Pada tahun 682 Masehi, Umar bin Al Khattab yang
saat itu menjadi khalifah melihat sebuah masalah. Negeri islam yang semakin
besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi. Surat
menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi
karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan
muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara
satu tempat dengan laiinnya.
Maka, Khalifah 'Umar memanggil para sahabat dan
dewan penasehat untuk menentukan satu sistem penanggalan yang akan diberlakukan
secara menyeluruh di semua wilayah kekuasaan islam.
Sistem penanggalan yang dipakai sudah memiliki
tuntunan jelas di dalam Al Qur'an, yaitu sistem kalender bulan (qomariyah). Nama-nama
bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum
Quraisy di masa kenabian. Namun ketetapan Allah menghapus adanya praktek
interkalasi (Nasi'). Praktek Nasi' memungkinkan kaum Quraisy menambahkan bulan
ke-13 atau lebih tepatnya memperpanjang satu bulan tertentu selama 2 bulan pada
setiap sekitar 3 tahun agar bulan-bulan qomariyah tersebut selaras dengan
perputaran musim atau matahari. Karena itu pula, arti nama-nama bulan di dalam
kalender qomariyah tersebut beberapa di antaranya menunjukkan kondisi musim.
Misalnya, Rabi'ul Awwal artinya musim semi yang pertama. Ramadhan artinya musim
panas.
Praktek Nasi' ini juga dilakukan atau disalahgunakan
oleh kaum Quraisy agar memperoleh keuntungan dengan datangnya jamaah haji pada
musim yang sama di tiap tahun di mana mereka bisa mengambil keuntungan
perniagaan yang lebih besar. Praktek ini juga berdampak pada ketidakjelasan
masa bulan-bulan Haram. Pada tahun ke-10 setelah hijrah, Allah menurunkan ayat
yang melarang praktek Nasi' ini:
"Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..."
[At Taubah (9): 38]
"Sesungguhnya
mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan
orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya
pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat
mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan
apa yang diharamkan Allah... " [At Taubah (9): 39]
Dalam satu tahun ada 12 bulan yaitu Muharram,
Shafar, Rabi'ul Awal, Rabi'ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban,
Ramadhan, Syawal, Dzulqa'idah, Dzulhijjah. Sedangkan 4 bulan Haram, di mana
peperangan atau pertumpahan darah di larang, adalah: Dzulqa'idah, Dzulhijjah,
Muharram, dan Rajab.
Dalam menentukan awal penghitungan kalender
islam ini ada beberapa opsi diantaranya akan memakai tahun kelahiran Nabi
Muhammad saw, saat kematian beliau Atau saat Nabi diangkat menjadi Rasul atau
turunnya Al Qur'an, Ataukah saat kemenangan kaum muslimin dalam peperangan. Ternyata
pilihan majelis Khalifah 'Umar tersebut adalah tahun di mana terjadi peristiwa hijrah. Karena itulah,
kalender islam ini biasa dikenal juga sebagai kalender hijriyah. Kalender
tersebut dimulai pada 1 Muharram tahun peristiwa Hijrah atau bertepatan dengan
16 Juli 662 M. Peristiwa hijrah Nabi saw sendiri berlangsung pada bulan Rabi'ul
Awal 1 H atau September 622 M.
Pemilihan peristiwa Hijrah ini sebagai tonggak
awal penanggalan islam memiliki makna yang amat dalam. Seolah-olah para sahabat
yang menentukan pembentukan kalender islam tersebut memperoleh petunjuk
langsung dari Allah. Seperti Nadwi yang berkomentar:
"Ia
(kalender islam) dimulai dengan Hijrah, atau pengorbanan demi kebenaran
dan keberlangsungan Risalah. Ia adalah ilham ilahiyah. Allah ingin mengajarkan
manusia bahwa peperangan antara kebenaran dan kebatilan akan berlangsung terus.
Kalender islam mengingatkan kaum muslimin setiap tahun bukan kepada kejayaan
dan kebesaran islam namun kepada pengorbanan (Nabi dan sahabatnya) dan
mengingatkan mereka agar melakukan hal yang sama."
**berbagai
sumber