Inspirasi – Dalam rangka ulang tahun Bina Sarana Informatika yang
memasuki usia ke 25 tahun sebagai
lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan berbentuk akademi memiliki
lebih dari 60ribu mahasiswa yang tersebar di seluruh kampus – kampus BSI
seluruh Indonesia.
Program 25 tokoh berbicara pendidikan sebagai upaya untuk melihat pandangan para tokoh-tokoh bangsa mengenai permasalahan pendidikan di Indonesia yang kemudian akan dijadikan input kepada penyelenggara pendidikan baik di kampus BSI secara khusus maupun juga penggerak pendidikan di manapun berada.
Salah seorang tokoh bangsa,
H.Marzuki Alie, SE, MM kini menjabat sebagai ketua DPR RI menyambut akademisi
BSI yang didampingi oleh Bpk. Syamsul Bahri, Pudir III Bidang Kemahasiswaan
di ruangannya yang berlokasi di gedung
Nusantara III. Pria kelahiran Palembang, 6 November 1955 ini bercerita mengenai
kronologi perjalanan pendidikannya yang kental diwarisi oleh ayahnya. Pembelajaran karakter dan keteladanan yang
dihasilkan guna memposisikan diri di dalam lingkungan masyarakat dan memberikan
manfaat, segala apa yang diaplikasikan untuk maslahat. Seperti pendidikan untuk
menyantuni anak yatim, kejujuran, bahkan nilai religi yang dibangun sejak kecil
misalnya untuk takziah dan menghantarkan orang meninggal.
“Pengajaran terhadap anak hanya
secara serimonial (sholat, puasa, dan lain-lain), bukan memperkenalkan
keberadaan Tuhan dan keimanan kepada anak bahwa kita di dunia sebagai apa dan
kembali sebagai apa. Sehingga seolah-olah perbuatan yang dihasilkan terpisah
dari apa yang disebut keagamaan, “ ungkap Pak Marzuki.
Akhlak yang terbaik adalah dengan
memberikan contoh, begitu beratnya untuk memberikan keteladanan tentang
kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Memberikan keteladanan berdasarkan
akhlak Rasulullah, bahkan tanpa disadari kerap anak diajarkan kebohongan yang
dianggap biasa. Permasalahan kedua yakni, persoalan orang tua yang sibuk bekerja
dimana anak memperoleh pengajaran dan pendidikan hanya di sekolah dan itu pun
lebih menekankan kepada pengetahuan intelektualnya, ‘anak yang hebat dan cerdas
yakni anak yang pandai aljabar dan bahasa inggris’ sedangkan akhlak dan
prilakunya kurang diperhatikan.
Berbicara soal pendidikan yang
memiliki beberapa faktor, sarana dan prasarana pendidikan, guru dengan kualitas
yang merata, kemudian sistem pendidikannya. “Guru yang sekarang adalah hasil
proses pendidikan masa lalu,” lugas beliau. Dahulu menjadi seorang guru adalah
pilihan terakhir, fakultas yang biasa dipilih setelah seorang gagal masuk di
fakultas kedokteran, fakultas ekonomi, fakultas sosial, artinya orang-orang
yang masuk dalam kualitas terendah, begitu sulitnya meningkatkan standar dan mutu
guru. Sedangkan saat ini ketika pemerintah memberikan penghargaan luar biasa
terhadap guru, gaji guru bahkan lebih besar diatas PNS yang lain. Banyak orang
berbondong-bondong untuk masuk ke fakultas keguruan. Pemerintah hanya melakukan
uji kompetensi, tetapi bagaimana meningkatkan kualitas guru yang massif, sesuai
anak bangsa menerima pendidikan yang berkualitas tidak dilakukan. Perlu
keberanian untuk membuat terobosan sentralisasi pemerataan kualitas guru di
Indonesia dapat berupa seperti pendidikan Akpol atau Akabri untuk percepatan
pemerataan kualitas, sebagai seorang guru pemberi keteladanan.
Konteks tersebut ditujukan kepada
penyelenggara bagaimana memberikan pendidikan yang baik bagaimana menjadi umat
yang baik, bagaimana menjalankan agama yang baik dengan karakter yang baik,
memiliki penguasaan aqidah, ibadah, sosial, dan intelektualnya secara lengkap,
memberikan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
"Bagi mahasiswa Bina Sarana Informatika, agar
mengetahui apa tujuan dan ingin menjadi apa ketika awal memasuki akademi BSI.
Sehingga mampu mempetakan kondisi dan kemampuan sesuai pilihannya. Lakukan
segala sesuatu dengan usaha terbaik karena takdir akan menyesuaikan dengan
usaha yang dilakukan" tutur beliau sekaligus menutup percakapan.