Sunday, June 16, 2013

Pendidikan dengan Kurikulum Berbasis Komersialisasi (KBK)


“Habis gelap terbitlah terang…”, begitulah kiranya kutipan dari R.A Kartini terhadap perjuangannya untuk membela pendidikan baik di kalangan perempuan khususnya dan masyarakat umumnya. Tampak menjanjikan sepertinya,namun jika ungkapan tersebut kita jadikan acuan untuk menilik realita yang terjadi di Negeri gemah ripah ini maka sangat sulit untuk menemukan kecocokannya. Sebagai Negara berkembang, Indonesia memang sudah cukup matang dengan kualitas pendidikannya di banding dengan Negara Negara Asia maju lainnya seperti China, Korea, Singapura, Jepang dll, meskipun perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas pendidikan hanya di ibukota Negara serta kotakota besar di sekelilingnya. Namun apakah Kurikulum saat ini sudah mampu menjangkau kualitas pendidikan secara merata?


 2 Tipe Pendidikan ditanah air
 Kita tentu banyak sekalimendengar ‘jargon’ bagi pendidikan di Indonesia seperti Orang Miskin di Larang Pintar. Semacam diskriminasi intelektual yang terjadi bagi kaum proletar Negeri ini, apalagi sebuah kebudayaan stratifikasi yang sangat melekat di sebagian masyarakat, hingga kini masyarakat kelas menengah kebawah sangat minim untuk mengenyam pendidikan berkualitas apalagi mendapat pekerjaan yang layak dengan gelar doctor. Sebaliknya, bagi sebagian daerah, secara ekonomi pendapatan masyarakat sudah bisa menunjang pendidikan yang baik bagi anak anaknya, namun yang riskan adalah system serta fasilitas penunjang bagi peningkatan kualitas pendidikan dinilai masih jauh dari yang di harapkan. Untuk itu dengan kacamata analisa saya, maka saya membagi secara umum 2 tipe pendidikan di tanah air yakni, Pendidikan yang berkualitas namun krisis serta pendidikan ekonomi terjangkau, namun rendah kualitas.

 a. Berkualitas Namun Krisis
Mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi regenerasi bangsa memang menjadi mimpi indah bagi masyarakat di tanah air, namun ada hal hal yang perlu di perhatikan untuk mencapainya. Salah satunya dengan pendapatan ekonomi yang memadai personal guna membiayai segala kebutuhan mencakup fasilitas fisik dan non fisik sector pendidikan itu sendiri, mengingat banyak juga factor yang mempengaruhi system kerja pendidikan sebagai alat yang paling vital bagi pembangunan suatu bangsa, sebut saja kasus klasik yang biasa disebut KORUPSI. Pendidikan (sekolah) yang telah tercukupi kebutuhannya secara kompleks guna menciptakan kader yang berkualitas tampaknya masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah. Ya, sebut saja di Kota kota besar wilayah Indonesia Barat terutama di jawa dan sekitarnya, sekolah sekolah yang berkualitas belum mampu menjamah masyarat kelas bawah/ekonomi lemah disebabkan system pendidikannya yang bebasis kapitalis sehingga cenderung modern namun banyak terjadi komersialisasi di badan badan tertentu bidang pendidikan. Coba simak kutipan artikel berikut.

Mantan Menteri PendidikanNasional (Mendiknas), Abdul Malik Fajar , mengakui telah tejadi ketimpanganmutu pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini, katanya, ketimpangan mutu pendidikan tidak saja terjadi antara Pulau Jawa dan di luar Jawa, tetapi juga antara di desa dan di kota. Akan tetapi, apabila dibandingkan antara wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur, memang ada perbedaan pencapaian meskipun tidak signifikan “berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data yang dikumpulkan pada tahun 1997” ungkap Abdul MalikFajar.

Hasil analisis yang dilakukan terhadap data yang sama , jelas Mendiknas menunjukkan bahwa pencapaian murid  yang berasal dari daerah perkotaan lebih tinggi dari pada pencapaian murid yang bersal dari daerah pedesaan. Faktor yang menentukan perbedaan adalah mutu pendidikan antara Pulau Jawa dan luar Jawa serta kota dan desa. Di samping itu juga terdapat faktor yang lain, yakni kesempatan untuk memperoleh bimbingan belajar di luar jam jam pelajaran yang lebih banyak dimiliki oleh murid Jawa atau murid perkotaan dibandingkan pedesaan. 

 Juga simak pendapat lainnya dari artikel salah seorang aktifis pendidikan Sugeng Riyadi.
“Ekspansi sistem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi kesaling berhubungan antara logika pendidikan dengan logika kapitalisme. Pendidikan kemudian menampakkan dirinya sebagai mesin kapitalisme, mesin dimana ia bekerja menciptakan citra-citra baik itu lembaga, individu dan pengetahuan dimana ia bisa dijadikan sebagai ladang untuk mencari keuntungan (Yasraf, 2004).Pendidikan yang seharusnya dibangun dengan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan dan kebijaksanaan kini dimuati oleh nilai-nilai komersil, sebagai refleksi dari keberpihakan pada kekuasaan kapital. Sehingga memungkinkan terciptanya sebuah relasi baru pengetahuan, yang tidak saja relasi kekuasaan atau pengetauan tetapi juga relasi sosial yang transaksional terhadap pengetahuan.” Pernyataan pernyataan di atas menggambarkan bahwa ketimpangan yang terjadi di kedua belahan wilayah di Indonesia sangat nyata terlihat. Belum lagi system kapitalisme yang membuka ‘jalan’ kepada para koruptor untuk ‘bermain’ di dalamnya meskipun berbagai macam cara telah di tempuh demi menjaga stabilitas mutunya, menjadikan pendidikan yang berkualitas namun belum terjangkau secara ekonomi. Fakta ini terjadi dan berkembang di sebagian besar wilayah Barat Indonesia.

b. Ekonomi terjangkau namun rendah kualitas
Di bagian lain yakni belahanTimur Indonesia, kasus komersialisasi pendidikan dan korupsi pun marak terjadi,di mulai dari peta politik pemerintahan dan birokrat pendidikan yang menjunjung asas kekeluargaan, menjadikan warna tersendiri bagi nepotisme yang ‘positif’. Daerah saya misalnya Tual, Maluku Tenggara. Pencapaian pendidikan bagi seorang siswa tidak terlalu sulit bila ingin melanjutkan ke tingkatan selanjutnya karena ada background keluarga antara orang tua dengan birokrat instansi pendidikan tersebut. Hal ini di anggap lumrah dan lazim terjadi hampir di seluruh sekolah Negeri dan Swasta yang ada. Ini yang saya sebut sebagai salah satu praktek nepotisme 'positif'. Mengapa saya katakan demikian, karena bagi sebagian pihak secara objektif menilai ini sebagai pelanggaran tindak KKN, namun pendapat dari sebagian pihak juga menilai ini adalah pencitraan bagi sekolah guna menyelamatkan nama besar sekolah yang sudah di percayai masyarakat sejak lama. Lazimkah Itu ?

Lantas siapa yang bisa di salahkan. Apakah Orang tua yang selalu memanjakan anaknya dengan memberi "feed back" kepada guru agar anak anaknya bisa di selamatkan dari ancaman ketidak lulusan, ataukah para anak anak yang terlalu malas dan selalu cuek mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, atau mungkin para guru yang belum mempunyai metode belajar yang efektif bagi pelajarnya.

Jawabannya tidak lain dan tidak bukan terletak pada kualitas pendidikan daerah yang menjamin mutu pendidik yang tersertifikasi, metode belajar yang efektif juga efisien serta sarana prasarana penunjang yang memadai sebagai bahan simulasi visual guna membantu siswa menyerap ilmu itu sendiri. Saya yakin bahwa potensi atau lemampuan yang dimiliki oleh seluruh siswa adalah sama pentingnya untuk di kembangkan. Hari ini adalah kekeliruan terbesar bagi seluruh sistem pendidikan di sekolah yang terus menerus memaksa siwa untuk memahami semua mata pelajaran yang ada tanpa melihat apa saja kapisitas siswa/siswinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Selain itu komersialisasi pendidikan yang di dukung oleh para guru yang selalu membebankan siswa untuk membeli buku buku referensi yang di bawanya dengan wajib membayar sesuai harga yang di tentukan, padahal Dinas Pendidikanlah yang seharusnya memfasilitasi referensi di setiap sekolah melalui pengajuan sekolah itu sendiri. Belum lagi permasalahan KORUPSI Birokrasi yang mewabah bagai penyakit menular di seluruh instansi pendidikan. Ini menjadi pekerjaan rumah besar yang di tujukan bagi kita khsusnya para pemuda yang peduli akan pembangunan.

Korupsi Masal ‘ala’Birokrat


Berikut ini akan saya kemukakan data data yang menyebutkan sejumlah kasus demi kasus korupsi yang terjadi di Tanah air dan jelas jelas sangat tidak menguntungkan bagi dunia pendidikan Indonesia.
"Indonesia Corruption Watch (ICW) me­nyebut anggaran besar menjadi daya tarik para koruptor. Apakah ini terjadi di sektor pendidikan? Sektor pendidikan sekarang berbeda daritahun-tahun sebelumnya. Sejak 2009, pemerintah menganggarkan 20 persen APBN, se­hinggasektor ini mendapatkan dana besar. Pada APBN 2012 mendapat Rp 289,95 (20,2persen), dan tahun ini naik 6,7 persen menjadi Rp 331,8 triliun. Sebanyak 47persen atau Rp 136,5 triliun untuk membayar gaji dan tunjang­an guru.

Ibarat ada gula ada semut, ang-garan besar di sektor pendidikan tentumenggiurkan bagi perongrong uang negara. Dana itu ada di pusat Rp 102,5triliun, dan daerah Rp 186,4 triliun. Pos lain untuk Biaya Opersional Sekolah(BOS) Rp 23,6 triliun, dan Dana Alo­kasi Khusus (DAK) Rp 10 triliun. UjianNasional yang sekarang diri-butkan juga beranggaran jumbo, hampir Rp 600miliar, dan khusus untuk pencetakan soal Rp 100-an miliar. Se-mentara untukkurikulum baru 2013 dianggarkan Rp 2,4 triliun.Daya tarik korupsi itu bukan tanpa data. Sektor pendidikan disebut ICW sebagaisalah satu lahan basah korupsi. Data Januari hingga Juni 2012, sektorpemerintah daerah peringkat pertama dengan 177 kasus, BUMN/ BUMD sebanyak 41kasus, dan sektor pendidikan 17 kasus. ICW memperkirakan sepanjang 2012 adasekitar 40 kasus di sektor pendidikan dengan kerugian Rp 139 miliar. Kasusbesar yang ditemukan BPK adalah dugaan penyimpangan anggaran 2009 senilai Rp2,3 triliun.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkelimpahan proyek dengan anggaranbesar. Penyeleng­garaan UN misalnya, dari Rp 600 miliar, Rp 100 miliar untukpencetakan soal. Proyek semacam ini rawan korupsi seiring dengan tren pengge­lembunganharga, mengubah spesifikasi teknik pengadaan barang dan jasa yang berujung gratifikasi.Belum lagi kemungkinan kongkalikong dalam mata rantai anggaran. Keka­cauan UN tahun ini bisa jadi menandai awal ketidakberesan dalam proses lelang."

Refleksi Pemikiran
Dari berbagai kutipan di atas bukti bahwa di Indonesia Kurikulum Pendidikan masih harus di benahi. Bukan saja dengan membutuhkan perhatian pemerintah, tapi juga selaku regenerasi pemimpin bangsa, kita di tuntut juga berpartisipasi dan mencari solusi dari setiap aksi yang kita jalankan, baik pembenahan kurikulum, upgreading sarana prasarana hingga menuntaskan masalah KORUPSI yang nantinya mendarah daging dan menjadi budaya perusak moralitas anak Bangsa. Sekian

Oleh :Putra Mahkota (Mahasiswa BSI Kramat 18)




Comments System

Disqus Shortname