Inspirasi –
Bertempat dikediaman yang berada di
Pancoran Barat no.21, Jakarta Selatan. Gene Netto seorang muallaf yang berasal dari
Nelson, New Zealand. Berbincang masalah pendidikan di Indonesia hanya satu kata
pertama yang beliau sampaikan saat tim inspirasi menanyakan tanggapannya mengenai pendidikan di Indonesia “Parah,”ungkapnya
berekspresi. “System pendidikan di
negeri ini memang perlu di reform, terlalu banyak mindset yang terkukung
dengan pola kediktatoran sejak zaman orde baru, dimana keilmuan harus diimbangi
dengan keimanan dan systemnya harus lebih fokus kepada bakat dan kemampuan
peserta didik,”tambahnya.
Memiliki pengalam organisasi yang mumpuni sebagai seorang
staf ahli pesantren Yatim Piatu Daarul Qur’an, staf ahli Ikatan Guru Indonesia,
dan Pelatih guru Ikatan Guru Indonesia (IGI). Pak Gene Netto menyampaikan bahwa
Ujian Nasional (UN) adalah salah satu penghambat untuk kemajuan para peserta
didik baik disekolah-sekolah dasar hingga tingkat atas, sehingga yang terjadi
orientasi berpikir para siswa hanya sekedar nilai dan prestasi sehingga
mengabaikan proses dan moral yang seharusnya bisa terpatri sejak dini untuk
kehidupan berakhlak di masyarakat.
Dengan mottonya, Harus Bisa. Gene Netto melatih untuk
senantiasa berpikir kreatif, tidak hanya terkungkung dalam satu cara jika
dihadapkan oleh masalah melainkan perlunya memiliki 90 cara untuk keluar dari
masalah yang dihadapi. Sehingga otak senantiasa
akan dipacu untuk bertindak cerdas. Mengelola pemikiran kreatif ini memang
sangat dperlukannya ketenangan dan menglelo emosi dan sikap panikan yang biasa
dimiliki orang Indonesia. Sehingga dalam kondisi tenang pikiran kreatif pun
akan muncul dengan berbagai bentuk untuk mengeluarkan solusi-solusi brilliant.
Beliau juga menyampaikan bukan karena kapasitas otak orang
bule yang lebih cerdas karena faktor genetika, melainkan pelatihan dan
pembiasaanlah yang membuatnya terlatih untuk berpikir kreatif, selain itu juga
kebudayaan yang mengungkung pola pikir bangsa Indonesia dari zaman orde baru juga
sangat menjadi faktor pembentukan mental-mental bangsa Indonesia yang tidak
dapat keluar dari kotak.
Begitu miris dengan bangsa yang memiliki mayoritas muslim
yang besar namun masih minim akhlak dan keteraturan-keteraturan yang seharusnya
diajarkan dalam islam sehingga tidak heran jika Indonesia terus-terusan menjadi
Negara berkembang, yakni dikarenakan faktor manusainya. Para pejabat dan
pegawai negara juga hanya pandai untuk menggembungkan dirinya sendiri tanpa
memperdulikan tetangga sebelahnya misal yang masih kekurangan dan kelaparan.
Sehingga hal demikian juga berdampak akan pesimistis dan apatisnya masyarakat
secara umum, ‘Indonesia, paling tidak ada yang berubah’.
"Pernah satu kali saat terjadi gempa di Padang, lalu. Saya
melihat begitu lambannya para tentara Indonesia untuk menangani para korban
bencana. Jika Jepang saja mampu dalam waktu kurang dari satu minggu untuk
memulihkan kondisi kehidupan dan logistik para korban bencana, Indonesia
memiliki waktu satu tahun dan itupun para korban masih saja berada
digubuk-gubuk dan tenda-tenda kumuh. Mengapa hal demikian? Ini karena pola
pikir yang tidak kreatif. Hal demikian pernah saya sampaikan melalui pesan
singkat kepada Bapak Presiden RI, namun tidak ada balasan. Ini juga yang sangat
memprihatinkan bahwa para pemimpin dan pemilik jabatan di Indonesia rasanya
enggan untuk mendengarkan dan menerima masukan meski itu baik demi pembangun
negeri ini juga,"tutur cerita Pak Gene Netto.
Dengan demikian upaya memperbaiki dan mereform kondisi ini memang berasal dari mindset serta perlunya kembali untuk menumbuhkan nilai-nilai akhlak
dan keimanan. Dan mengatur kembali system kurikulum yang diperlukan sejak kelas
dasar. Misalnya di sekolah dasar anak-anak sudah diajarkan dan dilatih untuk
memiliki jiwa entrepereneurship, dengan membangun jiwa tanggungjawab dan kejujuran sehingga
nilai-nilai kemandirian dan kreatifitas bisa terbangun dalam jiwa-jiwa anak
Indonesia. (DZ)