Friday, December 12, 2014

Kurikulum untuk siapa ?

Mentri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan akhirnya memutuskan untuk menghentikan penerapan kurikulum 2013 (K-13) disebagian besar sekolah. Alasannya belum ada kajian mendalam tentang K-13, baik dari segi konsep maupun substansi sehingga pemberlakuannya terkesan dipaksakan. Ada sekitar 6.221 sekolah yang dijadikan proyek percontohan pelaksanaan K-13 . Mentri Anies  nampaknya  tidak main-main jika harus menghentikan total K-13 dan mengumumkan kembalinya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Sebenarnya terlalu dini untuk menilai apakah K-13 berhasil atau tidak ketika belum semua sekolah melaksanakannya. Tetapi banyak pengamat menilai K-13 salah konsep dan substansi, yang paling fatal adalah menyatukan beberapa mata pelajaran yang  rentan menghilangkan keunikan pelajaran tertentu. Kurikulum  ini memang disiapkan untuk jangka panjang , alias menyiapkan generasi emas pada tahun 2045. Pada K-13 Siswa dilatih untuk berfikir kritis, kreatif, inovatif, dan efektif. Saat hiruk-pikuk K-13 merebak, di manakah anak-anak Mereka masih hidup dalam ruang riuh tugas sekolah,buku ajar, dan les.
Seperti yang dikatakan guru-guru, tugas pelajar adalah belajar, tak peduli kurikulum apa yang digunakan.  Ada dua model pendekatan kurikulum bagi siswa. Pertama,kedisiplinan melalui  mata pelajaran, yang mementingkan pelatihan dan keterpelajaran guru.  Dari sini, tampak K-13 berjalan pada ranah yang pertama. Karena itu, yang digenjot adalah guru, sehingga mereka memahami  betul kurikulum yang diterapkan dan mampu mengimplementasikan K-13 pada anak didik.
Apa sebetulnya substansi kurikulum? Kita pasti mengenal CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan K-13. Ada arah dan      tujuan yang sama, yakni membentuk siswa yang aktif, entah itu bertanya, mengamati, menalar, ataupun mencipta, seperti halnya yang diusung K-13. Apa yang terjadi di dalam ruang kelas sampai hari ini?
Kelas yang sunyi, siswa yang tidak berani bertanya, serta ketiadaan motivasi dan antusiasme belajar. Ruang kelas memang terasa agak menjemukan. Para siswa duduk di bangku yang berurutan. Jika ada satu murid yang bertanya, yang lain diam mendengarkan. Dengan mayoritas suasana kelas seperti     itu, kita patut skeptis bahwa kurikulum apa pun yang diterapkan, hasilnya sama saja atau tak jauh
berbeda. K-13 mensyaratkan situasi pembelajaran yang berfokus pada siswa sebagai pihak yang aktif bertanya. Mungkin bisa diterapkan beberapa model kurikulum sekaligus dalam sistem pendidikan    nasional melalui payung hukum. Saya rasa, perubahan pada KTSP dan K-13 tidak banyak. Keduanya  hanya menyempurnakan apa yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, akan teruji dengan       sendirinya mana kurikulum yang bagus. Kalau perlu, KBK juga bisa dihidupkan kembali. Pemerintah
selayaknya menjadi fasilitator dengan pola desentralisasi.Dalam artian, sekolah menjadi lembaga      yang independen. Merumuskan konsep kurikulum pada akhirnya harus berpijak pada konsep kita     dalam memandang anak-anak itu sendiri, apakah anak-anak merupakan obyek sang guru atau rekan sang guru. Semoga sistem pendidikan di indonesi bisa menjadikan anak-anak Indonesia bukan hanya siap untuk melanjukan pendidikan ke jenjang selanjutnya akan tetapi mampu bersaing secara global.      (afif)
 sumber : Tempo & Tribunnews


Comments System

Disqus Shortname