Mentri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Anies
Baswedan akhirnya memutuskan untuk menghentikan penerapan kurikulum 2013 (K-13)
disebagian besar sekolah. Alasannya belum ada kajian mendalam tentang K-13,
baik dari segi konsep maupun substansi sehingga pemberlakuannya terkesan dipaksakan.
Ada sekitar 6.221 sekolah yang dijadikan proyek percontohan pelaksanaan K-13 .
Mentri Anies nampaknya tidak main-main jika harus menghentikan total
K-13 dan mengumumkan kembalinya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Sebenarnya terlalu dini untuk menilai apakah K-13
berhasil atau tidak ketika belum semua sekolah melaksanakannya. Tetapi banyak
pengamat menilai K-13 salah konsep dan substansi, yang paling fatal adalah
menyatukan beberapa mata pelajaran yang
rentan menghilangkan keunikan pelajaran tertentu. Kurikulum ini memang disiapkan untuk jangka panjang , alias
menyiapkan generasi emas pada tahun 2045. Pada K-13 Siswa dilatih untuk
berfikir kritis, kreatif, inovatif, dan efektif. Saat hiruk-pikuk K-13 merebak, di manakah
anak-anak Mereka masih hidup dalam ruang riuh tugas sekolah,buku ajar, dan les.
Seperti yang dikatakan guru-guru, tugas pelajar adalah belajar,
tak peduli kurikulum apa yang digunakan.
Ada dua model pendekatan kurikulum bagi siswa. Pertama,kedisiplinan
melalui mata pelajaran, yang
mementingkan pelatihan dan keterpelajaran guru.
Dari sini, tampak K-13 berjalan pada ranah yang pertama. Karena itu,
yang digenjot adalah guru, sehingga mereka memahami betul kurikulum yang diterapkan dan mampu mengimplementasikan
K-13 pada anak didik.
Apa sebetulnya substansi kurikulum? Kita pasti mengenal CBSA (Cara
Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan), dan K-13. Ada arah dan tujuan yang sama, yakni membentuk siswa yang
aktif, entah itu bertanya, mengamati, menalar, ataupun mencipta, seperti halnya
yang diusung K-13. Apa yang terjadi di dalam ruang kelas sampai hari ini?
Kelas yang sunyi, siswa yang tidak berani bertanya, serta ketiadaan
motivasi dan antusiasme belajar. Ruang kelas memang terasa agak menjemukan.
Para siswa duduk di bangku yang berurutan. Jika ada satu murid yang bertanya, yang
lain diam mendengarkan. Dengan mayoritas suasana kelas seperti itu, kita patut skeptis bahwa kurikulum apa
pun yang diterapkan, hasilnya sama saja atau tak jauh
berbeda. K-13 mensyaratkan situasi pembelajaran yang berfokus pada
siswa sebagai pihak yang aktif bertanya. Mungkin bisa diterapkan beberapa model
kurikulum sekaligus dalam sistem pendidikan
nasional melalui payung hukum.
Saya rasa, perubahan pada KTSP dan K-13 tidak banyak. Keduanya hanya menyempurnakan apa yang sudah ada
sebelumnya. Dengan demikian, akan teruji dengan sendirinya mana kurikulum yang bagus. Kalau perlu,
KBK juga bisa dihidupkan kembali. Pemerintah
selayaknya menjadi fasilitator dengan pola desentralisasi.Dalam
artian, sekolah menjadi lembaga yang
independen. Merumuskan konsep kurikulum pada akhirnya harus berpijak pada
konsep kita dalam memandang anak-anak
itu sendiri, apakah anak-anak merupakan obyek sang guru atau rekan sang guru.
Semoga sistem pendidikan di indonesi bisa menjadikan anak-anak Indonesia bukan
hanya siap untuk melanjukan pendidikan ke jenjang selanjutnya akan tetapi mampu
bersaing secara global. (afif)
sumber : Tempo & Tribunnews