“Pandangan dan Kajian kritis terhadap sistem kampus Akademik Bina Sarana Informatika”
Sejak dilahirkan, manusia memiliki minat dan bakat, serta cara pandang masing-masing. Oleh karena itu, mereka memiliki asumsi masing-masing dalam menyiapkan dan menyimpulkan keinginan masa depannya. Kenyataan bahwa manusia memiliki pandanganya masing-masing mengenai masa depanya adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Oleh karena mereka memiliki berat beban akan minat dan bakat yang berbeda-beda, maka mereka sudah berbuat sesuatu untuk dirinya dan masa depanya dengan cara yang berbeda, dan sekali lagi, ini merupakan potensi yang given, yang kita sebagai manusia tidak mampu untuk menolaknya.
Institusi pendidikan harus melihat potensi, baik minat maupun bakat serta cara pandang sebagai modal kekuatan yang harus digunakan untuk menggali potensi kehidupan. Karena dengan potensi dasar inilah, manusia akan mampu menemukan jati dirinya masing-masing di masa depan. Dengan potensi dasar yang dimiliki oleh anak didik, maka pendidikan menjadi penentu masa depan. Dengan pendidikanlah, anak didik akan mengetahui apa yang harus dilakukan di masa depan. Sehingga, ada yang pada awalnya tidak pandai menulis, lalu dia menjadi produktif dengan tulisan-tulisan yang analitif. Ada yang pada awalnya tidak mampu menjadi pembicara, lalu dia muncul di setiap seminar-seminar dan dialog-dialog sebagai pembicara ulung. Meskipun pada alam bawah sadarnya, muncul kesadaran bahwa keinginan itu bukanlah apa yang diharapkanya.
Kampus, menjadi sebuah institusi tolok ukur budaya global. Karena kampus adalah wadah keilmuan yang digapai dari jenjang dasar sampai menengah, sehingga kampus menjadi institusi pendidikan tertinggi bagi siswa didik untuk melakukan dan mengaplikasikan keilmuan yang telah diraihnya. Inilah yang disebut budaya global. Dimana kampus menampung semua ragam lokalitas anak didiknya dengan memperhatikan corak karakter dan cara pandang. Oleh karena itu, kampus bertanggungjawab atas arah yang ingin ditempuh oleh anak didiknya, jika tidak, kampus akan menjadi sarang bagi lahirnya para perusak budaya.
Pihak kampus harus memberikan gambaran kenyataan dilapangan secara terbuka, dimana mahasiswa akan dilepas sebagai suatu reduksi dari pelaksanaan keilmuanya. Dari perspektif ini, maka kampus dituntut untuk melakukan produksi keilmuan yang kritis dan patut menjadi acuan bagi keadaan lingkunganya berdasarkan atas perbedaan minat, bakat dan cara pandang yang dimiliki mahasiswanya berdasarkan hasil analisa yang mereka capai.
Mahasiswa yang menjadi salah satu elemen penting, merupakan sebuah simbol kemajuan pendidikan, yang disiapkan untuk mampu turun kedalam kenyataan sosial apapun fungsi dan tugasnya sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki sebagai modal awal. Namun kenyataan sistem didalam kampus, kampus tidak memberikan sedikit ruang untuk mahasiswa menggali potensi. Minimnya fasilitas, tidak adanya kerjasama yang jelas antara kampus dengan lapangan, dimana mahasiswa akan dibentuk dan dihadapkan dengan realita. Kampus seperti kehilangan arah kemana mahasiswanya akan diarahkan. Seperti ajang tahunan dan tanpa rasa bersalah, kampus menumbuhkan lulusan-lulusan yang tidak siap pakai. Satu sisi kampus mengalami kebutaan, di sisi lain, mahasiswa dibutakan oleh sistem institusi pendidikanya.
Melakukan pembiaran akan kekosongan aktifitas mahasiswa, dan melakukan pengekangan terhadap ekspresi-ekspresi yang dilakukan oleh mahasiswa adalah gejala awal dimana terjadi perlawanan antara potensi dengan sistem. Perbedaan oleh pihak kampus dianggap sebagai salah satu pengganggu sistem yang berjalan. Seolah mitos, budaya religius menjadi tameng pembenaran pihak kampus atas pengekangan yang terjadi. Padahal seharusnya, bukan itu yang menjadi subtansi kampus mengurusi mahasiswanya, melainkan bagaimana kampus menjadikan akademi sebagai sentris, dan perbedaan cara pandang dalam mengekspresikan pikiranya sebagai modal kekuatan untuk menunjukan bahwa kampus memiliki coraknya sendiri.
Bila kampus tetap melihat daya kritis sebagai perlawanan terhadap sistem, maka kampus akan membunuh skala besar potensi yang dimiliki oleh mahasiswa. Karena kampus bukan lembaga penahanan atau lembaga pemasyarakatan dimana penuh aturan dan larangan. Jadi jangan heran bila kampus BSI seolah seperti berjalan ditempat. Mahasiswanya secara kuantitas mengalami peningkatan, tapi secara kualitas tidak siap bersaing dengan kampus lain atau pun sebaliknya.
Membangun Kesadaran Diri
Ketika kampus secara struktural tidak mampu melakukan aktualisasi kepada mahasiswa, maka mahasiswa harus mampu memfasilitasi dirinya sendiri dengan menyadari kebutuhan-kebutuhan yang ingin diraih. tidak adanya upaya kampus untuk mengaktualisasikan mahasiswa, bukan berarti tidak ada jalan untuk meraih apa yang dibutuhkan.
Jalan membentuk kesadaran dalam melakukan aktualisasi diri sebenarnya terbentang luas selama alam dan manusia mampu bekerjasama dengan baik. Alam menyediakan segala kekayaanya untuk diteliti. Manusia memiliki daya pikir yang luas yang mampu menjangkau segala sisi bumi. Namun, kelapangan tersebut kemudian dipersempit dengan permasalahan-permasalahan yang sudah dipaparkan dalam tulisan diatas.
Disisi lain, ada faktor lain yang menutup jalan mahasiswa. secara struktural permasalahan itu muncul dari aspek pengkerdilan sudut pandang, antara lain:
Doktrinasi pengekangan atas kehendak mahasiswa dalam memilih jalan mana yang akan hendak dituju, seakan mendikte mahasiswa atas suatu nilai mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang negatif, dan mana yang posistif, padahal nilai-nilai negatif-positif, nilai baik-buruk ditentukan oleh bagaimana individu melakukan eksplorasi diri dengan keilmuanya,
Struktural yang mengekang kreatifitas mahasiswa, layaknya era otoriter, dan zaman penjajahan, mahasiswa dikurung dalam ruang kehormatan palsu. Menuruti kehendak siapa yang memiliki modal-modal, siapa yang layak dipandang dari segi kekuasaan dan penguasaan tertentu dengan melakukan penindasan dibalik ancaman-ancaman. Seakan mahasiswa tidak memiliki jalan lain dalam menentukan aktualisasi diri.
Dari permasalahan diatas, doktrinasi menjadi senjata ampuh untuk melakukan penindasan pada tahap awal. Mahasiswa menjadi objek kepalsuan dibalik opini-opini. Kebohongan cerita mengenai masa lalu, seolah menjadi cerita kepahlawanan pihak tertentu.
Nilai baik-buruk, positif-negatif diarahkan sedemikian rupa dengan gaya komunikasi berwibawa. Dengan modal anggapan bahwa mahasiswa tidak mengetahui apapun dikampus, mahasiswa dilarang untuk memilih jalanya sendiri. Dengan khawatir dan harap-harap cemas, mahasiswa dibuat percaya akan dampak dan akibat atas apa yang akan dipilihnya berdasarkan cerita-cerita.
Padahal, andai saja mahasiswa diberikan kelapangan untuk memilih jalanya sendiri atas apa yang akan dipilihnya, maka mahasiswa secara normal akan mengalami proses kematangan dalam berfikir. Mendewasakan diri dalam menerima konsekuensi atas pilihanya sendiri tanpa ada doktrin-doktrin tertentu. Jika saja kita mau belajar dari telur yang tidak mau menetas sebelum dieramkan oleh induknya. Kupu-kupu yang tidak menjadi indah sebelum melakukan proses metamorfosa.
Jika doktrinasi ini dilakukan terus menerus, maka yang terjadi adalah suatu kesenjangan dalam tatanan kampus. Mahasiswa menjadi kerdil dan semakin menjadi tidak dewasa, karena apapun yang akan dilakukan dan akan dipilih, mahasiswa akan selalu minta dituntun, masalah kecil menjadi besar, premanisme akan berkembang, konflik terjadi dimana-mana. Ketika gejala ini terjadi, kondisi kampus akan sulit untuk dikembalikan kepada tatanan yang semestinya ,wibawa dan keilmuan yang penuh tanggung jawab.
Kesadaran diri yang diharapkan tumbuh sebagai budaya, bahwa kampus tidak lagi mampu menopang segala minat, bakat, dan cara pandang, maka mahasiswa mestinya berfikir secara terarah yang berawal dari apa yang menjadi kebutuhanya. Karena pemenuhan kebutuhan akan dicapai dari cara pikir dan sudut pandang yang tersistematis, terarah, dan fokus dengan baik.
Proses kematangan dan pendewasaan diri mahasiswa muncul dari kesadaran bahwa kita adalah manusia, bahwa manusia memilliki kehendak yang tidak selalu berada dalam sakralitas struktural, sehingga manusia mampu menjajaki minat, bakat, dan cara pandang keilmuanya dengan bertanggungjawab.
Manusia yang terlepas dari doktrin adalah manusia yang secara cerdas dan tegas memilih. Menyadari bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi, namun memiliki nilai tinggi dalam proses mendewasakan diri dan bertanggungjawab. Sadar bahwa diri memiliki kelapangan dan kebutuhan akan diri yang merdeka, bukan sebagai budak, melainkan sebagai mahasiswa.
Oleh: Moch. Tahajuddin