Inspirasi – Menurut Chris Barker, feminisme adalah bidang teori dan politik yang plural dengan berbagai perspektif dan rumusan aksi yang saling bersaing. Secara umum bisa dikatakan bahwa feminisme melihat seks/kelamin sebagai sebuah sumbu organisasi sosial yang fundamental dan tak bisa direduksi yang sampai saat ini telah menempatkan perempuan di bawah lelaki. Dengan demikian, perhatian utama feminisme adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip pengaturan kehidupan sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan. Para feminis melihat bahwa patriarki tersebut bersifat struktural bersamaan dengan makna-makna turunannya tentang keluarga yang dipimpin lelaki, penguasaan, dan superioritasnya. Feminisme adalah suatu pergerakan yang berupaya membangun strategi politik untuk mencampuri kehidupan sosial demi kepentingan perempuan.
Memahami feminisme memang masih sulit, utamanya dalam konteks ke-Indonesiaan.
Terdapat kendala epistemologis, yakni terjebaknya pada kenyataan masuknya feminisme Timur kedalam logika feminisme Barat lebih rumit dibandingkan dengan titik temunya, hal ini dikarenakan oleh sudah lebih kuatnya liberalisasi kapitalis Barat yang cenderung sekular, bersanding dengan khas ketimuran yang beradab, santun, dan bahkan dalam nuansa tertentu perempuan di dunia timur masih hidup dalam perangkap feodalisme warisan masa lalu yang hingga hari ini belum bisa ditembus. Karena konteks Barat dan Timur yang menganga lebar itulah sebagian perempuan Timur menganggap Barat itu adalah pusat kehancuran serta pusat kanibalisme. Kontruksi sosial budaya Timur yang tidak sesuai dengan kontruksi sosial budaya Barat.
Perempuan dalam berbagai ruang merupakan pusat objektivikasi diri, perempuan adalah suatu entitas, individu, komunitas dan lebih dari itu semua adalah makhluk yang bebas. Sama halnya dengan laki-laki, bahwa kebebasan perempuan adalah merupakan suatu kepentingan tersendiri yang tak bisa dihindarkan dari pengaruh dan dari pandangan kemanusiaan di luar itu.
Kebebasan akan hak itulah yang mendorong sebagian pemikir liberal itu untuk tetap menekan laju pertumbuhan kesetaraan secara linier. Sebagai sebuah gerakan yang melabrak semua pembatas atas kebebasan perempuan, maka feminis liberal tidak mengharapkan adanya batasan-batasan dalam masyarakat. Menghancurkan pembatas sosial, baik itu tradisi atau apa saja yang tidak membuka ruang kesederajatan antara laki-laki dan perempuan, antara modal dan perempuan, antara kekuasaan dan perempuan, maka semua itu adalah musuh yang harus dilabrak agar tetap ada ruang bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingan, hak dan apa saja yang berkaitan dengan kebutuhan mereka.
Apa Itu Feminisme Profetik
Manusia adalah individu yang bebas, dilahirkan tanpa keterikatan apa pun dengan dunia mereka. Disinilah peran agama sebagai pusat mitologi yang mengajarkan kesederajatan antara manusia agar yang satu tidak membinasakan yang lain dengan cara-cara sewenang-wenang, serta tidak mengeksploitasi yang lemah. Disinilah Allah memberikan derajat kemanusiaan yang tinggi kepada hambanya yang bernama manusia, agar mampu mengartikulasikan kehendak mereka secara bebas tanpa harus terikat pada sistem sosial apa pun, kecuali kepada aturan-aturan Allah.
Ditengah komunitas sosial itu, Islam tetap menganjurkan manusia agar tetap pada pendirian awal sebelum ia menyentuh bumi, yaitu ketika perjanjiannya dengan Allah pada saat roh ditiupkan ke dalam jasad yang berevolusi untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan berpegang teguh pada perangkat agama yaitu Al-Qur’an. Dari sanalah, bahwa perjanjian yang dibangun itu adalah merupakan bentuk betapa manusia itu lahir dalam keadaan tidak tersentuh oleh dunia material yang didalamnya penuh dengan nafsu-nafsu kekuasaan.
Feminisme Profetik merupakan perangkat pengetahuan yang dibangun di atas kesamaan dan kesederajatan antara berbagai dimensi ruang dan waktu, sehingga dengan dimensi ruang dan waktu itu, kita memberikan dorongan bagi perubahan sosial dalam masyarakat. Suatu gerakan dengan bagaimana Tuhan ditempatkan di alam logos untuk mengatur segala pernak-pernik kemanusiaan. Harapan itu sekaligus untuk menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan sebagai manusia biasa dalam dimensi-dimensi sosial dengan tetap menjunjung tinggi kodrat masing-masing.
Feminisme Profetik juga diharapkan mampu mengambil pijakan-pijakan utama dari Al-Qur’an, pijakan untuk mendorong supaya gerakan perempuan lebih mampu menjawab tantangan teologis Barat. Al-Qur’an merupakan dasar utama dari pengembangan wacana feminisme profetik ini, dan ayat-ayat tentang perempuan begitu banyak dalam Al-Qur’an. Kesewenang-wenangan sejarah di Barat adalah karena agama tidak dilibatkan dalam proses pembebasan kemanusiaan terutama dalam perjuangan perempuan untuk bebas dari kehendak-kehendak materialisme kapital.
Feminisme Profetik ingin melakukan proses humanisasi sampai sejauh manakah proses transendensi ini berlangsung dalam ranah sosial, politik, kultural dan yang juga penting adalah modal dan kekuasaan, sehingga tidak terjadi manipulasi kesadaraan yang transendentif bagi perubahan sosial.
Ditegah pergulatan sosial itu, ditengah proses dehumanisasi yang menjelma menjadi kekuatan penindas itu. Rasulullah SAW melakukan perlawanan sistemik atas dehumanisasi, deklarasi kemanusiaan, manifesto perlawanan, teriakan untuk membebaskan belenggu-belenggu keterpasungan itu menjadi sebuah tontonan yang merobek-robek kemapanan feodalisme pada saat itu.
Artikulasi kemanusiaan Rasulullah dalam konteks itu adalah bagaimana menciptakan suasana kesetaraan, keadilan dan kebebasan bagi perempuan, bahwa perempuan adalah pusat terbangunnya antroposentrisme kebudayaan yang berakhlak, karena dari sanalah warisan sejarah akan mengalami masa yang berkelanjutan.
Kelanjutan moralitas sejarah dan peradaban hanya akan ditentukan oleh perempuan, maka membebaskan perempuan dari belenggu keterpasungan, perbudakan, pelacuran dan pemusnahan nilai-nilai adalah penting dilakukan agar proses yang berjalan tidak mengalami resistensi dengan nilai, dengan peradaban dan yang lebih penting lagi di atas segalanya adalah teologi. Rasulullah melawan kemapanan konstruksi sosial masyarakat Arab Jahiliyah yang merupakan awal genealogis yang paling penting untuk melihat betapa teologi Islam mengharuskan manusia itu sederajat dan memiliki posisi sosial yang sama.
Perempuan harus keluar dari proses indoktrinasi kapitalis-liberal, harus keluar dari determinisme ideologi materialis dan pemikiran feminisme yang lahir dari rahim materialis itu, lalu menuju pada feminisme profetik, feminisme yang dekat pada konteks kenabian dan feminisme yang tetap mendekatkan diri pada nilai-nilai kebudayaan, dan pada Tuhan.
Sampai dititik inilah agar pembebasan yang dilakukan oleh perempuan harus bertumpu pada wacana ini, harus membuka kembali lembaran-lembaran sejarah masa lalu, harus kembali lembaran-lembaran sejarah masa lalu, harus kembali pada konteks sosial masa Rasulullah, supaya tidak terjebak pada tipuan-tipuan kapitalisme dan tipuan kebebasan yang sangat liberal dari Barat. (DZ)
*diringkas dari Buku berjudul "Feminisme Profetik" karya Asmaeny Azis.