Thursday, April 23, 2015

Wabah Era Politik Pencitraan

Editorial Inspirasi

Akhir-akhir ini jagad wacana politik nasional menyebut demokrasi era digital adalah era pencitraan. Era politik pencitraan adalah sebuah era dimana citra diri personal si politisi atau organisasi dibangun dengan memanfaatkan kekuatan media (termasuk sosial media) untuk menggalang dukungan publik. Sebuah era yang juga bisa jadi miskin pertarungan gagasan besar. Atau era dimana publik tidak mengambil peduli pada diskusi-diskusi yang lebih fundamental semisal tema kebangsaan, keadilan, dan kerakyatan.

Dalam era politik pencitraan, gagasan dan karakter mudah mati. Orang lebih suka pada penampilan. Maka era ini segera saja bisa menjadi era pergunjingan, era penuh gosip, dan era dimana ‘kebohongan yang berulang bisa menjadi kebenaran yang kukuh’. Juga tampaknya sebuah era dimana amnesia sejarah begitu kuat; era dimana kita yang me menjadi bagian dari generasi hari ini yang asing mendengar nama Ki Bagus Hadikusuma, Hos Cokrominoto, atau M Natsir. Tak tahu wajah mereka, apalagi gagasan mereka dalam sejarah pembentukan bangsa.

Dalam buku monumentalnya yang berjudul The Presentation of Everyday Life (1959), Erving Goffman pertamakali memperkenalkan tentang dramaturgi, sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Menurut Prof. Deddy Mulyana, perspektif dramaturgi sebenarnya merupakan salah satu model pendekatan interaksi simbolik selain teori penjulukan dan etnometodologi. Melalui pendekatannya terhadap interaksi sosial, Goffman dianggap sebagai penafsir ‘teori diri’ Herbert Mead (tentang teori Herbert Mead saya sudah menulisnya di sini) dengan penekanannya  pada sifat simbolik dari manusia. Goffman sangat memperhatikan analisis interaksi manusia, ia menganggap individu sebagai satuan analisis. Untuk menjelaskan tindakan manusia, Erving Goffman memakai analogi drama dan teater.

Goffman memusatkan perhatiannya pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). Goffman menyatakan bahwa individu dapat dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, namun kesan (impression) yang diperoleh orang banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Seseorang bisa sangat yakin terhadap pertunjukan yang diperlihatkan kepadanya, tetapi bisa juga bersikap sebaliknya. Dalam teori tersebut, pencitraan yang baik harusnya dilakukan dalam dunia nyata bukan sekedar di socialmedia.

Wabah era pencitraan menjelar ke berbagai lapisan pemegang kekuasaan. Tidak terkecuali Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Akhir-akhir ini akun socialmedia BEM BSI begitu gencar mempromosikan websitenya dalam salah satu group di facebook. Selain berbagi tentang program kerja website BEM BSI berubah konten seperti portal berita.

Tujuan dibuatnya webistepun menjadi tidak jelas, seakan menjadi blunder untuk kepengurusan BEM, akun BEM BSI di jejaring social mempublish postingan berunsur pencitraan. Sebagian menilai akan lebih bijaksana apabila BEM mengoptimalkan fungsi jejaring social untuk sarana informasi terkait perkembangan kinerja BEM, bukan pencitraan yang atas kinerja yang belum terasa dikalangan mahasiswa. Akun jejaring social dan website  BEM akan menjadi media efektif apabila dioptimalkan  secara cerdas dengan substansi yang sarat informasi, mengingat persentasi penggunaan media sosial di kalangan mahasiswa sangat tinggi.


Mahasiswa masih menunggu  kerja nyata dari sebuah lembaga mahasiswa BEM BSI. fungsi aspirasi, advokasi, koordinasi, katalisator, inisiator dan fasiltator harusnya bisa terealisasi secara utuh apabila BEM itu sendiri bergerak harmonis merangkul semua elemen IKBM. Membentuk budaya kerja yang terstruktur dan sistematis sehingga makna dalam tagline 'Berani Bergerak Solutif' bukan omong kosong semata.

Comments System

Disqus Shortname