Thursday, February 7, 2013

Khofifah Indar Parawansa : Pendidikan Harus Terintegrated system

Inspirasi - Khofifah Indar Parawansa, yang menjabat sebagai ketua Muslimat Nahdlatul Ulama. Berkesempatan mewawancarainya, tim Inspirasi mengunjungi di kantor sekretariat Muslimat NU Cawang Jakarta Timur. Dengan senyum ramah dan penuh kehangatan, bunda kelahiran Surabaya, 19 Mei 1956 ini berbagi obrolan dan cerita mengenai pandangan beliau mengenai pendidikan.

Bagaimana Pendidikan Dasar Bunda Khofifah ?
 Sejak kecil saya berada di daerah-daerah dalam kategori santri. Ibu saya membuat pola anak-anak sekolah di dua tempat umum dan pengajian. SD (Sekolah Dasar) dan Madrasah, SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan Tsanawiyah, Seperti saya yang belajar di Airlangga dan Perguruan Islam Swasta. Ada hal yang menurut ibu saya setengah diwajibkan, paling tidak sempatlah belajar di pesantren. Pola-pola seperti itu menurut saya adalah bagian dari penguatan sebuah penghantaran do’a-do’a bagaimana mewujudkan orientasi selamat di dunia dan di akhirat.

Pendidikan dalam Pandangan Bunda Khofifah ?

Kesalahan dalam proses pendidikan ini saya khawatir tidak semata-mata karena kurikulumnya, bahwa bagaimana menyiapkan kualifikasi seorang guru, apakah sudah dihitung betul ketika misalnya IKIP berubah menjadi Universitas. Karena ada sesuatu yang harus diisi dalam diri seorang guru, seperti kurikulum berbasis kompetensi, yang terpenting adalah mempersiapkan guru secara baik dari sisi kemampuan psikologisnya, tidak hanya kompetensi kurikulumnya jadi bagaimana berkemampuan mengendalikan diri bagaimana menjadi sosok yang seperti orang Jawa bilang dikukuh dan ditiru. Bagaimana kurikulum ini menjadi integrated system.

 Misalnya : Ketika seorang guru fisika menjelaskan teori grafitasi bumi, dia harus bisa menjelasakan kenapa ketika benda dilempar ke atas maka ada grafitasi bumi sehingga ada keseimbangan alam, siapa yang menciptakan grafitasi bumi itu? Siapa yang menciptakan keseimbangan alam? siapa yang menciptakan proton dan netron? Sehingga pastinya ada Zat yang Paling Berpengaruh dan Pengatur Segala Hal. Sehingga menjadi terintegrasi dari semua mata pelajaran yang diajarkan kepada murid-muridnya. Kalo hanya mengandalakan bangsa yang religious, bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, dengan mata pelajaran agama yang hanya 2x45menit, dapet apa? Siapa yang bisa menggaranted bahwa anak-anak berada pada keluarga yang religious atau lingkungan kampung yang terkondisikan agamanya begitu.

Pada tataran seperti ini, ketika terintegrasi di dalam proses integrated system pendidikan maka saya rasa dapat terjadi efisiensi pada yang coba disosialisasikan oleh Menteri pendidikan tentang pendidikan kurikulum dengan pendidikan karakter. Karena saya khawatir dengan format yang akan dibangun ketika tidak diintegrasikan dapat terjadi terpolarisasi, sehingga memisahkan antara keahlian agama dengan keahlian fisika atau yang lainnya. Saya berharapnya bahwa akan adanya ikhtiar pengenalan-pengenalan dari dasar misalnya : Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ketika ada prasayarat untuk Basis Central (Pendidikan Central). Ketika dikenalkan dengan satu ayat Al-Qur’an tentang lingkungan, menjadi sadar kenapa koq ya banjir? Oh ya memang harus menjaga kebersihan dan menjaga lingkungan, jadi tuh ya nyambung.

Atau misalnya central kesenian ada bagian otak yang tersentuh dengan kreatifitas dan kelembutan. Disitu ada pendidikan tentang Adab, disitu tidak hanya tarbiyah (Pengasuhan) tetapi juga ta’dib (pelajaran adab). Proses pengasuhan di pendidikan kita ini kan hanya sampai di PAUD selebihnya taddris (pengajaran). Kita liat pendidikan WAJAR (wajib belajar) dua belas tahun, dengan dibebaskan SPP.  Kalo menurut saya RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) itu tak perlu ditutup. Ini adalah pilihan untuk mendapatkan pendidikan yang baik jadi tergantung sesuai dengan apa mau kualitas dan baiknya.

Harapan untuk perbaikan di Indonesia? 
Saya pikir untuk merubah sistem pendidikannya harus jadi Presiden dulu. Saya sudah belajar tentang Integrated System waktu itu di Malaysia. Waktu itu mendapatkan kesempatan dari OKI (Organisasi Konfrensi Islam) di Indonesia saat itu tidak ada yang punya role model OKI padahal Negara-negara lain Pakistan dan lainnya sudah. Tapi saya tida dapat rekomendasi untuk mendapatkan support dari pemerintah. Padahal dengan tanpa menggunakan APBD, Ya sudah tunggu jadi Presiden. Karena sudah cukup tahu tentang sulitnya birokrasi di negeri ini.


Comments System

Disqus Shortname