Thursday, March 27, 2014

UU NO. 23: Humanisasi Anak dalam kovergensi Komnas Anak dan KPAI


Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
UU NO. 23 Pasal 59
Pengawasan serta perlindungan tidak hanya wajib diberikan oleh orang tua. Peran pemerintah serta masyarakat pada umumnya juga turut menentukan nasib anak. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi anak bangsa adalah dengan memberikan suatu perlindungan hukum bagi anak. Perlindungan hukum yang diperlukan adalah dalam bentuk regulasi serta penerapannya yang diharapkan dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia. Selain itu, untuk mendapat perlindungan dari segala macam kekerasan, ketidakadilan, penelantaran, diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan negatif lain demi terwujudnya anak bangsa yang tangguh sebagai generasi penerus di masa yang akan datang. Di Indonesia, perlindungan anak, salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990.. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun instabilitas politik Indonesia pada saat itu baru memungkinkan pemerintah dan DPR membahas RUU perlindungan anak pada pertengahan 2001.
Substansial UU No. 23 pasal 1 menyatakan bahwa . Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanyalah sebatas umur saja. Sebenarnya pendefinisian  anak sudah atau  tidaknya masuk kategori dewasa itu menjadi begitu rancu ketika melihat batas umur anak atau batas dewasanya seseorang dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda. Anak yang dilahirkan memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia. Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa hormat atas kemampuan mereka, pemajuan dan perlindungan, serta harga diri dan partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan kewajiban anak diatur dalam pasal 4 hingga pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran, mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri.
Legalitas perlindungan anak yang dijamin oleh undang-undang diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran dari seluruh pihak dalam rangka implementasi amanat undang-undang. Walau nyatanya, kompleksitas permasalahan anak masih kerap mendapat perhatian yang minim. Eksploitasi anak dalam berbagai bentuk justru mengalami peningkatan dibeberapa tahun terakhir. Artinya, perhatian dan penerapan KHA dan UU Perlindungan anak belum terealisasi secara utuh. Disinilah tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berperan.
Komnas Anak vs KPAI
KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan Komisi Negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelengaraan perlindungan anak.
Selain itu, yang menjadi alasan dibentuknya KPAI adalah karena dalam Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa setiap negara (yang turut meratifikasi) harus memiliki komisi nasional. Terbentuknya KPAI memperlihatkan suatu realita bahwa pemerintah menaruh perhatian dan berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar anak terhindarkan dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Sebagai lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Sejak pendiriannya, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Selain itu, sumber dana juga dimungkinkan dari bantuan asing bila memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Mengenai laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana guna adanya transparansi serta agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya perbuatan koruptif maupun kolutif dalam tubuh KPAI, KPAI mencantumkannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPR.
Sayangnya popularitas KPAI kalah dengan Komnas Anak. Gaung KPAI hanya terdengar sayup-sayup. Amat disayangkan memang, masyarakat justru tidak mengenal ataupun mengetahui keberadaan KPAI serta fungsi dari komisi nasional ini. Padahal berbeda dengan KPAI, Komnas Anak hanyalah merupakan LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris sebagaimana layaknya pembentukan LSM atau yayasan sosial lainnya. Selain itu, bila KPAI memiliki sumber dana yang pasti untuk menjalankan tugas-tugasnya, Komnas Anak hanya memperoleh dana untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil kerja sama dengan para donor asing semisal UNICEF.
Setiap tahunnya pun perolehan dana Komnas Anak sangat fluktuatif, tergantung pendonor dana. Namun buktinya, dengan dana yang tidak pasti ini tidak membuat Komnas Anak terhambat dalam menjalankan programnya.
Kinerja KPAI dinilai banyak pihak kurang memuaskan. KPAI kurang menyentuh masyarakat. KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik. Sebuah indikasi bahwa kinerja KPAI belum cukup maksimal. Selama ini pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak, lebih banyak disalurkan ke Komnas Anak.
Bagaimanapun, kovergensi KPAI dan Komnas Anak memiliki peran penting dalam mengemban tugas perlindungan anak ditengah krisis  humanisasi terhadap anak. Agar UU No. 23 tidak sekedar wacana belaka.(*)
*Zulfah kudo dari data berbagai sumber







Comments System

Disqus Shortname