kampung. Bahkan aku juga sudah mulai sibuk dengan pendalaman materi karna saat ini aku sudah kelas 3 SMA yang sebentar lagi akan lulus. Sesampainya dirumah ayah pun menyambut tangan ibu karna keadaan ibu masih lemas. “Ibu kenapa mba’?”suara lirih rani adekku yang ke 2 “Tadi ibu jatuh ran, mungkin ibu kecapean karna berjualan”sambil ku rapikan tempat tidur ibu “Makanya sekarang ibu ga usah berjualan lagi, biar aku dan mba Aina yang jualan buk” ujarnya sambil menatap muka ibu “Mbakmu dah mau ujian ran, kasian kalau harus lama-lama untuk berjualan. Waktu untuk belajarnya nanti semakin sempit sedangkan ia juga harus mengajar malamnya” Meskipun dengan bayaran lima ribu rupiah dalam satu pertemuan aku tetap menjalaninya dengan penuh semangat, paling tidak aku dapat mengamalkan ilmu ku untuk orang lain. Belajar menjadi orang bermanfaat untuk orang lain.

Malampun tiba aku bergegas untuk sholat berjamaah bersama dengan keluarga dan seusai itu harus segera menyiapkan bahan-bahan kue yang akan diolah nanti. Pagipun tiba aku yang berjualan secara bergantian dengan ibu dan rina, kini hanya kami berdua saja yang membantu sebab ibu masih membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat. Aku yang mulai berjualan dari jam 06.00 sampai 12.00 sedangkan Rani berjualan setelah dia pulang sekolah. Banyak sekali teman-teman yang menghinaku sebab aku berjualan kue tapi bagiku itu buka sebuah hinaan melainkan jalanku untuk menempuh sebuah jalan panjang yang menuju kesuksesan.

 “Hari ini kue rani tidak laku mba, Cuma dapat uang sepuluh ribu saja”sambil cemberut memegang buku yang hanya ia lihat tanpa selembar pun dibaca “Tidak apa-apa Ran, mungkin belum rezekinya untuk hari ini namun besok siapa yang tahu kalau kue kita bisa habis”Ujarku sambil merajut benang untuk membuat taplak meja tugas kesenian “Cape ya mba gini terus, kapan kita hidup enaknya?” “Pada saat Allah menentukan hambanya sukses dengan sekejap akan sukses tenang Ran, Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk hambanya”Menatan Rani “Amin”, itu suara ibu yang ternyata dari tadi mengdengarkan pecakapan kita yang membuatnya semakin merasa membebankan segala urusannya kepada anak-anaknya. Namun aku dan Rani tak pernah merasa terbebani sebab ibu dan bapaklah yang lebih berjasa dibandingkan dengan hal kecil yang kita lakukan ini. Mencoba menenangkanku saat aku panik, mencoba mengingatkanku disaat aku mulai melakukan kesalahan, memberiku dengan beribu bahkan jutaan kasih sayang yang takkan pernah tergantikan dengan apapun itu. Seketika aku dan Rani memeluk ibu, dengan dekapan hangat ibu yang sangat sulit untuk kita lepaskan. Setelah itu kami melanjutkan tugas kami masing-masing aku berusaha untuk menyelesaikan tugas kerajinanku dan Rani pun harus membaca karena besok dia ada ulangan.

Matahari pagi ini terbit dengan begitu kecerahan rasa dingin yang biasa menyapa tertutupi oleh sang surya yang sepertinya sedang berbahagia. Semangat pagi dan aku pun berpamitan kepada bapak dan ibu karna hari ini aku harus berjualan dengan langkah tanpa rasa menyerah meskipun kemarin hasil berjualan tak seindah yang dibayangkan namun tetap berharap hari ini jalan Allah penuh anugerah. “Kuenya berapaan dek” Ujar Mas Ihwan “Silahkan, seribu aja mas” Kuhentikan langkahku dan kuletakkan ranjang kue itu diatas teras “Ya sudah aku borong semua ya?, karna hari ini saudaraku dari yogja pada datang”Sambil melihat kearahku “Beneran mas?, alkhamdulillah habis juga kue ini” dengan wajah penuh kegirangan “Emang tidak sekolah ya?” “Sekolah mas, di SMA 1 tapi saya harus membantu ibu dulu untuk berjualan kue”menghitung kue yang akan dibungkus “Bagus kamu anak yang berbakti sama orang tua, kamu bisa sekolah bisa sambil berjualan juga”tersenyum memujiku “Ini mas kuenya semuanya ada 42kue, bayarnya empat puluh saya anggap yang tiga bonusnya” “Terimakasih” Ujarnya sambil memberikan uangnya untuk membayar kue Akhirnya aku pulang pun dengan hasil yang sangat mengembirakan hasil dagangan hari ini habis terjual tanpa satupun kue tersisa didalam keranjang. “Kenapa senyum-senyum nduk” ucap ibu yang sedang memilih beras untuk dimasak Alkhamdulillah hari ini kuenya laku buk, tanpa tersisa satupun” sambil memberikan uang hasil berjualan itu kepada ibu “Alkhamdulillah berari hari ini Allah beri jalan yang terbaik kan nak”Sambil melihat aku yang mulai sibuk memilih beras yang tidak bagus didalam tampah “Tentu buk, aina percaya sama jalan terbaik Allah. Dan kita juga harus berdoa dan berusahakan kan bu’” terlintas kata-kata yang sering diucapkan oleh bapak Sekarang Aina mau mandi kebetulan masih jam 10, masih banyak waktu untuk beres-beres dan belajar mengulang pelajaran yang kemarin. Sambil bernyanyi r dengan suara yang cempreng namun aku tetap yakin ini adalah anugrah dari Allah meskipun bedanya suaranya ada yang bagus ada yang hancur sekalipun.

 Akhirnya aku mulai menarik kakiku untuk keluar pintu menuju tempat penuh ilmu, saling menyapa dengan teman guru bahkan ibu kantin yang ada disekolahku. Susan teman sekelasku yang tangan kanannya tidak bisa menulis karna semasa SMP ia pernah mengalami kecelakaan, dan dikecelakaan itu ayahnya meninggalkannya untuk selamanya. mendengar cerita dia yang sempat koma selama 2 minggu tak menyangka bahwa sampai saat ini dia masih bisa hidup dan masih trauma dengan kejadian silam yang pernah ia alami itu. “Ayo kita masuk kekelas” ujarku sambil memegang buku tebal sebagai panduan UN “Ayo” Kami berdua pun mulai berjalan kekelas dan mulai duduk karna sebentar lagi pelajaran akan dimulai, ternyata hari ini ada anak baru yang bernama Putra anak yang baru saja pindah sekolah dikarenakan bapaknya yang sedang tugas didesaku tercinta. Sebenarnya Putra anak yang baik tapi karna ia anak orang kaya gayanya sedikit sombong, bahkan dia hanya mempunyai beberapa teman disekolahnya.

Dia yang serba kecukupan kadangkala sering membantu orang kesusahan meskipun itu semua dilakukan dibalik sikapnya yang dingin dan seringnya ia tak pernah menampakan sikap yang baiknya itu dihadapan orang lain. Sepulangnya dari sekolah putra jalan duluan beriringan dengan aku yang tidak cukup jauh jaraknya dibelakang dia, dia berhenti dan diam sambil menatapku tajam. “Kamu Aina yang berjualan kue itu kan” “Kamu tau dari mana aku berjualan kue” “udah jadi rahasia umum kok, tapi tepatnya kemarin aku melihat kamu diberjualan dirumah pamanku yaitu mas ihwan” “oh, ternyata kamu saudara mas ihwan yang dari yogja itu” sambil melajukan langkah “Ia, kenapa kamu harus berjualan? Kan ada bapak dan ibumu yang mencari nafkah” “tapi aku tidak mau diam saja tanpa melakukan apa-apa, dengan menjual kue kan aku bisa membantu ibu dan bapakku” “oh” sepatah jawaban yang tidak memuaskan dan ia berlalu begitu saja dari hadapanku saat itu Sesampainya dirumah aku segera berganti baju untuk berjualan sebab hari ini Rani sedang kurang enak badan dan aku harus mengantikan dia berjualan untuk sementara waktu.

Akhirnya aku berangkat dengan kata yang sama, untuk kemarin, besok dan selamanya yaitu dengan ucapan bismilah, bismilah dan bismillah lagi. Setelah keliling kampung kuenya tersisa sekitar 10 buah, dan tiba-tiba ada yang menepok pundakku dari belakang “Sudah habis jualannya” sambil melihat keranjang kue yang aku bawa “Belum masih ada 10 lagi” “Trus kamu mau kemana?” sambil berjalan. “Keliling buat habisin dagangannya lah”tetap berjalan penuh langkah. “Biar aku yang beli semua dagangannya tapi kamu ikut aku kesuatu tempat, kalau tidak mau ya sudah” jalannya semakin cepat. Akhirnya akupun menyetujui untuk ikut pergi bersamanya agar dagangan hari ini habil terjual. Tiba disuatu tempat yang sangat sempit dan kumuh, ternyata ini adalah tempat anak-anak jalanan berkumpul untuk belajar. Dan yang mengejutkan lagi putra merupakan salah seorang pengajar yang rela mengorbankan waktunya secara cuma-cuma, dia tidak mengharap satu balasan apapun kecuali Allah yang membalas atas segala sesuatu yang telah ia kerjakan.

 Dibalik diamnya dia banyak hal yang bisa aku pelajari sikap baik hati yang ada pada dirinya tak sanggup untuk aku memendam rasa kagum terhadap dirinnya. “Kenapa lihatin aku segitunya” kamu hebat, tak seperti yang aku bayangin” “Emang kamu bayangin apa?” "gpp” Akhirnya senja pun berlalu dia mengantarkanku untuk pulang kerumah, sesampainya dirumah semua sudah siap untuk makan malam, lalu aku mandi dan bersiap untuk berkumpul dengan bapak, ibu dan adek-adek yang lainnya. Dengan berjalannya waktu kue yang aku dan Rani jual semakin lama semakin laris dan sering kali saat ada orang hajatan mereka memesannya kepada kami, dan akhirnya kami tidak perlu berkeliling karna tiga bulan menjelang UN kita sudah bisa membuka took kue tepat didepan rumah dan menerima pesanan juga. Akhirnya aku pun bisa kuliah dengan hasil jualan kue yang semakin lama tokonya semakin rame, putra pun sering kali datang untuk membantu dan mencicipi kue-kue baru yang kami buat. Seperti harmonisasi yang semakin lama, semakin merdu suaranya dan seperti halnya tekat yang kuat pasti akan menghaslkan sesuatu yang maksimal, itu semua berkat usaha dan doa serta campur tangan Allah yang memiliki hidup. Semua berjalan indah tak pernah kami bayangkan sebelumnya namun kami percaya bahwa Allah Maha Sempurna.

Comments System

Disqus Shortname