Monday, January 30, 2012

Mencari atau Bertahan Hidup di Jakarta, haruskah?


Jakarta - Kebutuhan akan lapangan kerja sangat strategis bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Itu mengapa banyak masyarakat daerah berlomba – lomba menuju Jakarta. Sebuah kota yang dianggap layak dan memberikan peluang mendapatkan kesempatan kerja lebih besar. Apalagi branding Jakarta dikenal sebagai pusat kota penuh keramaian, pusat ekonomi dan perdagangan nasional. Tidak heran, banyak masyarakat pedesaan bermimpi dapat bekerja di Jakarta.

Akibat serbuan pendatang, Jakarta semakin penuh menampung penduduk. Mereka datang mengadu nasib dan berharap kesejahteraan hidup semakin meningkat. Tapi, mimpi kadang tidak sesuai dengan kenyataan dimana kerasnya Jakarta membuat mereka terlempar. Jadilah pilihan hidup membuat mereka menyingkir ke pinggiran Jakarta. Kondisi ini mengundang masalah sosial baru seperti membludaknya pengangguran, kriminalitas dan rapuhnya tata pembangunan kota.

Menurut Kepala Dukcapil DKI Jakarta Purba Hutapea, jumlah pendatang baru pasca lebaran ke DKI Jakarta dalam kerangka perpindahan penduduk menunjukan trend yang menurun dihitung pada tahun 2003 sebanyak 204.830 orang, tahun 2004 sebanyak 190.356 orang, tahun 2005 sebanyak 180.767 orang, tahun 2006 sebanyak 124.427 orang, tahun 2007 sebanyak 109.617 orang, tahun 2008 sebanyak 88.473 orang, tahun 2009 sebanyak 69.554 orang, dan pada 2010 tercatat 59.215 orang. Tahun ini pendatang baru diperkirakan sebanyak kurang lebih 50.000 orang.

Jumlah itu menghasilkan masalah serius bagi kehidupan bermasyarakat masyarakat Jakarta. Kemiskinan dan pengangguran menghantui sebagai ekses “masyarakat baru” di Jakarta. Mengatasi masalah itu, pemerintah DKI Jakarta kembali memaksimalkan program transmigrasi. Tahun 2011 Pemprov DKI Jakarta mengirimkan 200 KK (800 jiwa) menjadi transmigran. Sasaran program adalah masyarakat wilayah kumuh, bantaran dan rel kereta api. Strategi ini sangat baik, apalagi mengingat data Disnaker DKI Jakarta yang menyebutkan, pada 2009 sebanyak 100 KK asal DKI Jakarta berhasil ditransmigrasikan ke Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Bengkulu dan Sulawesi Tenggara.

Dampak negatif

Mobilitas penduduk yang gemuk meninggalkan pekerjaan rumah besar. Jakarta mengalami ketimpangan antara daya tampung dan luas wilayah. Dampak lebih jauh, factor ini menghasilkan bahaya besar.

Pertama, munculnya kemiskinan kota. Jumlah penduduk Jakarta yang tersingkir semakin banyak. Mau tidak mau ini membawa konsekuensi logis tumbuhnya wilayah kumuh. Gejala ini sudah dapat dilihat di wilayah Kampung Melayu, Manggarai dan Pasar Senen. Sepanjang jauh mata memandang, kita akan menemukan kawasan kumuh terbentang. Berdasarkan Data Cipta karya, banyak ratusan kawasan kumuh di Jakarta.

Kemunculan pemukiman kumuh sangat rawan bagi perkembangan tata kota. Mereka membuat rumah di wilayah bantaran kali dan rel kereta api sehingga merusak tata indah perkotaan, rawan penyakit dan membahayakan perjalanan kereta api. Selain itu, permukiman kumuh dapat menghasilkan komunitas penduduk illegal seperti RT Bayangan pada kawasan kumuh Rawamangun.

Kedua, meningkatnya angka kriminalitas. Di tengah semakin sulitnya mencari lapangan pekerjaan, manusia mudah terbakar emosi. Tindakan kriminal akhirnya menjamur dan berkembang semakin liar. Masyarakat terus mendapat ancaman dan hantu pencopetan di bus kota, pembunuhan dan pemerkosaan dalam angkutan kota. Apalagi tingkat keamanan dan pengawasan kepolisian Daerah (Polda Metro Jaya) kadang tak sesuai harapan. Banyak aparat penegak hukum bertindak tegas kecuali jika ada laporan.

Berdasarkan data yang dirilis Polda Metro Jaya usai melakukan Operasi “Sikat Jaya 2011″. terdapat 182 kasus kejahatan dengan 259 tersangka, 208 sudah ditahan dan sisanya, 51 hanya dibina, 259 penjahat ditangkap di dalam angkutan umum. Operasi ini sendiri dilakukan selama dua pekan sejak 17 September hingga 30 September 2011

Ketiga meningkatnya pengangguran. Menurut data Disnakertrans Provinsi DKI Jakarta, jumlah pengangguran yang tercatat di DKI Jakarta pada 2010 mencapai 582.850. Dari data yang ia miliki, sepajang tahun 201, Jakarta memiliki 146.349 sektor usaha. Jumlah tersebut didominasi oleh sektor industri makanan yaitu sebanyak 39.676 atau 25,56 persen, sektor perdagangan sebesar 25.006 atau 17,09 persen, serta sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi sebanyak 17.517 atau 11,9 persen. Banyaknya perusahaan tidak menjamin rakyat Jakarta mendapatkan pekerjaan akibat minimnya keterampilan dan masih banyak perusahaan yang lebih suka memberikan porsi besar untuk tenaga atau SDM asing dibandingkan SDM Indonesia.

OYK : Kebijakan Setengah Hati

Mengatasi kemiskinan, pemerintah DKI Jakarta menerapkan kebijakan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK). Kegiatan “razia KTP” ini diharapkan dapat mengatasi membludaknya pendatang illegal. Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) ini direncanakan serentak di lima wilayah kota administrasi. Waktunya dilaksanakan tanggal 22 September 2011, 13 Oktober, dan 3 November 2011. Sasarannya terutama pada rumah kos, pemukiman padat sebagai kantong-kantong pendatang baru, daerah-daerah industri rumah tangga, dan apartemen.

Operasi ini sungguh bukan sebuah jawaban pas mengatasi masalah mobilitas penduduk. Seharusnya pemerintah DKI lebih bersikap bijak, meminta Pemerintah Pusat mengadakan pemerataan ekonomi di daerah-daerah Indonesia. Sehingga laju pendatang dapat ditekan. Bukan mempercantik Jakarta saja, sementara daerah lain masih dibiarkan tertinggal baik ekonomi, sosial, budaya dan lainnya.

Pemerintah Jakarta juga harus bergerak aktif membuat usaha kreatif. Jangan terus mengandalkan pameran kerja yang belum banyak menyerap tenaga kerja. Penataan pemukiman kumuh harus dilakukan secepatnya, termasuk membuat rumah murah yang dapat dijangkau harganya oleh rakyat. Nah, jika sudah begitu masyarakat akan selalu dihadapkan oleh situasi klasik yaitu mencari atau bertahan hidup di Jakarta, ini menurut saya. Bagaimana dengan anda?

Inggar Ash
*) Penulis adalah Peneliti Institute For Sustainable Reform (Insure)
Aktivis KAMMI Pusat

Comments System

Disqus Shortname