Saturday, February 11, 2012

Kisah Babeh Dung bersama Ciliwungku

Pak Haji Abdussalam atau yang akrab disapa Babeh Dul mencoba berkisah kepada kami tentang riwayat rumah khas betawi yang didiaminya selama puluhan tahun yang bahkan telah berumur seabad dari umurnya , beserta dengan sungai yang pada zaman ini banyak di pandang sebelah mata oleh masyarakat Jakarta. Sungai itu tak lain adalah “Ciliwung”.

Di rumah ini, beliau berkisah tentang kenangan indah dan kelam selama perjalanan hidupnya. “Rumah ini kira-kira sudah 100 tahun sejak tahun 1911. Awal mula rumah ini berdiri tak ada satu pun yang berubah bentuknya, semuanya masih terjaga dengan baik. Saya adalah generasi ke-5 pewaris rumah antik ini. Kalau pun ada renovasi hanya badan rumah dikuatkan dengan beton dan ditinggikan.” ujar Babeh Dul.

Yang unik dirumah ini adalah meskipun rumah ini telah berusia 100 tahun, namun masih terlihat seperti baru dan terawat. Ketika ditanya mengenai hal itu Babeh Dul menjawab, “setiap detail dari rumah ini hanya di cat pernis serta di plitur agar tetap terlihat mengkilap dan bersih, selebihnya kagak diapa-apain lagi dan motifnya pun masih alami dan tetap dipertahankan seperti pertama kali dibangun.”

“Rumah ini memang warisan turun-temurun jadi kita sebagai pewaris mesti menjaga baik-baik peninggalan leluhur ini,” ujarnya lagi. Menurut Babeh Dul, ciri khas dari rumah betawi itu terletak pada jumlah jendelanya dan berbentuk rumah panggung. Ini dimaksudkan agar sirkulasi keluar masuknya udara serta cahaya tetap terjaga, jadi bisa dipastikan bahwa setiap rumah betawi memiliki banyak jendela.

Ada hal menarik lainya yang bisa dijumpai di rumah tua ini yakni di depan teras terdapat kebun kecil dan tumbuh pohon kurma yang merupakan hadiah dari orang belanda. Pohon tersebut berdiri tegak kokoh sudah hampir 70 tahun lebih, padahal idealnya pohon kurma itu tumbuh di daerah gurun berpasir yang membutuhkan aerasi dan drainase yang baik serta ia dapat toleran dengan tanah yang memiliki senyawa alkali yang tak lain biasa tumbuh di daerah bertemperatur 900F (32.20C) dan tidak sering terjadi hujan. Namun sangat disayangkan pohon tersebut sangat jarang sekali berbuah.

Dan sayangnya rumah tua ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Terakhir apresiasi yang ditunjukan dari pemerintah hanya pada zaman walikota Sabeni Effendi yaitu bantuan insidentil, selebihnya tidak ada apresiasi lain dari pemerintah. Rumah tua ini merupakan rumah Betawi tertua yang tersisa di perkampungan Ciliwung.

Rumah Betawi yang terletak di Jl. Ciliwung Ujung No. 5 RT/RW: 09/16 Kel.Cililitan, Kec.Kramat Jati, Jakarta Timur ini juga terletak diseberang sungai Ciliwung. Dari sinilah beliau kembali berkisah mengenai Ciliwung. Dahulu, kenangnya, kondisinya enggak separah ini. Sungai ini bersih airnya jernih baik dari hulu sampai ke hilir dan banyak warga yang menggunakan untuk keperluan sehari-hari bahkan sungai ini dulunya juga difungsikan sebagai sarana transportasi dengan menggunakan rakit seadanya banyak warga menyebrang, kalau jaman sekarang istilahnya getek atau eretan, tapi sungainya dulu tidak berbau tak sedap seperti sekarang ini.

“Dulu kedalaman sungai bisa mencapai satu galah atau sekitar 7 meter dengan lebar hingga 65 meter beserta dengan bantarannya. Tapi sekarang tidak sampai 3 meter, malah kebanyakan sampah yang menumpuk di dasar sungai. Ciliwung mulai keruh semenjak tahun 80-an,” ungkapnya lagi. Disekitaran sungai Ciliwung juga dulu banyak ditumbuhi pohon rambutan, duku, melinjo, dan pohon buluh juga salak condet yang tak lain merupakan buah khas kota Jakarta/ betawi tempo dulu hingga kini. Namun sayang salak condet kalah saing dengan salak pondoh. Demikian kata babeh yang tengah berusia 76 tahun ini.

Beliau juga bercerita ketika Jakarta dulu di kepalai oleh gubernur yang akrab disapa Bang Noli, sungai Ciliwung mulai banyak mengalami perubahan. “Semenjak Bang Noli memprakarsai pelepasan ikan sapu-sapu yang memang bukan ikan endemic asli di Ciliwung, populasi ikan sapu-sapu semakin bertambah seiring dengan keruhnya sungai dan itu semakin mengindikasikan betapa parahnya sudah Ciliwung tercemar beragam limbah. Kemudian banyaknya pabrik-pabrik yang berdiri serta merta menyumbang beraneka limbah kimia yang berbahaya bagi sungai. Sungguh mengenaskan melihat kondisi Ciliwung kini,” kenang Babeh Dul sembari mengelus dada. Sisa-sisa kejayaan dan kecantikan Ciliwung tak terlihat lagi kini. Anak muda pun banyak yang terkesan tidak mau tahu bagaimana masa depan Ciliwung nanti.

Menurut Babeh Dul terhitung sudah 3 gubernur yang pernah datang dan mengunjungi Ciliwung Condet, yaitu Alisadikin, Bang Noli, dan Fauzi Bowo (Bang Foke). Namun demikian Babeh dul sangat menyesalkan ketika Bang Foke selaku Gubernur DKI Jakarta yang kala itu datang saat acara seremonial di ciliwung condet yang bertajuk “Suatu Hari yang Indah di Sepanjang Cliwung” berkata, “biarkan ciliwung seperti saat ini, tinggal ditanami dan dilestarikan saja.” Seharusnya menurut babeh, kalau ingin dipertahankan tetap ada perawatan dan penyuluhan dari pihak pemda bahkan pemerintah terkait permasalahan sampah yang tak kunjung selesai di sepanjang Ciliwung.

Di akhir perbincangan babeh berharap makin banyak lagi orang yang belajar mengenal Ciliwung, menjaga dan merawat sungai yang dulu merupakan primadona kota Batavia. Dan sembari bercanda beliau meminta kepada kami untuk sering-sering main ke rumah ini. Tapi jangan lupa bawa jinjingan ya, dengan tawanya yang khas.

Comments System

Disqus Shortname