Thursday, January 19, 2012

Dilema Kebijakan Rokok

Sumber: Koran Jakarta, 8 Juni 2011
Judul : Hukum dan Ancaman Keberlangsungan Industri Rokok
Peresensi: Ali Rif’an
Penyunting : Zamhuri
Penerbit : Prodi Magister Ilmu Hukum UMK dan LS2B Sumur Tolak Kudus
Tahun : I, Februari 2011
Tebal : 145 halaman
Kebijakan tentang rokok selalu mendatangkan polemik. Pro dan kontra pun sering terjadi. Kalangan antirokok misalnya, menginginkan agar rokok segera dibumihanguskan dari negeri pertiwi. Alasannya, rokok tidak memiliki manfaat sedikit pun.

Rokok justru merusak kesehatan, mengempeskan kantong, membuat orang ketagihan, dan mengganggu kenyamanan publik. Karena itu, pemerintah melalui Undang-Undang Kesehatan kemudian mencoba membatasi ruang gerak industri rokok. UU Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 113 misalnya, menyebutkan bahwa rokok telah dimasukkan sebagai zat adiktif, dan Pasal 115 menetapkan tentang pembatasan area merokok serta iklan rokok.
Di sisi lain, industri rokok justru dimasukkan sebagai salah satu kategori dari 10 industri prioritas negara, dengan target penerimaan cukai yang setiap tahun terus dinaikkan. Bayangkan saja, pada 2010 rokok menyumbang cukai sebesar 57 triliun rupiah. Di sinilah kebijakan rokok menuai sebuah dilema. Banyak yang bilang, produk hukum terkait kebijakan rokok terkesan bermuka dua. Pemerintah terkesan cari aman.
Alasannya, jika industri rokok dikurangi atau dihilangkan, maka para petani tembakau akan gulung tikar dan kehilangan mata pencaharian. Alasan selanjutnya yakni industri rokok telah menyumbang banyak lapangan pekerjaan. Bisa dibayangkan jika industri rokok ini tiba-tiba ditutup.
Buku berjudul Hukum dan Ancaman Keberlangsungan Industri Rokok ini penting untuk dibaca. Di dalamnya memuat gagasan diskursif oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan atau pun “kebakaran jenggot” dengan kebijakan rokok.
Jika ditelisik, paparan para elemen masyarakat di atas terasa memberi siraman kepada para pembaca ihwal polemik kebijakan rokok secara lebih komprehensif. Sebab, dalam memahami rokok, banyak masyarakat kita masih cenderung parsial dan emosional. Karena itu, buku ini mewakili sebagian ketegangan perbincangan terkait rokok. Pun telisik wacana politik-hukum rokok yang dianggap mengancam keberlangsungan industri rokok.
Hingga saat ini, pemerintah belum mampu mengambil kebijakan (policy) yang bisa menciptakan kebajikan (wisdom) bagi semua pihak. Regulasi yang ada belum dapat mengintegrasikan kepentingan negara dengan pelbagai kelompok masyarakat. Justru rakyat dibuat bingung dengan kebijakan-kebijakan rokok yang terkesan setengah hati dan cenderung politis. Seharusnya, pengendalian tembakau bukanlah berpamrih untuk mematikan industri atau petani rokok, tetapi politik pengendalian tembakau bertujuan melindungi masyarakat dari kerusakan akibat konsumsi dan paparan asap tembakau. Karenanya, peredaran rokok perlu dibatasi dan dikontrol secara ketat.
Tak pelak, jika sekarang terjadi sebuah paradoks terhadap fungsi cukai itu sendiri. Jika kita sadar, cukai pada dasarnya adalah pajak dosa (sin tax) yang dikenakan terhadap produk-produk yang bisa menimbulkan dampak ekstralitas atau candu. Tetapi, faktanya cukai justru dimanfaatkan negara sebagai pintu pendapatan yang menggairahkan. Cukai bukan lagi berfungsi mengendalikan peredaran produk-produk yang memang pemakaiannya musti dibatasi. Ini tentu menyedihkan!
Peresensi adalah Ali Rif’an, Peneliti The Dewantara Institute; Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Comments System

Disqus Shortname