
“Habis gelap terbitlah
terang…”, begitulah kiranya kutipan dari R.A Kartini
terhadap perjuangannya untuk membela pendidikan baik di kalangan perempuan
khususnya dan masyarakat umumnya. Tampak menjanjikan sepertinya,namun jika
ungkapan tersebut kita jadikan acuan untuk menilik realita yang terjadi di
Negeri gemah ripah ini maka sangat sulit untuk menemukan kecocokannya. Sebagai
Negara berkembang, Indonesia memang sudah cukup matang dengan kualitas
pendidikannya di banding dengan Negara Negara Asia maju lainnya seperti China,
Korea, Singapura, Jepang dll, meskipun perhatian pemerintah terhadap
peningkatan kualitas pendidikan hanya di ibukota Negara serta kotakota besar di
sekelilingnya. Namun apakah Kurikulum saat ini sudah mampu menjangkau kualitas
pendidikan secara merata?
2 Tipe Pendidikan ditanah air
Kita tentu banyak
sekalimendengar ‘jargon’ bagi pendidikan di Indonesia seperti Orang Miskin
di Larang Pintar. Semacam diskriminasi intelektual yang terjadi bagi kaum
proletar Negeri ini, apalagi sebuah kebudayaan stratifikasi yang sangat melekat
di sebagian masyarakat, hingga kini masyarakat kelas menengah kebawah sangat
minim untuk mengenyam pendidikan berkualitas apalagi mendapat pekerjaan yang
layak dengan gelar doctor. Sebaliknya, bagi sebagian daerah, secara ekonomi
pendapatan masyarakat sudah bisa menunjang pendidikan yang baik bagi anak
anaknya, namun yang riskan adalah system serta fasilitas penunjang bagi
peningkatan kualitas pendidikan dinilai masih jauh dari yang di harapkan. Untuk
itu dengan kacamata analisa saya, maka saya membagi secara umum 2 tipe
pendidikan di tanah air yakni, Pendidikan yang berkualitas namun krisis serta
pendidikan ekonomi terjangkau, namun rendah kualitas.
a. Berkualitas Namun Krisis
Mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi regenerasi bangsa
memang menjadi mimpi indah bagi masyarakat di tanah air, namun ada hal hal yang
perlu di perhatikan untuk mencapainya. Salah satunya dengan pendapatan ekonomi
yang memadai personal guna membiayai segala kebutuhan mencakup fasilitas fisik
dan non fisik sector pendidikan itu sendiri, mengingat banyak juga factor yang
mempengaruhi system kerja pendidikan sebagai alat yang paling vital bagi
pembangunan suatu bangsa, sebut saja kasus klasik yang biasa disebut KORUPSI.
Pendidikan (sekolah) yang telah tercukupi kebutuhannya secara kompleks guna
menciptakan kader yang berkualitas tampaknya masih menyisakan beberapa
pekerjaan rumah. Ya, sebut saja di Kota kota besar wilayah Indonesia Barat
terutama di jawa dan sekitarnya, sekolah sekolah yang berkualitas belum mampu
menjamah masyarat kelas bawah/ekonomi lemah disebabkan system pendidikannya
yang bebasis kapitalis sehingga cenderung modern namun banyak terjadi
komersialisasi di badan badan tertentu bidang pendidikan. Coba simak kutipan artikel
berikut.
Mantan Menteri PendidikanNasional (Mendiknas), Abdul Malik
Fajar , mengakui telah tejadi ketimpanganmutu pendidikan di Indonesia. Sampai
saat ini, katanya, ketimpangan mutu pendidikan tidak saja terjadi antara Pulau
Jawa dan di luar Jawa, tetapi juga antara di desa dan di kota. Akan tetapi,
apabila dibandingkan antara wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur,
memang ada perbedaan pencapaian meskipun tidak signifikan “berdasarkan
analisis yang dilakukan terhadap data yang dikumpulkan pada tahun 1997” ungkap
Abdul MalikFajar.
Hasil analisis yang dilakukan terhadap data yang sama ,
jelas Mendiknas menunjukkan bahwa pencapaian murid yang berasal dari
daerah perkotaan lebih tinggi dari pada pencapaian murid yang bersal dari
daerah pedesaan. Faktor yang menentukan perbedaan adalah mutu pendidikan antara
Pulau Jawa dan luar Jawa serta kota dan desa. Di samping itu juga terdapat
faktor yang lain, yakni kesempatan untuk memperoleh bimbingan belajar di luar
jam jam pelajaran yang lebih banyak dimiliki oleh murid Jawa atau murid
perkotaan dibandingkan pedesaan.
Juga simak pendapat lainnya dari artikel
salah seorang aktifis pendidikan Sugeng Riyadi.
“Ekspansi sistem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah
menciptakan sebuah kondisi kesaling berhubungan antara logika pendidikan dengan
logika kapitalisme. Pendidikan kemudian menampakkan dirinya sebagai mesin
kapitalisme, mesin dimana ia bekerja menciptakan citra-citra baik itu lembaga,
individu dan pengetahuan dimana ia bisa dijadikan sebagai ladang untuk mencari
keuntungan (Yasraf, 2004).Pendidikan yang seharusnya dibangun dengan
nilai-nilai objektivitas, keilmiahan dan kebijaksanaan kini dimuati oleh
nilai-nilai komersil, sebagai refleksi dari keberpihakan pada kekuasaan
kapital. Sehingga memungkinkan terciptanya sebuah relasi baru pengetahuan, yang
tidak saja relasi kekuasaan atau pengetauan tetapi juga relasi sosial yang
transaksional terhadap pengetahuan.” Pernyataan pernyataan di atas
menggambarkan bahwa ketimpangan yang terjadi di kedua belahan wilayah di
Indonesia sangat nyata terlihat. Belum lagi system kapitalisme yang membuka
‘jalan’ kepada para koruptor untuk ‘bermain’ di dalamnya meskipun berbagai
macam cara telah di tempuh demi menjaga stabilitas mutunya, menjadikan
pendidikan yang berkualitas namun belum terjangkau secara ekonomi. Fakta ini
terjadi dan berkembang di sebagian besar wilayah Barat Indonesia.
b. Ekonomi terjangkau namun rendah kualitas
Di bagian lain yakni belahanTimur Indonesia, kasus
komersialisasi pendidikan dan korupsi pun marak terjadi,di mulai dari peta
politik pemerintahan dan birokrat pendidikan yang menjunjung asas kekeluargaan,
menjadikan warna tersendiri bagi nepotisme yang ‘positif’. Daerah saya misalnya
Tual, Maluku Tenggara. Pencapaian pendidikan bagi seorang siswa tidak terlalu
sulit bila ingin melanjutkan ke tingkatan selanjutnya karena ada background
keluarga antara orang tua dengan birokrat instansi pendidikan tersebut. Hal ini
di anggap lumrah dan lazim terjadi hampir di seluruh sekolah Negeri dan Swasta
yang ada. Ini yang saya sebut sebagai salah satu praktek nepotisme 'positif'.
Mengapa saya katakan demikian, karena bagi sebagian pihak secara objektif
menilai ini sebagai pelanggaran tindak KKN, namun pendapat dari sebagian pihak
juga menilai ini adalah pencitraan bagi sekolah guna menyelamatkan nama besar
sekolah yang sudah di percayai masyarakat sejak lama. Lazimkah Itu ?
Lantas siapa yang bisa di salahkan. Apakah Orang tua yang
selalu memanjakan anaknya dengan memberi "feed back" kepada guru agar
anak anaknya bisa di selamatkan dari ancaman ketidak lulusan, ataukah para anak
anak yang terlalu malas dan selalu cuek mengikuti proses belajar mengajar di
sekolah, atau mungkin para guru yang belum mempunyai metode belajar yang
efektif bagi pelajarnya.
Jawabannya tidak lain dan tidak bukan terletak pada kualitas
pendidikan daerah yang menjamin mutu pendidik yang tersertifikasi, metode
belajar yang efektif juga efisien serta sarana prasarana penunjang yang memadai
sebagai bahan simulasi visual guna membantu siswa menyerap ilmu itu sendiri.
Saya yakin bahwa potensi atau lemampuan yang dimiliki oleh seluruh siswa adalah
sama pentingnya untuk di kembangkan. Hari ini adalah kekeliruan terbesar bagi
seluruh sistem pendidikan di sekolah yang terus menerus memaksa siwa untuk
memahami semua mata pelajaran yang ada tanpa melihat apa saja kapisitas
siswa/siswinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Selain itu
komersialisasi pendidikan yang di dukung oleh para guru yang selalu membebankan
siswa untuk membeli buku buku referensi yang di bawanya dengan wajib membayar
sesuai harga yang di tentukan, padahal Dinas Pendidikanlah yang seharusnya
memfasilitasi referensi di setiap sekolah melalui pengajuan sekolah itu
sendiri. Belum lagi permasalahan KORUPSI Birokrasi yang mewabah bagai penyakit
menular di seluruh instansi pendidikan. Ini menjadi pekerjaan rumah besar yang
di tujukan bagi kita khsusnya para pemuda yang peduli akan pembangunan.
Korupsi Masal ‘ala’Birokrat
Berikut ini akan saya kemukakan data data yang menyebutkan
sejumlah kasus demi kasus korupsi yang terjadi di Tanah air dan jelas jelas
sangat tidak menguntungkan bagi dunia pendidikan Indonesia.
"Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut anggaran
besar menjadi daya tarik para koruptor. Apakah ini terjadi di sektor pendidikan?
Sektor pendidikan sekarang berbeda daritahun-tahun sebelumnya. Sejak 2009,
pemerintah menganggarkan 20 persen APBN, sehinggasektor ini mendapatkan dana
besar. Pada APBN 2012 mendapat Rp 289,95 (20,2persen), dan tahun ini naik 6,7
persen menjadi Rp 331,8 triliun. Sebanyak 47persen atau Rp 136,5 triliun untuk
membayar gaji dan tunjangan guru.
Ibarat ada gula ada semut, ang-garan besar di sektor
pendidikan tentumenggiurkan bagi perongrong uang negara. Dana itu ada di pusat
Rp 102,5triliun, dan daerah Rp 186,4 triliun. Pos lain untuk Biaya Opersional
Sekolah(BOS) Rp 23,6 triliun, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 10 triliun.
UjianNasional yang sekarang diri-butkan juga beranggaran jumbo, hampir Rp
600miliar, dan khusus untuk pencetakan soal Rp 100-an miliar. Se-mentara
untukkurikulum baru 2013 dianggarkan Rp 2,4 triliun.Daya tarik korupsi itu
bukan tanpa data. Sektor pendidikan disebut ICW sebagaisalah satu lahan basah
korupsi. Data Januari hingga Juni 2012, sektorpemerintah daerah peringkat pertama
dengan 177 kasus, BUMN/ BUMD sebanyak 41kasus, dan sektor pendidikan 17 kasus.
ICW memperkirakan sepanjang 2012 adasekitar 40 kasus di sektor pendidikan
dengan kerugian Rp 139 miliar. Kasusbesar yang ditemukan BPK adalah dugaan
penyimpangan anggaran 2009 senilai Rp2,3 triliun.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkelimpahan proyek
dengan anggaranbesar. Penyelenggaraan UN misalnya, dari Rp 600 miliar, Rp 100
miliar untukpencetakan soal. Proyek semacam ini rawan korupsi seiring dengan
tren penggelembunganharga, mengubah spesifikasi teknik pengadaan barang dan
jasa yang berujung gratifikasi.Belum lagi kemungkinan kongkalikong dalam mata
rantai anggaran. Kekacauan UN tahun ini bisa jadi menandai awal ketidakberesan
dalam proses lelang."
Refleksi Pemikiran
Dari berbagai kutipan di atas bukti bahwa di Indonesia
Kurikulum Pendidikan masih harus di benahi. Bukan saja dengan membutuhkan
perhatian pemerintah, tapi juga selaku regenerasi pemimpin bangsa, kita di
tuntut juga berpartisipasi dan mencari solusi dari setiap aksi yang kita
jalankan, baik pembenahan kurikulum, upgreading sarana prasarana hingga
menuntaskan masalah KORUPSI yang nantinya mendarah daging dan menjadi budaya
perusak moralitas anak Bangsa. Sekian
Oleh :Putra Mahkota (Mahasiswa BSI Kramat 18)