Monday, January 30, 2012

Ketika Politik Iran dan Syria bergolak, Siapakah dalangnya?


Arogansi global yang dipelopori AS dan Zionisme telah mencapai kebuntuan dalam konfrontasi dengan bangsa Islam Iran. Dan Syria pun tak pernah mempertaruhkan dukungannya kepada gerakan pembebasan Palestina untuk berdamai dengan Israel. Meskipun AS sudah banyak melakukan konspirasi dan tipu daya untuk memisahkan Syria dari gerakan perlawanan Islam di Palestina dan Lebanon.

Syria dan Iran adalah negara yang berbatasan langsung dengan Russia. Syria adalah jalan laut Russia ke Mediterania, dan oleh karena itu ke seluruh dunia dalam hal perdagangan antar bangsa. Sedangkan Iran, adalah akses Russia di Selatan, menuju Asia Selatan. Utara Russia adalah kutub utara, dimana lautnya beku, tidak mungkin Russia berdagang dengan media kapal selam. Sedangkan di Barat, Russia sudah diblok oleh Uni Eropa, dan Timur oleh Amerika Serikat. Negara-negara yang kini bisa berniaga dengan Russia adalah negara-negara bekas Soviet dan negara-negara di Selatan Russia, yaitu, Turmenistan, Kazakstan, dll. Russia telah mengaktifkan kembali Pangkalan Angkatan Laut/Naval Base di Tartus Syria. Aliansi Russia, Syria, Iran, Pakistan dan China telah terbentuk untuk menghadapi invasi Amerika dan Barat di Timur Tengah. Russia telah memberikan teknologi nuklir ke Iran, dan telah melakukan penjualan sistem pertahanan rudal anti rudal dan pesawat ke Iran, S-300 SAM Missiles pada 2010.

Aksi Amerika Serikat yang menduduki Irak, Afghanistan, Libya, dalam sudut pandang geopolitik adalah upaya Amerika untuk mengepung dan memblokade Russia dan China. Russia dan China adalah kekuatan besar yang selamat dari bencana PD2 yang diorkestrasikan oleh Sekutu. Jika dilihat dipeta, maka kenyataan itu jelas sekali. Sebuah garis blokade terbentang dari Eropa, Turki, Syria, Irak, Iran, Afghanistan, Pakistan dan India, mengepung Russia dan China.

Perlu diingat, jalur perdagangan dunia adalah jalur laut, bukan darat maupun udara, karena kita tidak bisa mengangkut jutaan ton komoditas melalui udara dan darat sekali jalan. Sehingga, kembali ke Russia dan China. Maka Iran, Syria, dan Pakistan adalah tanah terakhir Russia dan China untuk bertemu dengan negara-negara lain di bumi. Russia dan China tidak akan memperbolehkan siapapun untuk menguasai Syria, Iran dan Pakistan secara fisik melalui invasi militer maupun secara klandetin melalui revolusi dan pergantian rezim.





Politik Iran yang kembali memanas

LONDON - Kapal-kapal Inggris dan Perancis bergabung dengan kelompok kapal induk Amerika Serikat dalam armada enam kapal perang yang melewati perairan sensitif Selat Hormuz, kata Departemen Pertahanan Inggris Minggu (22/1/2012).

Kementerian itu mengatakan, satu kapal Angkatan Laut Kerajaan, HMS Argyll, merupakan bagian dari kelompok kapal induk yang dipimpin Amerika Serikat berlayar melalui Selat Hormuz, di mana Iran telah mengancam untuk menutup setelah tindakan Barat menjatuhkan sanksi-sanksi baru atas program nuklir Teheran.

Seorang juru bicara mengatakan, "HMS Argyll dan satu kapal Perancis bergabung dengan kelompok kapal induk AS transit melalui Selat Hormuz, untuk menggarisbawahi komitmen internasional tak tergoyahkan mereka dalam mempertahankan hak-hak berdasarkan hukum internasional."



Ia mengatakan, “Inggris mempertahankan kehadiran terus -menerus di wilayah itu sebagai bagian dari kontribusi abadi kita untuk keamanan Teluk".

Kapal perang Inggris telah berpatroli di Teluk terus menerus sejak tahun 1980-an. Selat Hormuz adalah rute transit utama untuk pasokan minyak global.

Para menteri luar negeri Uni Eropa bertemu di Brussels pada Senin yang diperkirakan setuju terhadap pemberian sanksi kepada Bank Sentral Iran dan mengumumkan embargo pembelian minyak Iran. , (KOMPAS.com)



Kondisi teluk Iran semakin panas, melihat roman-romannya Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) juga tidak akan membuka perang, mengapa mereka tidak membuka perang? Hal ini dapat secara jelas diprediksi bahwa kondisi ekonomi negara-negara AS dan UE mengalami kemerosotan jauh, krisis ekonomi dan beberapa negara hampir collaps. Keadaan ekonomi negara UE dan AS sangat tidak memungkinkan menyerang Iran. Sedangkan saat ini Iran sedang mengalami kebangkitan teknologi militer. Selain itu, fakta tentang pengembangan senjata nuklir Iran belum sepenuhnya terbukti dan bila ada sekutu AS menyerang Iran maka dikhawatirkan bahwa Cina dan Russia akan membantu Iran, karena Cina dan Russia memiliki tambang minyak dan industri ke-2 negara di Iran.

Sebelumnya, pemerintah Iran mengatakan, seorang ilmuwan nuklir negara itu, yaitu Mostafa Ahmadi Roshan tewas pada Rabu oleh sebuah bom magnet yang dilekatkan di mobilnya. Roshan merupakan ilmuwan nuklir ketiga Iran yang dibunuh dalam dua tahun terakhir. Seorang ilmuwan yang keempat selamat dari upaya pembunuhan serupa.

Atas pembunuhan tersebut, sejumlah ulama penting Iran menyalahkan CIA dan Mossad (Badan Intelijen Israel). “Kematian Roshan telah menunjukkan bahwa :arogansi global yang dipelopori AS dan Zionisme telah mencapai kebuntuan dalam konfrontasi dengan bangsa Islam Iran”, kata Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei pada Press TV.

Para pejabat Iran lainnya juga menuduh Israel dan Amerika Serikat sebagai dalang pembunuhan itu. Kedua negara itu telah menuduh Tehran sedang berupaya untuk membuat bom nuklir, sebuah tuduhan yang telah dibantah Iran. Iran mengatakan, program nuklirnya bertujuan untuk memproduksi energi sipil, bukan senjata.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, secara kategoris telah membantah keterlibatan AS dalam serangan itu. Namun Hillary mendesak Iran untuk menghentikan upayanya membuat bom nuklir.

Para analis memprediksi, situasi politik di Iran bisa semakin panas menyusul sikap keras Mousavi dan Karroubi yang menolak keberadaan komite khusus hasil bentukan Dewan Garda yang semula dimaksudkan sebagai jalan tengah di antara tuntutan dua kubu yang sama-sama keras. Mousavi menuntut pemilu presiden diulang, sementara pemerintah yang memutuskan pemilu presiden 12 Juni lalu sebagai pemilu yang sah.

Aparat keamanan dan Basij masih juga kecolongan ketika sekitar 3.000 pendukung Mousavi, Minggu sore lalu, menggelar unjuk rasa di dekat Masjid Quba' di Teheran Utara. Berkerumunnya para pendukung Mousavi di Masjid Quba' itu adalah dalam rangka memperingati tewasnya Ketua Mahkamah Agung Iran Ayatollah Bahesti bersama 72 anggota parlemen dan pejabat tinggi Iran lainnya dalam sebuah serangan bom bunuh diri di gedung parlemen Iran pada 28 Juni 1981. Diberitakan sedikitnya lima pengunjuk rasa mengalami luka-luka setelah bentrok dengan milisi Basij. Televisi milik Pemerintah Iran memberitakan, aparat keamanan membebaskan sebagian anggota staf kedutaan Inggris di Teheran yang ditahan Sabtu lalu. Namun, sebagian lain lagi masih ditahan.

Pemerintah Iran menuduh anggota staf kedutaan Inggris itu ikut berperan dalam aksi kerusuhan di Teheran pasca-pemilu presiden tanggal 12 Juni.Semua masjid besar di Iran kini dijaga ketat menyusul kerusuhan pasca-pemilu pada 12 Juni lalu dan aksi serangan bunuh diri di kompleks Mausoleum Imam Khomeini di Teheran pada 2 Juni lalu, yang menewaskan pelaku serangan bunuh diri itu dan melukai dua orang lainnya.



Di kota Qom, delegasi parlemen dan Kementerian Dalam Negeri Iran hari Minggu lalu mengadakan rangkaian pertemuan dengan sejumlah mullah (ulama) besar bergelar Ayatollah, untuk meminta pendapat mereka tentang solusi krisis politik di Iran saat ini.



Syria dan Politik Internalnya



Syria adalah negara heterogen dari sisi kependudukannya yang terdiri atas berbagai etnis dan madzhab atau agama. Puluhan tahun, rakyat Syria baik yang Muslim dengan madzhab Ahlussunnah, Syiah, Alawi, atau Ismailiyah, maupun Kristen dan Druze hidup berdampingan dengan damai. Pluralitas masyarakat dan toleransi kuat yang ada di sana menempatkan Syria sebagai negara yang terdepan di antara negara-negara Islam. Sayangnya, sama dengan kebanyakan negara Arab lainnya, sejak merdeka, Syria tidak mengalami perkembangan politik yang semestinya. Sejak naiknya Hafez Assad dan partai Baath ke tampuk kekuasaan, negara itu menjalankan sistem partai tunggal, dan hal inilah yang memicu lahirnya gelombang ketidakpuasan dan demonstrasi dalam beberapa bulan terakhir.

Hafez Assad maupun putranya, Bashar Assad menjalankan pemerintahan yang khas dan berbeda dengan negara-negara Arab Timur Tengah pada umumnya. Dalam memerintah, Hafez Assad memegang keyakinan dan prinsip-prinsipnya, dan sampai wafat, dia tetap setia dengan apa yang diyakininya. Prinsip-prinsip yang sama juga dipegang kuat oleh penerusnya, Bashar Assad. Salah satu prinsip yang dipegang kuat oleh kedua pemimpin Syria ini adalah prinsip melawan Rezim Zionis Israel dan tak kenal kata damai dengan rezim pendudukan. Dengan adanya prinsip ini, Syria menjadi basis kekuatan kubu-kubu perjuangan Palestina setelah sejumlah rezim Arab, baik secara terbuka maupun tertutup, menjalin kontak damai dengan Rezim Zionis.

Di beberapa kota Syria, warga menggelar aksi demo yang menuntut perubahan kondisi politik dan sosial. Sayangnya, pemerintah Damaskus kurang bijak dalam menanggapi aksi protes ini. Akibatnya, tercipta peluang bagi kubu-kubu pembangkang anti-rezim yang didukung kuat oleh Barat untuk memakai senjata. Bentrokan bersenjata pun tak bisa dihindari yang semakin menambah rumit krisis. Ratusan orang tewas dalam beberapa bulan terakhir. Di luar negeri, kubu pembangkang membentuk aliansi oposisi dengan dukungan negara-negara Barat. Dengan cara itu, Syria dihadapkan pada tekanan asing. Tak hanya Barat, negara-negara Arab seperti Qatar dan Arab Saudi bersama Turki juga ikut menekan.

Aliansi oposisi Syria tidak memiliki esensi, program dan kombinasi yang jelas. Tidak jelas pula apa yang mereka inginkan. Hal itu menunjukkan bahwa yang sebenarnya terjadi tak lain adalah upaya Barat untuk menekan Damaskus. Al-Hayat juga menyinggung adanya atmosfir ketidakpercayaan di antara aliansi oposisi anti-rezim Syria. Mereka memang sama-sama menghendaki tumbangnya pemerintahan yang ada. Tapi tak ada kata sepakat mengenai bagaimana cara menjatuhkan pemerintahan ini. Dalam kondisi seperti ini, sulit untuk berbicara soal demokrasi apalagi pelengseran rezim.

Kelompok radikal di Syria saat ini gencar menebar isu-isu fitnah yang menargetkan perpecahan di tengah warga. Lewat corong-corong media yang dimilikinya, kelompok ini nampaknya berusaha menyulut perang partisan di sana. Perang propaganda benar-benar terjadi dengan keterlibatan media Barat dan sejumlah media massa regional yang pasti, Barat tidak peduli dengan masalah penegakan demokrasi di Syria. Barat hanya ingin mengobati luka akibat tumbangnya rezim-rezim dependen di Tunisia, Libya, dan Mesir.

Pemerintah AS, Barat, dan negara-negara dependen di kawasan seperti Arab Saudi dan Qatar berharap apa yang terjadi di Syria bisa melemahkan basis perjuangan Islam Palestina dan Lebanon. Aliansi anti Syria ini berusaha keras menciptakan konsensus dunia untuk menekan Syria. Jika itu tercapai, negara ini bisa dijatuhi berbagai macam sanksi ekonomi dan politik. Hanya saja, sampai saat ini, upaya AS dan sekutu-sekutunya tak membuahkan hasil yang diinginkan karena sikap penentangan Rusia dan Cina di forum PBB. Singkatnya, transformasi yang terjadi di Suriah memang tak bisa dilepaskan dari kondisi internal negara itu. Tapi kondisi di sana semakin tidak menentu dengan adanya intervensi dari Amerika, Barat dan sejumlah negara dependen. # Desi Zoehriyah -dari berbagai sumber

Comments System

Disqus Shortname