Menyusuri tiap ruas jalan melewati tiap perempatan menuju pusat cagar alam atau yang banyak dikenal dengan sebutan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Pancoran Mas, Depok, ternyata akses menuju lokasi tersebut cukup mudah dijangkau terbukti dengan banyaknya alat transportasi yang tersedia disana seperti kereta api, becak, sampai dengan angkutan umum.Biaya untuk menuju lokasi tersebut sangat terjangkau jika menggunakan kereta api ekonomi cukup dengan Rp 1.500,. saja, jika naik angkutan umum cukup dengan dua kali naik angkot dengan total Rp 4.000,. kemudian disusul dengan menaiki becak yang banyak mangkal tidak jauh dari kawasan tahura.
Dengan luas 6 hektare, area cagar alam ini cukup diminati para peneliti dan mahasiswa yang sedang melakukan riset disana. Banyak sekali jenis tumbuhan terutama pepohonan yang yang menarik untuk diteliti dan juga ada beberapa satwa yang dapat diamati seperti reptile dan burung. Namun.. Pak Dzaini mulai berkisah “kini burung sudah banyak berkurang akibat penangkapan liar yang dilakukan sejak tahun 90’an, ada beberapa warga yang iseng memasang perangkap kemudian setelah burung itu berhasil ditangkap mereka jual ke pasar, kebiasaan buruk ini berlangsung hingga kini”. “Bahkan dahulu juga sering terjadi penjarahan bambu, tapi sekarang sudah tidak lagi”, ungkap pria itu. Area ini juga banyak dikunjungi kalangan akademisi seperti mahasiswa dan anak-anak SMA, “ada yang melakukan riset dan ada juga yang menanam pohon”. Kondisi tahura kini terlihat amat sangat memprihatinkan, sampah bertebaran di sepanjang sisi pembatas antara pagar dengan kawasan hutan. Sama sekali tak ada jalan setapak kala melangkahkan kaki menyusuri hutan yang lebih dikenal sebagai labolatorium kota yang dulunya merupakan warisan seseorang yang bernama Cornellis Castellein. Beliau merupakan pria berkebangsaan belanda.
Dahulu banyak sekali
dijumpai monyet ekor panjang, namun amat disayangkan saat ini tak dapat
dijumpai satupun. Muhammad dzaini mengungkapkan bahwa hanya ada dua orang
petugas yang ditugaskan merawat kawasan cagar alam ini, yakni dia beserta
temannya. Dia mengaku hanya diberi uang rokok untuk pengabdianya selama ini.
Jarang sekali pemerintah yang hanya sekedar menengok kawasan ini pun tidak sama
sekali. “Mungkin lebh baik kawasan ini dikelola oleh swasta agar kembali hidup
dan terawat” tegas pria paruh baya ini.
Beberapa warga mengaku
sangat senang pemukiman mereka berdekatan dengan cagar alam bahkan ada diantara
mereka yang turut menanam tanaman obat dan buah-buahan. “Memang disini dilarang
untuk menanam tanaman, tapi yaa kita kan juga kepengen punya halaman berhubung
gak ada lahan yaudah kita nanem di cagar alam saja” ungkap Zaina yang mengaku
tinggal di area cagar alam tersebut semenjak tahun 1963 hingga kini.
Ada
Mitos di Tahura
“Meliuk-liuk
mengelilingi cagar alam, sosoknya menyerupai manusia setengah ular. Parasnya
cantik seperti perempuan tetapi saat dilihat kebawah ternyata panjang dan
bersisik seperti ular” ungkap salah satu warga pendatang yang mengaku pernah
melihat sosok mahluk jadi-jadian itu.
Mereka sih engga
mengganggu tapi cukup meresahkan beberapa warga. Banyak warga yang takut saat
melewati area tahura ketika malam mulai naik. Ketika di konfirmasi kepada pak
djani perihal tersebut beliau hanya tersenyum dan menjawab itu hanya mitos
saja, malah bagus ketika banyak warga yang takut dengan hal-hal seperti itu
jadi mereka ga se-enaknya saja merusak kawasan ini, tutur bapak yang mengaku
sukarela dalam merawat taman hutan rakyat ini.(JPD)