Oleh: Renny Widyanti
Aku selalu bahagia
Saat
hujan turun
Karena
dapat mengenangmu
Untukku
sendiri hoo… ooh..
Tombol Repeat terlihat menyala pada pemutar
musikku. Lagu yang sekarang ini sedang kudengarkan sudah berulang kali
kudengarkan disaat yang sama. Punya suatu kenangan bersama orang yang disayang memang
tiada duanya. Otak ini seperti sudah di kuasai oleh dirinya. Jatuh cinta,
memang indah dan aku yakin Dewi Fortuna
mempunyai alasan kenapa saat itu kami dipertemukan. Cuaca diluar pun membuatku
semakin merindukan lelaki bermata sipit itu.
Kerumunan awan hitam
yang sedari tadi seperti mengikutiku akhirnya menumpah seluruh isinya. Seketika
kupercepat langkah ini bersamaan dengan sorotan mataku melihat sekeliling
mencari tempat yang bisa menjadi tempat berteduh. Gotcha! Ada sebuah warung kosong yang terbuat dari bilik bambu
dibawah sebuah pohon yang cukup besar. Tanpa pikir panjang segera kulangkahkan
kaki ini ke tempat itu. ternyata tak sekecil perkiraanku, bilik yang cukup
kokoh ini bisa melindungiku dari hujan plus
cipratan-nya yang kadang membuatku
kesal.
Jam tanganku sudah
menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit dan aku sudah menunggu sekitar satu
jam lebih di gubuk tua ini. Langit
semakin gelap dan ketakutan semakin menyelimutiku. Coba saja tadi aku pulang
lebih awal tanpa harus nimbrung
bersama geng rumpi dan yang
terpenting tidak melewati jalan ini! Kali ini rasa penasaranku tidak berbanding
lurus dengan cuaca hari ini. Harusnya aku memperkiraan itu sejak awal. “Dasar Eva bodoh!”, Makiku sendiri.
Imajinasiku semakin
menjadi-jadi, memikirkan sesuatu yang sebenarnya belum tentu terjadi. Mata dan
telinga ini menjadi lebih sensitive pada setiap pandangan dan suara
disekitarku.
Prok…
prok… prok…
Terdengar suara langkah
kaki dengan irama teratur. Semakin lama terdengar semakin jelas dan suara itu
semakin mendekat. Takut, penasaran, dan ingin teriak bercampur menjadi satu.
Rasanya ingin lari sekencang-kencangnya tapi kaki ini tidak sanggup untuk
melangkah. Tas yang sejak tadi berada dipelukanku ku dekap lebih erat dan ku
tenggelamkan kepala ini ke dalamnya.
“Numpang neduh ya”,
tiba-tiba terdengar suara dengan intonasi pelan serasa berada didepanku. Sontak
hal itu membuatku menjerit histeris ketakutan.
“Mbak… mbak kenapa?”
“Saya gak ganggu, saya
gak ada maksud ganggu… saya cuma mau numpang neduh aja. Ampun”
“Mbak ini kenapa? Saya
juga mau numpang neduh disini”
Mendengar pernyataan
itu dengan keberanian tinggi ku dongakkan kepala ini untuk melihat siapa
pemilik suara itu. God! Orang yang
membuatku takut setengah mati ternyata terlihat seperti pangeran pada cerita
dongeng yang pernah diceritakan Ibu saat aku duduk di bangku TK. Lelaki dengan
perawakan tinggi besar, mungkin lebih tepatnya gagah. Memakai kemeja berwarna
biru telor asin bergaris horizontal
putih yang dipadukan dengan celana bahan hitam dan sepatu pantopel. Dadanya
yang bidang sangat terlihat karena pakaian yang dikenakannya basah kuyup dan rambutnya yang basah
membuatnya terlihat lebih macho!
Singkat cerita lelaki itu
bernama Dimas, ia bekerja di agensi periklanan yang kantornya di gedung yang
sama dengan kantorku, tepatnya dia di lantai 2 sedangkan aku di lantai 5.
“Mbak kok bisa ada
disini?”
“Niatnya sih pengen
lebih cepet, katanya kalau lewat sini jauh lebih dekat dibandingkan lewat jalan
besar. Mas sendiri?”
“Saya juga sama mbak,
ngejar waktu juga pengen cepet-cepet sampe kontrakan mau ngerjain deadline project”
“Oh gitu jadi tertunda
dong ya. Terus kenapa motornya didorong mas? Mogok?”
“Iya hehe… gak mbak
kayanya kehabisan bensin. Soalnya pagi tadi saya lupa isi bensin”
Percakapan yang awalnya
canggung mengalir begitu saja sampai tak terasa hujan sudah mulai reda dan
akhirnya berhenti. Aku yang tak tega melihat lelaki gagah itu mendorong motor
besarnya itu seorang diri maka aku menawarkan diri untuk membantunya. Meskipun
sempat menolak namun akhirnya Dimas menerima tawaranku. Setelah mengisi penuh
tangki bensinnya lelaki itu mengantarkan ku pulang.
“Makasih ya mas jadi
ngerepotin kan ujung-ujungnya”
“Gak kok mbak,
itung-itung ucapan terima kasih udah bantu dorong sampe pom bensin. Kebetulan
searah juga”
“Oh arah sini juga?”
“Iya mbak itu di
kontrakan pak RW. Oh iya mbak ini kartu nama saya, siapa tau nanti bisa pulang
bareng lagi”
Kaget bercampur tak
percaya dengan yang baru saja diberikan lelaki yang baru ku kenal. Sebuah kartu
nama lelaki yang bernama lengkap Dimas
Prasetyo ada padaku. Setelah berpamitan aku segera masuk kedalam rumah dan
langsung menuju ke kamar. Ku bantingkan badan ini diatas kasur melepaskan semua
kepenatan hari ini. Sekali lagi ku perhatikan kartu nama berwarna orange itu.
Tak begitu ingat
bagaimana ceritanya hingga kini kami menjadi semakin dekat dan pada akhirnya
beberapa hari yang lalu ia menyatakan cintanya padaku sesaat setelah mengajakku
makan malam diluar. Malam itu disebuah rumah makan siap saji yang berada tak
jauh dari kantor kami serta hujan diluar sana yang menjadi saksi. Sejak saat
itu lagu Utopia – Hujan menjadi lagu
favoritku.
“Yes sebentar lagi
hujan”, Ucapku girang melihat langit dari bingkai jendela kantor.
“Kayanya seneng banget
lo setiap mau hujan, Va?”, Tanya Sisil teman satu ruanganku yang aneh melihat
tingkahku.
“Iya dong, hujan kan
punya cerita romantic tentang aku dan Dimas”
“Wooooo… Pantes aja.
Kalau hujan terus bisa bisa banjir nih”
“Berdoa aja biar gak
banjir, Sil. Biasanya kan doa orang jomblo
cepet dikabulinnya”
“Ngeledek deh
mentang-mentang udah punya Dimas”
Canda antara aku dan
Sisil berhasil membuat suasana yang sebelumnya dingin menjadi hangat.
Sepertinya sampai kapan pun hujan menjadi sebuah reminder tentang kenangan-kenanganku bersama Dimas, lelaki yang ku
kenal karena hujan. Lelaki yang ku sayangi seperti rintikan hujan yang turun ke
bumi, tak terhingga rasanya.