Inspirasi – Salah seorang wartawan senior yang dimiliki bangsa ini,
Aat Surya Safaat. Masih nampak muda dan bersahaja, Pak Aat menjabat sebagai
Manager di Antara. Tim inspirasi berhasil menjumpai beliau dikantor yang
berlokasi di Wisma Antara, Jl.Medan Merdeka Jakarta Pusat.
Disambutnya ramah dengan senyum
hangat, bapak dari 2 orang anak (Azmi Armiawan dan Rizka Amalia) ini mulai
memperbincangkan banyak hal. Lebih terfokus terkait pendidikan yang dilihat
dari kacamata seorang jurnalis yang sekaligus juga seorang pengajar pascasarjana di beberapa
universitas di Jakarta.
“Matakuliah di perguruan tinggi
di Indonesia ini terlalu banyak kurikulum, dan bahan materi yang diambil. Sehingga mahasiswa menjadi tidak
fokus dan tidak mendalam mengkaji materinya, cuma dapat kulit luarnya saja,”
lugas Pak Aat.
Berbeda dengan di negara luar,
seperti di New York Amerika. SKS yang disediakan untuk program S1 tidak lebih
dari 100 diambilnya, selain itu keterampilan
IT (Informasi Teknologi) dan kemampuan Bahasa adalah kunci penting agar
dapat dimiliki oleh mahasiswa untuk dapat menguasai dunia, yang terpenting dan
tak boleh dilupakan yakni Softskill adalah
kemampuan seseorang yang ada dalam dirinya sikap positif misal komunikasi
menggunakan body language yang baik
dan memiliki semangat dan integritas yang merupakan value dari hatinya.
Pria kelahiran Pandeglang, 20
Desember 1963 ini juga menjelaskan pentingnya mengubah mindset agar setiap orang dapat keluar dari pola pikir yang
biasa-biasa saja, sehingga keberadaan
para dosen dan pengajar tidak hanya cukup sebagai tempat transformasi ilmu mata
kuliahnya melainkan ada sebuah akses untuk terus menyampaikan motivasi dan
sikap-sikap yang positif kepada siapapun yang ditemuinya. Namun sayang jika
kondisi yang terjadi adalah para dosen
khususnya bagi universitas negeri di Indonesia tidak menjadi fokus, lantaran
banyak mengambil pengajaran sampingan di beberapa universitas swasta karena
mungkin keterbatasan gaji, oleh karena itu penting adanya bagi pemerintah atau
pemilik yayasan untuk memperhatikan kesejahteraan para pengajarnya agar terus fokus mendampingi proses
pengembangan para mahasiswa sehingga keberadaan kampus tidak dikomersialisasi
dengan peningkatan kuantitas sebanyak-banyaknya namun tidak menghasilkan kualitas yang baik didalamnya.
Memiliki pengalaman organisasi
yang mumpuni seperti Pengurus Bidang Pendidikan di PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia), Anggota di New York Foreign Presenter (2003-2008), Anggota United Consultan Assosiastion, dan
Penggurus HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) Surabaya saat menjadi mahasiswa
lalu, laki-laki pemiliki motto hidup untuk percaya pada keberuntungan tetapi
tetap lebih percaya para kerja keras dan kerja cerdas ini juga menyoroti akan
mahalnya cost pendidikan di Indonesia
dibandingkan dengan biaya pendidikan di negara luar. Hal itu lebih karena
permainan komersialisasi pendidikan saja sehingga pendidikan hanya cukup
dijadikan sebagai brand jualan dan
merk dagang. Pun begitu juga korelasinya kepada mindset mahasiswa yang akhirnya hanya bangga akan image dan penghargaan serta pengakuan
dari masyaraka ketika menimba ilmu di universitas yang terkenal dan ternama
sehingga mengabaikan proses menjadi apa dia setelah lulus dan skill apa yang dimiliki setelah lulus
dari perguruan tinggi tersebut.
Menutup perbincangan bersama seorang yang juga
berprofesi sebagai Consultan Comunication di PT. Dirgantara Indonesia dan Bio
Farma ini, begitu luas dengan khazanah yang dipaparkan. Begitu lugas dalam
penyampaian informasinya. Beliau berpesan menjadi jurnalis adalah kemuliaan
karena mencari kebenaran dan menyampaikan kepada yang belum mengetahui adalah
bernilai jihad. Selalu Semangat, Selalu Optimis, Selalu Mampu menjadi insan
yang terus berproses menuju kebaikan. (DZ & RM)