Friday, May 11, 2012

Sekolah Anak Nelayan


“Saya punya mimpi besar, bagaimana sekolah ini bisa maju dan berkembang. Punya banyak siswa dan maju seperti sekolah-sekolah yang layak dan lebih baik lagi,” ungkap Pak Fadhil.

Inspirasi-Memasuki gerbang pelelangan ikan, Muara Angke-Jakarta Utara bau amis dan anyir yang menyengat  sudah terasa menusuk-nusuk rongga hidung dan menyesakkan hingga ke paru-paru. Jika terus melanjutkan langkah suguhan pemandangan antara sampah dan rumah-rumah dari papan yang berderet rapat memadati area perkampungan yang dinamakan “Kampung Baru”. Tanah becek dan jemuran ikan menjadi tawaran pemandangan yang lain, disela-sela para anak-anak yang sedang membantu orang tuanya menyisil ikan dari kail.

Sekolah Binaan Asuransi Jasindo, Lembaga Pendidikan Alternatif Pendidikan Layanan Khusus Anak Bangsa, Berbasis Anak Nelayan Muara Angke.Informasi dari sebuah papan identitas yang tergantung didepan pintu masuk sekolah anak-anak nelayan ini, yang dirintis oleh Bapak Fadhil Halimi sejak 2007 lalu.

Lelaki kelahiran Palembang, ini pernah mengecap pendidikan di lingkungan pesantren di Semarang. Beliau adalah seorang yang bijak dan berwawasan, dengan relasi dan ikhtiar. Bapak pemilik 3 orang anak ini  tak pantang menyerah demi membangun sekolah anak-anak nelayan ini. “Saya punya mimpi besar, bagaimana sekolah ini bisa maju dan berkembang. Punya banyak siswa dan maju seperti sekolah-sekolah yang layak dan lebih baik lagi,” ungkap Pak Fadhil.

Bersama istrinya Mulyani (36), merintis dan membangun sekolah anak-anak nelayan dengan penuh cinta dan kesabaran, serta semangat yang tak henti untuk bagaimana mencerdaskan anak-anak. Karena bagaimanapun pendidikan untuk anak adalah hal yang terpenting meski hanya dari seorang nelayan yang cukup mengenal angin dan ombak di lautan.

Ibu Mulyani, juga menuturkan segala fasilitas pendidikan dari mulai baju, tas dan buku-buku semua telah disediakan di sekolah anak-anak nelayan. Dan semua tidak dikenakan biaya sepeser pun, kuncinya adalah hanya kemauan dan semangath dari anak-anak untuk belajar dan menggali ilmu. Namun, kadangkala para orangtua merekalah yang justru menjadi penghambat anak-anak itu pergi ke sekolah, hal itu dikarenakan karena para orang tua lebih mengharuskan anak-anak untuk membantu pekerjaan orang tua di rumah untuk menjemur ikan.

“Disini itu anak-anak bebas, anak-anak liar, tapi kami berusaha bagaimana anak-anak yang liar itu minimal tau akan ilmu pengetahuan dan akhlak,” jelas Bu Mulyani. Dan yang menjadi masalah yang memang harus dihadapi oleh Pak Fadhil dan istri, adalah bagaimana memotivasi anak-anak supaya mau belajar, bagaimana memberikan pengarahan dan pemahaman kepada orang tua tentang pentingnya pendidikan, bagaimana menjaga sensitifitas dan kepekaan perasaan dari anak-anak dan keluarga, karena untuk membantu jalannya pendidikan dan pengajaran adalah peran utama tetap pada orang tua, oleh karena itu segala upaya demi menyambung silaturahim dan komunikasi dengan para orang tua si anak didik adalah hal yang paling intens dilakukan. 

Bangunan sekolah anak-anak nelayan ini sudah 3 kali direhabilitasi, yang pertama pernah diterjang badai sehingga  bilik untuk sekolah terbawa hanyut oleh ombak, sehingga harus pindah lokasi. Kemudian mulai dirintis perlahan-lahan lagi, namun setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 April 2011 sekolah nelayan-nelayan mendapati musibah kebakaran. Kini dengan bilik yang baru mulai dibangun pada Juni 2011.

Para pendidik disekolah ini, hanyalah direkrut dari lingkungan kerabat dan saudara saja, hal itu dikarenakan tidak adanya biaya yang memadai untuk menggaji para guru dan karyawannya, semua dilakukan hanya dengan sukarela. Dewi, seorang mahasiswi  di Universitas Muhammadiyah Jakarta adalah salah seorang yang mengabdikan dirinya sebagai pengajar di sekolah anak-anak nelayan ini. Dia berjuang gigih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mahasiswi semester 8 ini menyempatkan 1 jam waktunya (12.00 sd 13.00) disela-sela istirahat makan siang dari tempat kerja untuk mengajar di sekolah anak-anak nelayan. “Mungkin sudah panggilan hati, untuk membagi sedikit ilmu pengetahuan khususnya kepada anak-anak,”jelas Dewi saat ditanya mengapa berbuat sedemikian.

Kini di sekolah anak-anak nelayan, ada sekitar 64 orang yang tengah belajar dan terbagi dalam beberapa tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, dan SMP. Untuk tahun selanjutnya akan ada tingkatan untuk SMA. Kegiatan belajar-mengajar dilakukan dari hari (Senin-Kamis) tidak ada aktifitas di hari Jum'at dan pendidikan ketrampilan dihari Sabtu dan Ahad. Bersama 4 orang pengajar yang terdiri dari Ibu Mulyani, Nely (anak), Dewi (kerabat), dan Umy (keponakan). Para siswa mendapatkan Sertifikat dan Ijazah yang  statusnya disamakan.

Perjuangan ini masih panjang ada banyak yang harus dan mesti dikerjakan agar sekolah ini tetap berdiri setegar karang diterpa ombak dan lautan, anak-anak nelayan itu harus terus belajar dan berkembang minimal sebagai pondasi awalnya mereka punya pendidikan yakni ilmu Agama, Akhlak, dan bisa Baca-Tulis-Hitung karena tanpa ilmu dilautan pun akan goyah. Semangat menjadi kunci dan ikhtiar dalam do'a dan usaha.#Desi Zoehriyah dan Ryan Maulana

Comments System

Disqus Shortname