Pemerintah dan lembaga
negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.
UU NO. 23 Pasal 59
Pengawasan
serta perlindungan tidak hanya wajib diberikan oleh orang tua. Peran pemerintah
serta masyarakat pada umumnya juga turut menentukan nasib anak. Salah satu
bentuk tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi anak bangsa adalah dengan
memberikan suatu perlindungan hukum bagi anak. Perlindungan hukum yang
diperlukan adalah dalam bentuk regulasi serta penerapannya yang diharapkan
dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat
manusia. Selain itu, untuk mendapat perlindungan dari segala macam kekerasan,
ketidakadilan, penelantaran, diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan
negatif lain demi terwujudnya anak bangsa yang tangguh sebagai generasi penerus
di masa yang akan datang. Di Indonesia, perlindungan anak, salah satunya diatur
dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak
merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak
Anak (KHA) tahun 1990.. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah
diusulkan sejak tahun 1998. Namun instabilitas politik Indonesia pada saat itu
baru memungkinkan pemerintah dan DPR membahas RUU perlindungan anak pada
pertengahan 2001.
Substansial
UU No. 23 pasal 1 menyatakan bahwa . Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa
hanyalah sebatas umur saja. Sebenarnya pendefinisian anak sudah atau tidaknya masuk kategori dewasa itu menjadi
begitu rancu ketika melihat batas umur anak atau batas dewasanya seseorang
dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda. Anak yang
dilahirkan memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia.
Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa
hormat atas kemampuan mereka, pemajuan dan perlindungan, serta harga diri dan
partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan
kewajiban anak diatur dalam pasal 4 hingga pasal 12 Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah
menurut agamanya, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan
pengajaran, mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya,
memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain,
berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka
pengembangan diri.
Legalitas perlindungan anak yang dijamin oleh undang-undang
diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran dari seluruh pihak dalam rangka implementasi
amanat undang-undang. Walau nyatanya, kompleksitas permasalahan anak masih
kerap mendapat perhatian yang minim. Eksploitasi anak dalam berbagai bentuk
justru mengalami peningkatan dibeberapa tahun terakhir. Artinya, perhatian dan
penerapan KHA dan UU Perlindungan anak belum terealisasi secara utuh. Disinilah
tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berperan.
Komnas
Anak vs KPAI
KPAI
merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan Komisi Negara
lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004
berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002. Dalam
keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan
efektifitas penyelengaraan perlindungan anak.
Selain
itu, yang menjadi alasan dibentuknya KPAI adalah karena dalam Konvensi Hak Anak
(KHA) disebutkan bahwa setiap negara (yang turut meratifikasi) harus memiliki
komisi nasional. Terbentuknya KPAI memperlihatkan suatu realita bahwa
pemerintah menaruh perhatian dan berupaya untuk memberikan perlindungan
terhadap anak agar anak terhindarkan dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Sebagai
lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan
kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan
penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan,
saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan
anak. Sejak pendiriannya, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas,
fungsi, dan program-programnya dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Selain itu, sumber dana juga
dimungkinkan dari bantuan asing bila memang ada lembaga asing atau organisasi
internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Mengenai laporan
pertanggungjawaban atas penggunaan dana guna adanya transparansi serta agar
tidak menimbulkan kecurigaan adanya perbuatan koruptif maupun kolutif dalam
tubuh KPAI, KPAI mencantumkannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPR.
Sayangnya
popularitas KPAI kalah dengan Komnas Anak. Gaung KPAI hanya terdengar
sayup-sayup. Amat disayangkan memang, masyarakat justru tidak mengenal ataupun
mengetahui keberadaan KPAI serta fungsi dari komisi nasional ini. Padahal
berbeda dengan KPAI, Komnas Anak hanyalah merupakan LSM yang disahkan dengan
Surat Akta Notaris sebagaimana layaknya pembentukan LSM atau yayasan sosial
lainnya. Selain itu, bila KPAI memiliki sumber dana yang pasti untuk
menjalankan tugas-tugasnya, Komnas Anak hanya memperoleh dana untuk membiayai
operasional serta program-programnya dari hasil kerja sama dengan para donor
asing semisal UNICEF.
Setiap
tahunnya pun perolehan dana Komnas Anak sangat fluktuatif, tergantung pendonor
dana. Namun buktinya, dengan dana yang tidak pasti ini tidak membuat Komnas
Anak terhambat dalam menjalankan programnya.
Kinerja
KPAI dinilai banyak pihak kurang memuaskan. KPAI kurang menyentuh masyarakat.
KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta
perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu
masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI
tidak berjalan dengan baik. Sebuah indikasi bahwa kinerja KPAI belum cukup
maksimal. Selama ini pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan
anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak, lebih banyak
disalurkan ke Komnas Anak.
Bagaimanapun,
kovergensi KPAI dan Komnas Anak memiliki peran penting dalam mengemban tugas
perlindungan anak ditengah krisis humanisasi terhadap anak. Agar UU No. 23 tidak
sekedar wacana belaka.(*)
*Zulfah kudo dari data
berbagai sumber