“Mereka
baru memimpin dalam arti julukan, bukan orang yang berjiwa pemimpin. Kita
seringkali terperangkap pada pemimpin artifisial, pemimpin buatan yang lahir
dari pencitraan. Bukan pemimpin substansial dengan ide-ide besar yang bisa
mengembalikan kebesaran bangsa.”

Meski sejak era
reformasi yang telah digadang-gadang sebagai momentum kebangkitan mencetak
pemimpin besar, yang punya gagasan-gagasan besar dan punya kemauan besar untuk
mewujudkannya, ternyata masih jauh dari harapan. Betul memang sejak tutup botol
reformasi dibuka, ribuan anak bangsa terobsesi menjadi pemimpin. Namun mereka
baru memimpin dalam arti julukan, bukan orang yang berjiwa pemimpin. Kita
seringkali terperangkap pada pemimpin artifisial, pemimpin buatan yang lahir
dari pencitraan. Bukan pemimpin substansial dengan ide-ide besar yang bisa
mengembalikan kebesaran bangsa.
Sebut saja
sosok-sosok pemimpin seperti Bung Karno, Hatta, Sjafrudin, Syahrir, Natsir,
Kasimo. Para pemimpin-pemimpin besar yang tak hanya dicintai rakyatnya tetapi
juga disegani bangsa-bangsa lain. Pemimpin berintegritas yang setiap laku dan
tindakan semata-mata demi mengangkat harkat dan martabat bangsa. Bukan pemimpin
yang asal jadi, bahkan hanya mengaku-aku sebagai pemimpin dengan pasang tampang
di setiap layar kaca dan di pojok-pojok tiang listrik di jalan.
Sebuah brand memang masih bisa mengendalikan
pesan yang ingin disampaikan baik dari media cetak dan media elektronik. Dimana
sosok figur otoritatif dalam sebuah komunitas, atau perkumpulan, atau pentolan
didalam organisasi yang menjadi tempat bertanya dan meminta nasihat, serta
diikuti pendapatnya. Yakni, seorang nara sumber terkemuka yang disebut opinion leader.
Namun di media
sosial yang sangat cair ini, yang berperan bukan saja opinion leader. Justru kehadiran media-media sosial adalah bagian
dari mimpi buruk pemilik brand dan
konsultan public relation nya
terlebih saat sedang menjadi ‘sasaran’ pemberitaan negatif. Karena bersifat uncontrollabel. Sebut saja misal seorang
tokoh yang memiliki stasiun televisi yang menguasai pasar TV berita, namun
keberadaan jejaring sosmed dengan jutaan nomor HP/BB/Android tak dapat
disingkirkan.
Di era internet
seperti sekarang ini, kita menyambut kehadiran media-media sosial adalah juga
bagian dari pengaruh terhadap apa yang dipikirkan publik terhadap sesuatu, yang disebut Opinion Formers. Atau biasa juga didefinisikan sebagai trendsetter yang mempunyai action, atitude dan kata-kata yang secara langsung dan tidak langsung memengaruhi orang lain.
Dimana lewat
jejaring sosial tersebut bermunculan kelompok-kelompok yang tidak selalu
terdiri dari seorang tokoh atau ahli, bahkan tidak harus dari sebuah institusi
atau brand yang terkemukan. Opinion formers bisa siapa saja, yang
memiliki kekuatan menggiring audien ke arah yang diharapkan. Bahayanya dari opinion formers ini jika hanya berpihak
pada satu sisi, dan terlihat adanya ‘pesan sponsor’. Kadang sering terlihat
juga kecenderungan penyebaran isu yang bersifat provokatif, memancing diskusi untuk menyudutkan salah satu pihak.
Mempelajari
karakteristik dari setiap kelompok di media sosial, maupun pencitraan brand, dan poster-poster yang terpampang
dari setiap kelompok-kelompok tersebut yang mulai menunjukan ekspresi
gemulainya pada suasana yang makin memanas dan bisa dijadikan pelajaran bagi brand yang secara kontinu menggunakan
media sosial dalam brand campaign
nya.
Pemilihan umum
tahun ini adalah salah satunya untuk mewujudkan kembali harapan kita memiliki
pemimpin-pemimpin hebat. Agar tak terus tersandera oleh pemimpin artifisial dan
lepas dari jebakan pemimpin palsu yang eksis karena sekedar pintar memoles
citra, rakyat mesti cerdas dan jeli menjatuhkan pilihan. Hanya figur yang
steril dari kepentingan pribadi dan kelompok yang lantang bersuara terlebih
saat berurusan dengan negara lain yang layak dijadikan pemipin. Para pemimpin
artifisial yang besar karena pencitraan lebih baik minggir dari pertarungan.(Dz)