Sunday, February 9, 2014

Aku, Kau & Hujan


                                                               Oleh: Renny Widyanti



Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena dapat mengenangmu
Untukku sendiri hoo… ooh..

Tombol Repeat terlihat menyala pada pemutar musikku. Lagu yang sekarang ini sedang kudengarkan sudah berulang kali kudengarkan disaat yang sama. Punya suatu kenangan bersama orang yang disayang memang tiada duanya. Otak ini seperti sudah di kuasai oleh dirinya. Jatuh cinta, memang indah dan aku yakin Dewi Fortuna mempunyai alasan kenapa saat itu kami dipertemukan. Cuaca diluar pun membuatku semakin merindukan lelaki bermata sipit itu.

Kerumunan awan hitam yang sedari tadi seperti mengikutiku akhirnya menumpah seluruh isinya. Seketika kupercepat langkah ini bersamaan dengan sorotan mataku melihat sekeliling mencari tempat yang bisa menjadi tempat berteduh. Gotcha! Ada sebuah warung kosong yang terbuat dari bilik bambu dibawah sebuah pohon yang cukup besar. Tanpa pikir panjang segera kulangkahkan kaki ini ke tempat itu. ternyata tak sekecil perkiraanku, bilik yang cukup kokoh ini bisa melindungiku dari hujan plus cipratan-nya yang kadang membuatku kesal.

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit dan aku sudah menunggu sekitar satu jam lebih di gubuk tua ini. Langit semakin gelap dan ketakutan semakin menyelimutiku. Coba saja tadi aku pulang lebih awal tanpa harus nimbrung bersama geng rumpi dan yang terpenting tidak melewati jalan ini! Kali ini rasa penasaranku tidak berbanding lurus dengan cuaca hari ini. Harusnya aku memperkiraan itu sejak awal.  “Dasar Eva bodoh!”, Makiku sendiri.

Imajinasiku semakin menjadi-jadi, memikirkan sesuatu yang sebenarnya belum tentu terjadi. Mata dan telinga ini menjadi lebih sensitive pada setiap pandangan dan suara disekitarku.
Prok… prok… prok…
Terdengar suara langkah kaki dengan irama teratur. Semakin lama terdengar semakin jelas dan suara itu semakin mendekat. Takut, penasaran, dan ingin teriak bercampur menjadi satu. Rasanya ingin lari sekencang-kencangnya tapi kaki ini tidak sanggup untuk melangkah. Tas yang sejak tadi berada dipelukanku ku dekap lebih erat dan ku tenggelamkan kepala ini ke dalamnya.
“Numpang neduh ya”, tiba-tiba terdengar suara dengan intonasi pelan serasa berada didepanku. Sontak hal itu membuatku menjerit histeris ketakutan.
“Mbak… mbak kenapa?”
“Saya gak ganggu, saya gak ada maksud ganggu… saya cuma mau numpang neduh aja. Ampun”
“Mbak ini kenapa? Saya juga mau numpang neduh disini”
Mendengar pernyataan itu dengan keberanian tinggi ku dongakkan kepala ini untuk melihat siapa pemilik suara itu. God! Orang yang membuatku takut setengah mati ternyata terlihat seperti pangeran pada cerita dongeng yang pernah diceritakan Ibu saat aku duduk di bangku TK. Lelaki dengan perawakan tinggi besar, mungkin lebih tepatnya gagah. Memakai kemeja berwarna biru telor asin bergaris horizontal putih yang dipadukan dengan celana bahan hitam dan sepatu pantopel. Dadanya yang bidang sangat terlihat karena pakaian yang dikenakannya basah kuyup dan rambutnya yang basah membuatnya terlihat lebih macho!

Singkat cerita lelaki itu bernama Dimas, ia bekerja di agensi periklanan yang kantornya di gedung yang sama dengan kantorku, tepatnya dia di lantai 2 sedangkan aku di lantai 5.
“Mbak kok bisa ada disini?”
“Niatnya sih pengen lebih cepet, katanya kalau lewat sini jauh lebih dekat dibandingkan lewat jalan besar. Mas sendiri?”
“Saya juga sama mbak, ngejar waktu juga pengen cepet-cepet sampe kontrakan mau ngerjain deadline project
“Oh gitu jadi tertunda dong ya. Terus kenapa motornya didorong mas? Mogok?”
“Iya hehe… gak mbak kayanya kehabisan bensin. Soalnya pagi tadi saya lupa isi bensin”
Percakapan yang awalnya canggung mengalir begitu saja sampai tak terasa hujan sudah mulai reda dan akhirnya berhenti. Aku yang tak tega melihat lelaki gagah itu mendorong motor besarnya itu seorang diri maka aku menawarkan diri untuk membantunya. Meskipun sempat menolak namun akhirnya Dimas menerima tawaranku. Setelah mengisi penuh tangki bensinnya lelaki itu mengantarkan ku pulang.
“Makasih ya mas jadi ngerepotin kan ujung-ujungnya”
“Gak kok mbak, itung-itung ucapan terima kasih udah bantu dorong sampe pom bensin. Kebetulan searah juga”
“Oh arah sini juga?”
“Iya mbak itu di kontrakan pak RW. Oh iya mbak ini kartu nama saya, siapa tau nanti bisa pulang bareng lagi”
Kaget bercampur tak percaya dengan yang baru saja diberikan lelaki yang baru ku kenal. Sebuah kartu nama lelaki yang bernama lengkap Dimas Prasetyo ada padaku. Setelah berpamitan aku segera masuk kedalam rumah dan langsung menuju ke kamar. Ku bantingkan badan ini diatas kasur melepaskan semua kepenatan hari ini. Sekali lagi ku perhatikan kartu nama berwarna orange itu.

Tak begitu ingat bagaimana ceritanya hingga kini kami menjadi semakin dekat dan pada akhirnya beberapa hari yang lalu ia menyatakan cintanya padaku sesaat setelah mengajakku makan malam diluar. Malam itu disebuah rumah makan siap saji yang berada tak jauh dari kantor kami serta hujan diluar sana yang menjadi saksi. Sejak saat itu lagu Utopia – Hujan menjadi lagu favoritku.
“Yes sebentar lagi hujan”, Ucapku girang melihat langit dari bingkai jendela kantor.
“Kayanya seneng banget lo setiap mau hujan, Va?”, Tanya Sisil teman satu ruanganku yang aneh melihat tingkahku.
“Iya dong, hujan kan punya cerita romantic tentang aku dan Dimas”
“Wooooo… Pantes aja. Kalau hujan terus bisa bisa banjir nih”
“Berdoa aja biar gak banjir, Sil. Biasanya kan doa orang jomblo cepet dikabulinnya”
“Ngeledek deh mentang-mentang udah punya Dimas”
Canda antara aku dan Sisil berhasil membuat suasana yang sebelumnya dingin menjadi hangat. Sepertinya sampai kapan pun hujan menjadi sebuah reminder tentang kenangan-kenanganku bersama Dimas, lelaki yang ku kenal karena hujan. Lelaki yang ku sayangi seperti rintikan hujan yang turun ke bumi, tak terhingga rasanya.

Comments System

Disqus Shortname