Thursday, January 19, 2012

Rumit, tapi Tak Ada Pilihan

Program Pembatasan dan Konversi BBM-BBG
JAKARTA–Pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan program yang rumit dan tidak mudah dijalankan. Hal ini diakui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik.”Bisa berjalan 50 persen saja kita sudah senang, karena pembatasan BBM ini tingkat keruwetan tinggi,” kata Mantan Menteri Pariwisata ini.
Meski rumit, pemerintah tidak punya pilihan lain selain menjalankannya. Pembatasan BBM bersubsidi merupakan amanat pasal 7 ayat 4 Undang-Undang APBN 2012. Program yang akan dimulai 1 April 2012 di area Jawa-Bali ini diharapkan bisa menekan pembengkakan subsidi BBM yang bisa mencapai Rp 200 triliun per tahun.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan mewajibkan seluruh kendaraan umum menggunakan bahan bakar gas (BBG). Kendaraan umum tidak boleh lagi menggunakan BBM jenis premium. Karenanya semua kendaraan umum bakal dilengkapi converter kit (alat tambahan yang digunakan pada mobil untuk mengalihkan bahan bakar dari BBM ke BBG). Converter kit ini akan dibagikan secara gratis kepada seluruh kendaraan umum.
Sedangkan untuk mobil pribadi, pemerintah menyiapkan dua pilihan. Pertama, mobil pribadi diperbolehkan menggunakan BBM asalkan yang non-subsidi seperti Pertamax dan Pertamax Plus. Pilihan kedua, mobil pribadi itu turut pindah ke BBG yang lebih murah dan tanpa menyedot subsidi. Tetapi mobil pribadi tidak bisa mendapatkan converter kit secara gratis.
Di sinilah kerumitan dimulai. Pemerintah harus menyediakan converter kit untuk dibagikan secara gratis kepada semua kendaraan umum dan dijual ke kendaraan pribadi yang tidak mampu menggunakan pertamax. Pada tahap awal ini, program pembatasan menyasar 1,2 juta kendaraan di Jawa-Bali. Artinya, setengah saja dari jumlah kendaraan itu tidak sanggup menggunakan pertamax, pemerintah harus menyediakan 600.000 converter kit.
Untuk menghindari impor, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) akan memimpin beberapa perusahaan BUMN dan swasta untuk memproduksi converter kit. BUMN yang siap adalah PT Pindad, PT Boma Bisma Indra, Dok Perkapalan Surabaya, PT Inti, PT Krakatau Steel Tbk, PT Inka, dan PT Bharata Indonesia. Selain itu, terdapat 8 perusahaan swasta yang memiliki kemampuan membuat converter kit.
Meski demikian, impor conventer tidak bisa dihindari. ”Produk dalam negeri hanya bisa memenuhi 60 persen kebutuhan conventer kit. Sisanya sebesar 40 persen akan diimpor,” kata Jero Wacik. Project Manager PT DI, Ahmad Saichu pernah mengatakan, saat ini converter kit yang diproduksi PT DI termasuk tabung Liquified Gas for Vehicle (LGV) tipe silinder, pemasangan, perawatan, serta garansi 5 tahun adalah sebesar Rp12 juta. Tetapi harganya bisa turun menjadi Rp 9 juta per unit jika diproduksi secara masal.
Masalah lainnya yang tidak kalah rumit adalah ketersediaan tempat pengisian gas cair untuk kendaraan (LGV). Tidak mungkin pengguna kendaraan akan beralih ke gas jika tempat pengisian gas tidak tersedia secara memadai. Di Jakarta saja, hanya ada 10 SPBU yang melayani LGV. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Evita Legowo mengakui minimnya infrastruktur ini.
Karenanya, dalam tahun ini akan digenjot pembangunan 108 tempat pengisian gas cair untuk kendaraan (LGV). Sebagian besar proyek ini akan dikerjakan PT Pertamina. Di Jakarta, pemerintah akan menambah layanan Vi-Gas di 16 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Vi-Gas merupakan merek dagang Pertamina untuk LGV (liquid gas for vehicle).
Di Jawa Barat layanan Vi-Gas akan ditambah di 15 SPBU, Banten (11 stasiun), Jawa Tengah (25 stasiun), Jogjakarta (4 stasiun), Jawa Timur (32 stasiun), dan Bali (2 stasiun). Dalam pelaksanaan teknisnya nanti, tingkat kerumitan tentu akan lebih tinggi. Tidak akan kalah rumit dengan proses mempersiapkan infrastruktur. Maklum, di tahap awal saja, mega program ini akan melibatkan jutaan kendaraan.
Apalagi jika mulai dijalankan di seluruh Indonesia pada 2014. ”Di tahap awal memang tidak mungkin sukses 100 persen. Tapi semua kekurangan akan terus kita perbaiki,” pungkas Jero Wacik. (dri)

Comments System

Disqus Shortname