Saturday, April 13, 2013

Pendidikan butuh Sosok yang Dikukuh dan Ditiru



Bachtiar Natsir Lc, ketua MIUMI (Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia). Memulai ceritanya ulama ini begitu bersyukurnya karena dari orang tua terutama dari tangan ibunya beliau berhasil belajar huruf hijaiyah meski harus banyak cubitan yang diterima karena ulah kebandelannya. Karena boleh jadi banyak ibu-ibu professor dan ibu-ibu doctor yang tidak bisa melakukan itu. ilmu itu adalah yang datang dari Allah dan bermanfaat bagi kita. Ilmu itu adalah perkataan Allah dan RasulNya.

Saat usia kelas 3 SMP beliau melanjutkan pendidikan di pesantren  Gontor. “Saya melihat pendidikan itu tidak harus disebuah gedung. Pendidikan itu tidak harus dengan teritorial kampus. Orang belajar itu salah besar karena fasilitas, orang belajar itu seharusnya mencari sosok yang dikukuh dan ditiru. Saya mencari sebuah sosok pendidik untuk membenarkan janji Allah SWT. Belajar tahfidzul Qur'an dari seorang guru yang dikukuh dan ditiru,“ ungkap beliau.

Kemudian beliau kuliah di Madinah. Dan ketika mendaratkan kaki di kotanya ilmu yang dilakukan pertama kali yakni kembali belajar dari awal dan memulai pelajaran sholat.  “Saya ingin perbaiki dulu sholat saya, karena itu adalah penilaian seseorang secara kualitatif sebagai manusia didepan TuhanNya. Saya tidak butuh gelar untuk saat ini, melainkan saya butuh ilmu. Kalo belajar saya harus belajar dari seseorang. Dan lebih bangga dipanggil ulama daripada dipanggil doctor. Karena menjadi ulama banyak sisi yang harus diperhatikan, akhlak, dan sisi baik lainnya.”

Perubahan itu harus dimulai dari memperbaiki hubungan kita kepada Allah, kemudian barulah hubungan dengan sesama akan mengikut dengan sendirinya. Kita bisa lihat bagaimana kerja Muhammad SAW. Membangun peradaban dari sebuah porak-porandanya kejahilan di Makkah. Betapa bejatnya kondisi itu, dan butuh sebuah kerja besar untuk merubah keadaan yang sangat kacau. Sebagai seorang muslim untuk merubah keadaan semua sudah dikatakan yakni dengan sholat, sholatnya baik maka baik pula yang lain jika sholatnya rusak maka rusak pula lainnya.

Melihat kondisi di Indonesia sebetulnya memang sudah disoriented,  sejak era Orde Lama dibenarkan Komunisme, era Orde Baru dibenarkan Kejawen dan era Demokrasi dibenarkan Liberalisme. Begitupula yang terjadi disoriented pendidikan kita juga sangat kacau, bahwa filsafat barat mengatakan bahwa agama itu bukan ilmu melainkan kebudayaan. Kita kehilangan orientasi dan sudah dicabut dari pangkalnya dan diserang habis-habisan. Dari awal kita tidak memegang prinsip-prinsip negara, yang menentukan tingkat kecerdasaan bukan dengan hikmah. Padahal disila keempat kita berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan Perwakilan”. Namun pendiri negara ini untuk menafsirkan Pancasila seharusnya mengacu kepada Al-Qur'an, hanya saja keadaan pada saat itu sudah di sabotase oleh kelompok-kelompok sekuler. Dan pendirian negara kita secara ideologi sudah dirampas dengan pemikiran Nasakom. Kita kehilangan orientasi untuk pendirian negara dari pangkalnya. Sehingga anggaran negara, regulasi, dan dasar negara sudah disoriented.

“Saya selalu katakan kepada anak saya “apapun jabatan kamu dan berapapun gaji kamu tidak akan membahagiakan bapak sebelum kamu jadikan dasar ilmumu adalah Al-Qur'an, untuk kamu pelajari, untuk kamu tulis, untuk kamu baca, untuk kamu hafal, kamu aplikasikan meski kamu mati karenanya”. Saya juga katakan, “kamu sekolah dan kamu belajar adalah agar kamu masuk surga, jadi jangan belajar untuk membuat kamu masuk neraka”, Konsep ilmu di Indonesia itu hirarkinya tidak jelas. Semua anak bagi saya pintar. Masing-masing anak sesuai dengan karakternya. Saya juga sering mengajak anak saya ikut ceramah diluar, meski dia katakan “nanti saya dimarahi guru saya, Bi”. Saya katakan “kamu tidak sedang membolos, kamu sedang belajar diluar. Dan kepala sekolahmu adalah bapakmu”. Banyak orang tua yang kehilangan anaknya karena diperkosa ideologi dan agamanya,” terang beliau. (inspirasi)

Comments System

Disqus Shortname