Thursday, November 8, 2012

Pak Aat, Pendidikan Dikacamata Seorang Jurnalis


Inspirasi – Salah seorang wartawan senior yang dimiliki bangsa ini, Aat Surya Safaat. Masih nampak muda dan bersahaja, Pak Aat menjabat sebagai Manager di Antara. Tim inspirasi berhasil menjumpai beliau dikantor yang berlokasi di Wisma Antara, Jl.Medan Merdeka Jakarta Pusat.

Disambutnya ramah dengan senyum hangat, bapak dari 2 orang anak (Azmi Armiawan dan Rizka Amalia) ini mulai memperbincangkan banyak hal. Lebih terfokus terkait pendidikan yang dilihat dari kacamata seorang jurnalis yang sekaligus juga  seorang pengajar pascasarjana di beberapa universitas di Jakarta.
“Matakuliah di perguruan tinggi di Indonesia ini terlalu banyak kurikulum, dan bahan materi  yang diambil. Sehingga mahasiswa menjadi tidak fokus dan tidak mendalam mengkaji materinya, cuma dapat kulit luarnya saja,” lugas Pak Aat.

Berbeda dengan di negara luar, seperti di New York Amerika. SKS yang disediakan untuk program S1 tidak lebih dari 100 diambilnya, selain itu keterampilan IT (Informasi Teknologi) dan kemampuan Bahasa adalah kunci penting agar dapat dimiliki oleh mahasiswa untuk dapat menguasai dunia, yang terpenting dan tak boleh dilupakan yakni Softskill adalah kemampuan seseorang yang ada dalam dirinya sikap positif misal komunikasi menggunakan body language yang baik dan memiliki semangat dan integritas yang merupakan value dari hatinya.

Pria kelahiran Pandeglang, 20 Desember 1963 ini juga menjelaskan pentingnya mengubah mindset agar setiap orang dapat keluar dari pola pikir yang biasa-biasa saja, sehingga  keberadaan para dosen dan pengajar tidak hanya cukup sebagai tempat transformasi ilmu mata kuliahnya melainkan ada sebuah akses untuk terus menyampaikan motivasi dan sikap-sikap yang positif kepada siapapun yang ditemuinya. Namun sayang jika kondisi yang terjadi  adalah para dosen khususnya bagi universitas negeri di Indonesia tidak menjadi fokus, lantaran banyak mengambil pengajaran sampingan di beberapa universitas swasta karena mungkin keterbatasan gaji, oleh karena itu penting adanya bagi pemerintah atau pemilik yayasan untuk memperhatikan kesejahteraan para pengajarnya  agar terus fokus mendampingi proses pengembangan para mahasiswa sehingga keberadaan kampus tidak dikomersialisasi dengan peningkatan kuantitas sebanyak-banyaknya namun tidak menghasilkan kualitas yang baik didalamnya.

Memiliki pengalaman organisasi yang mumpuni seperti Pengurus Bidang Pendidikan di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Anggota di New York Foreign Presenter (2003-2008), Anggota United Consultan Assosiastion, dan Penggurus HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) Surabaya saat menjadi mahasiswa lalu, laki-laki pemiliki motto hidup untuk percaya pada keberuntungan tetapi tetap lebih percaya para kerja keras dan kerja cerdas ini juga menyoroti akan mahalnya cost pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan biaya pendidikan di negara luar. Hal itu lebih karena permainan komersialisasi pendidikan saja sehingga pendidikan hanya cukup dijadikan sebagai brand jualan dan merk dagang. Pun begitu juga korelasinya kepada mindset mahasiswa yang akhirnya hanya bangga akan image dan penghargaan serta pengakuan dari masyaraka ketika menimba ilmu di universitas yang terkenal dan ternama sehingga mengabaikan proses menjadi apa dia setelah lulus dan skill apa yang dimiliki setelah lulus dari perguruan tinggi tersebut.

Menutup perbincangan bersama seorang yang juga berprofesi sebagai Consultan Comunication di PT. Dirgantara Indonesia dan Bio Farma ini, begitu luas dengan khazanah yang dipaparkan. Begitu lugas dalam penyampaian informasinya. Beliau berpesan menjadi jurnalis adalah kemuliaan karena mencari kebenaran dan menyampaikan kepada yang belum mengetahui adalah bernilai jihad. Selalu Semangat, Selalu Optimis, Selalu Mampu menjadi insan yang terus berproses menuju kebaikan. (DZ & RM) 

Comments System

Disqus Shortname