“Saya punya mimpi
besar, bagaimana sekolah ini bisa maju dan berkembang. Punya banyak
siswa dan maju seperti sekolah-sekolah yang layak dan lebih baik lagi,”
ungkap Pak Fadhil.
Inspirasi-Memasuki gerbang
pelelangan ikan, Muara Angke-Jakarta Utara bau amis dan anyir yang
menyengat
sudah terasa menusuk-nusuk rongga hidung dan menyesakkan hingga ke
paru-paru.
Jika terus melanjutkan langkah suguhan pemandangan antara sampah dan
rumah-rumah dari papan yang berderet rapat memadati area perkampungan
yang dinamakan “Kampung Baru”. Tanah becek dan jemuran ikan menjadi
tawaran pemandangan yang lain, disela-sela para anak-anak yang sedang
membantu orang tuanya menyisil ikan dari kail.
Sekolah Binaan Asuransi
Jasindo, Lembaga Pendidikan Alternatif Pendidikan Layanan Khusus Anak
Bangsa, Berbasis Anak Nelayan Muara Angke.Informasi dari sebuah papan
identitas yang tergantung didepan pintu masuk sekolah anak-anak nelayan
ini, yang dirintis oleh Bapak Fadhil Halimi sejak 2007 lalu.
Lelaki kelahiran
Palembang, ini pernah mengecap pendidikan di lingkungan pesantren di
Semarang. Beliau adalah seorang yang bijak dan berwawasan, dengan relasi
dan ikhtiar. Bapak pemilik 3 orang anak ini tak pantang menyerah
demi membangun sekolah anak-anak nelayan ini. “Saya punya mimpi besar,
bagaimana sekolah ini bisa maju dan berkembang. Punya banyak siswa dan
maju seperti sekolah-sekolah yang layak dan lebih baik lagi,” ungkap
Pak Fadhil.
Bersama istrinya
Mulyani (36), merintis dan membangun sekolah anak-anak nelayan dengan
penuh cinta dan kesabaran, serta semangat yang tak henti untuk bagaimana
mencerdaskan anak-anak. Karena bagaimanapun pendidikan untuk anak adalah
hal yang terpenting meski hanya dari seorang nelayan yang cukup mengenal
angin dan ombak di lautan.
Ibu Mulyani, juga
menuturkan segala fasilitas pendidikan dari mulai baju, tas dan
buku-buku
semua telah disediakan di sekolah anak-anak nelayan. Dan semua tidak
dikenakan biaya sepeser pun, kuncinya adalah hanya kemauan dan semangath
dari anak-anak untuk belajar dan menggali ilmu. Namun, kadangkala para
orangtua merekalah yang justru menjadi penghambat anak-anak itu pergi
ke sekolah, hal itu dikarenakan karena para orang tua lebih mengharuskan
anak-anak untuk membantu pekerjaan orang tua di rumah untuk menjemur
ikan.
“Disini itu anak-anak
bebas, anak-anak liar, tapi kami berusaha bagaimana anak-anak yang liar
itu minimal tau akan ilmu pengetahuan dan akhlak,” jelas Bu Mulyani.
Dan yang menjadi masalah yang memang harus dihadapi oleh Pak Fadhil
dan istri, adalah bagaimana memotivasi anak-anak supaya mau belajar,
bagaimana memberikan pengarahan dan pemahaman kepada orang tua tentang
pentingnya pendidikan, bagaimana menjaga sensitifitas dan kepekaan
perasaan
dari anak-anak dan keluarga, karena untuk membantu jalannya pendidikan
dan pengajaran adalah peran utama tetap pada orang tua, oleh karena
itu segala upaya demi menyambung silaturahim dan komunikasi dengan para
orang tua si anak didik adalah hal yang paling intens dilakukan.
Bangunan sekolah
anak-anak nelayan ini sudah 3 kali direhabilitasi, yang pertama pernah
diterjang badai sehingga bilik untuk sekolah terbawa hanyut oleh
ombak, sehingga harus pindah lokasi. Kemudian mulai dirintis
perlahan-lahan
lagi, namun setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 April 2011
sekolah
nelayan-nelayan mendapati musibah kebakaran. Kini dengan bilik yang
baru mulai dibangun pada Juni 2011.
Para pendidik disekolah
ini, hanyalah direkrut dari lingkungan kerabat dan saudara saja, hal
itu dikarenakan tidak adanya biaya yang memadai untuk menggaji para
guru dan karyawannya, semua dilakukan hanya dengan sukarela. Dewi,
seorang
mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Jakarta adalah salah seorang
yang mengabdikan dirinya sebagai pengajar di sekolah anak-anak nelayan
ini. Dia berjuang gigih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mahasiswi
semester 8 ini menyempatkan 1 jam waktunya (12.00 sd 13.00) disela-sela
istirahat makan siang dari tempat kerja untuk mengajar di sekolah
anak-anak
nelayan. “Mungkin sudah panggilan hati, untuk membagi sedikit ilmu
pengetahuan khususnya kepada anak-anak,”jelas Dewi saat ditanya mengapa
berbuat sedemikian.
Kini di sekolah
anak-anak nelayan, ada sekitar 64 orang yang tengah belajar dan terbagi
dalam beberapa tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, dan SMP.
Untuk tahun selanjutnya akan ada tingkatan untuk SMA. Kegiatan
belajar-mengajar
dilakukan dari hari (Senin-Kamis) tidak ada aktifitas di hari Jum'at
dan pendidikan ketrampilan dihari Sabtu dan Ahad. Bersama 4 orang
pengajar
yang terdiri dari Ibu Mulyani, Nely (anak), Dewi (kerabat), dan Umy
(keponakan). Para siswa mendapatkan Sertifikat dan Ijazah yang
statusnya disamakan.
Perjuangan ini masih
panjang ada banyak yang harus dan mesti dikerjakan agar sekolah ini
tetap berdiri setegar karang diterpa ombak dan lautan, anak-anak nelayan
itu harus terus belajar dan berkembang minimal sebagai pondasi awalnya
mereka punya pendidikan yakni ilmu Agama, Akhlak, dan bisa
Baca-Tulis-Hitung
karena tanpa ilmu dilautan pun akan goyah. Semangat menjadi kunci dan
ikhtiar dalam do'a dan usaha.#Desi
Zoehriyah dan
Ryan Maulana