Thursday, March 27, 2014

Brand Mencetak Pemimpin Artifisial Bermental Pencitraan



“Mereka baru memimpin dalam arti julukan, bukan orang yang berjiwa pemimpin. Kita seringkali terperangkap pada pemimpin artifisial, pemimpin buatan yang lahir dari pencitraan. Bukan pemimpin substansial dengan ide-ide besar yang bisa mengembalikan kebesaran bangsa.”

Di masa silam bangsa Indonesia adalah bangsa yang mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara besar lantaran memiliki pemimpin substansial. Pemimpin yang berhasil memunculkan nama bangsa karena terlahir dari pergerakan terdidik yang visioner.

Meski sejak era reformasi yang telah digadang-gadang sebagai momentum kebangkitan mencetak pemimpin besar, yang punya gagasan-gagasan besar dan punya kemauan besar untuk mewujudkannya, ternyata masih jauh dari harapan. Betul memang sejak tutup botol reformasi dibuka, ribuan anak bangsa terobsesi menjadi pemimpin. Namun mereka baru memimpin dalam arti julukan, bukan orang yang berjiwa pemimpin. Kita seringkali terperangkap pada pemimpin artifisial, pemimpin buatan yang lahir dari pencitraan. Bukan pemimpin substansial dengan ide-ide besar yang bisa mengembalikan kebesaran bangsa.

Sebut saja sosok-sosok pemimpin seperti Bung Karno, Hatta, Sjafrudin, Syahrir, Natsir, Kasimo. Para pemimpin-pemimpin besar yang tak hanya dicintai rakyatnya tetapi juga disegani bangsa-bangsa lain. Pemimpin berintegritas yang setiap laku dan tindakan semata-mata demi mengangkat harkat dan martabat bangsa. Bukan pemimpin yang asal jadi, bahkan hanya mengaku-aku sebagai pemimpin dengan pasang tampang di setiap layar kaca dan di pojok-pojok tiang listrik di jalan.

Sebuah brand memang masih bisa mengendalikan pesan yang ingin disampaikan baik dari media cetak dan media elektronik. Dimana sosok figur otoritatif dalam sebuah komunitas, atau perkumpulan, atau pentolan didalam organisasi yang menjadi tempat bertanya dan meminta nasihat, serta diikuti pendapatnya. Yakni, seorang nara sumber terkemuka yang disebut opinion leader.

Namun di media sosial yang sangat cair ini, yang berperan bukan saja opinion leader. Justru kehadiran media-media sosial adalah bagian dari mimpi buruk pemilik brand dan konsultan public relation nya terlebih saat sedang menjadi ‘sasaran’ pemberitaan negatif. Karena bersifat uncontrollabel. Sebut saja misal seorang tokoh yang memiliki stasiun televisi yang menguasai pasar TV berita, namun keberadaan jejaring sosmed dengan jutaan nomor HP/BB/Android tak dapat disingkirkan.

Di era internet seperti sekarang ini, kita menyambut kehadiran media-media sosial adalah juga bagian dari pengaruh terhadap apa yang dipikirkan publik terhadap sesuatu,  yang disebut Opinion Formers. Atau biasa juga didefinisikan sebagai trendsetter yang mempunyai action, atitude dan kata-kata yang secara langsung dan  tidak langsung memengaruhi orang lain.

Dimana lewat jejaring sosial tersebut bermunculan kelompok-kelompok yang tidak selalu terdiri dari seorang tokoh atau ahli, bahkan tidak harus dari sebuah institusi atau brand yang terkemukan. Opinion formers bisa siapa saja, yang memiliki kekuatan menggiring audien ke arah yang diharapkan. Bahayanya dari opinion formers ini jika hanya berpihak pada satu sisi, dan terlihat adanya ‘pesan sponsor’. Kadang sering terlihat juga kecenderungan penyebaran isu yang bersifat provokatif, memancing  diskusi untuk menyudutkan salah satu pihak.

Mempelajari karakteristik dari setiap kelompok di media sosial, maupun pencitraan brand, dan poster-poster yang terpampang dari setiap kelompok-kelompok tersebut yang mulai menunjukan ekspresi gemulainya pada suasana yang makin memanas dan bisa dijadikan pelajaran bagi brand yang secara kontinu menggunakan media sosial dalam brand campaign nya.  

Pemilihan umum tahun ini adalah salah satunya untuk mewujudkan kembali harapan kita memiliki pemimpin-pemimpin hebat. Agar tak terus tersandera oleh pemimpin artifisial dan lepas dari jebakan pemimpin palsu yang eksis karena sekedar pintar memoles citra, rakyat mesti cerdas dan jeli menjatuhkan pilihan. Hanya figur yang steril dari kepentingan pribadi dan kelompok yang lantang bersuara terlebih saat berurusan dengan negara lain yang layak dijadikan pemipin. Para pemimpin artifisial yang besar karena pencitraan lebih baik minggir dari pertarungan.(Dz)

Comments System

Disqus Shortname