Oleh : Agus Sofyan Saputra
Suara itu entah datang dari mana? Aku dan Randika mengejarnya keluar disaat terdengar suatu bisikan: “kemari…kemarilah” Aku pikir hanya diriku yang mendengarnya. Namun disaat saling menatap, aku tahu kalau Radit juga merasakan hal yang sama.
Kami berlari kebawah mengejar nara sumber suara yang sepersekian detik mengiang-melantun nada penasaran: “kemari…kemarilah”
Malam itu, kami berdua terlelap tidur dan terbangun pada 3:15 dini hari. Dibangunkan oleh hal serupa. Setengah berlari kami keluar kamar dan saling tatap, menuju kebun disamping rumah, dimana aliran sungai entah kali krukut mengalir dan bersua dengan sungai lainnya bergabung menuju laut lepas. Aku pikir manusia perlu memilih jalannya sendiri, bersua dengan manusia lainnya dan menuju perayaan carnival kehidupan di laut lepas yang sama.
Udara dingin yang menusuk tulang terasa. Ini hal aneh, Jakarta dini hari tidak pernah sebeku ini. Kami saling tatap untuk kedua kalinya, mata kadang cukup menjelaskan saling kesepahaman, tanpa sadar langit begitu indah baru kali itu di masa muda kami melihat langit ditaburi bintang kemintang saling kerlap mengkerlip.
Randika celangak-celinguk sambil mencari sesuatu.
Kami berlari kebawah mengejar nara sumber suara yang sepersekian detik mengiang-melantun nada penasaran: “kemari…kemarilah”
Malam itu, kami berdua terlelap tidur dan terbangun pada 3:15 dini hari. Dibangunkan oleh hal serupa. Setengah berlari kami keluar kamar dan saling tatap, menuju kebun disamping rumah, dimana aliran sungai entah kali krukut mengalir dan bersua dengan sungai lainnya bergabung menuju laut lepas. Aku pikir manusia perlu memilih jalannya sendiri, bersua dengan manusia lainnya dan menuju perayaan carnival kehidupan di laut lepas yang sama.
Udara dingin yang menusuk tulang terasa. Ini hal aneh, Jakarta dini hari tidak pernah sebeku ini. Kami saling tatap untuk kedua kalinya, mata kadang cukup menjelaskan saling kesepahaman, tanpa sadar langit begitu indah baru kali itu di masa muda kami melihat langit ditaburi bintang kemintang saling kerlap mengkerlip.
Randika celangak-celinguk sambil mencari sesuatu.
“Ka…?”
Aku pun langsung menarik diri dari kekaguman ku terhadap 99 bintang benderang diatas hamparan langit.
” Ya De,” jawab ku.
Dihadapan kami ada sebuah titik kecil sebesar pupil hitam mata manusia, berganti warna emas, perak, merah, biru, kuning, hijau dan semua gradasinya, kecuali hitam dan putih yang tidak hadir disitu. Setiap pergantian warna sepersekian detik, maka titik se(u)pupil itu semakin membesar. Berbarengan dengan membesarnya ukuran titik tersebut semakin besar pula daya hisap yang menarik seluruh kehidupan di luarnya. Insting primitif kami, ketakutan kami ,mendorong kami mencari sesuatu untuk di pegang. Disaat kami berlari titik sudah sebesar ukuran roda pedati, aku sempat meraih tiang saung dan menoleh karena teriakan adikku:
“Ka tolong gueeeee” Randika tidak dapat meraih apapun dan ikut tersedot oleh apapun yang ada disitu.
Pias!!! hanya ada 2 pilihan bagiku, mau ikut masuk pusaran titik tersebut dengan terpaksa oleh sedotan kuat atau memilih memasukinya dengan ikhlas.Bismillahirahmanirrahiim ucapku sambil melepaskan pegangan pada tiang saung, melompat memasuki petualangan baru. Aku kira disaat aku memasukinya akan bergabung dengan Dika yang lebih dulu tersedot, tapi tidak ku temukan sama sekali adikku tersebut.
Titik ini seperti lorong tanpa ujung, aku hanya bisa merapal begitu banyak ajian. Aku takut kolong wewe, atau kadam mahluk yang biasanya Kakekku ceritakan diwaktu kecil di malam kami tidak mau tidur, terutama malam sebelum Idul Fitri. Kadam mahluk besar bermata satu menghantui pikiranku. Jangan-jangan Kadam itu ada dengan segala upayanya mencari pengikut terutama anak kecil dan remaja. Waduh…jangan-jangan Dika dimakan Kadam.
Entah berapa lama aku tersedot seperti diruang vakum, tiba-tiba berhenti, aku berada diruang besar tidak ada apapun kecuali tembok2 ruangan yang terbuat dari kaca. Kaca-kaca yang terbuat oleh batu permata terbaik melebihi yang ada di Indonesia.
Setiap dinding memiliki lebih dari sepuluh bagian kaca, setiap aku lewati. Aku melihat diriku dalam tampilan yang berbeda, kadang aku liat diriku waktu aku berumur 5 tahun, kadang aku liat diriku penuh amarah atau kadang aku terlihat penuh isak tangis atau muka penuh arang atau seperti “Sofyan” yang lain. Masih dengan rasa takut dan mencari-cari Dika, aku perhatikan setiap potongan kaca menceritakan semua yang pernah aku lewati dalam hidup. Tidak hanya itu saja, kaca disebelah kiriku berbicara lain lagi. Kaca-kaca ini memantulkan sifat-sifat dan raut muka ku pemarah, tidak sabar, tukang melawan.
Pias!!! hanya ada 2 pilihan bagiku, mau ikut masuk pusaran titik tersebut dengan terpaksa oleh sedotan kuat atau memilih memasukinya dengan ikhlas.Bismillahirahmanirrahiim ucapku sambil melepaskan pegangan pada tiang saung, melompat memasuki petualangan baru. Aku kira disaat aku memasukinya akan bergabung dengan Dika yang lebih dulu tersedot, tapi tidak ku temukan sama sekali adikku tersebut.
Titik ini seperti lorong tanpa ujung, aku hanya bisa merapal begitu banyak ajian. Aku takut kolong wewe, atau kadam mahluk yang biasanya Kakekku ceritakan diwaktu kecil di malam kami tidak mau tidur, terutama malam sebelum Idul Fitri. Kadam mahluk besar bermata satu menghantui pikiranku. Jangan-jangan Kadam itu ada dengan segala upayanya mencari pengikut terutama anak kecil dan remaja. Waduh…jangan-jangan Dika dimakan Kadam.
Entah berapa lama aku tersedot seperti diruang vakum, tiba-tiba berhenti, aku berada diruang besar tidak ada apapun kecuali tembok2 ruangan yang terbuat dari kaca. Kaca-kaca yang terbuat oleh batu permata terbaik melebihi yang ada di Indonesia.
Setiap dinding memiliki lebih dari sepuluh bagian kaca, setiap aku lewati. Aku melihat diriku dalam tampilan yang berbeda, kadang aku liat diriku waktu aku berumur 5 tahun, kadang aku liat diriku penuh amarah atau kadang aku terlihat penuh isak tangis atau muka penuh arang atau seperti “Sofyan” yang lain. Masih dengan rasa takut dan mencari-cari Dika, aku perhatikan setiap potongan kaca menceritakan semua yang pernah aku lewati dalam hidup. Tidak hanya itu saja, kaca disebelah kiriku berbicara lain lagi. Kaca-kaca ini memantulkan sifat-sifat dan raut muka ku pemarah, tidak sabar, tukang melawan.
Loh, mana pantulan sifat baikku?” dalam hati aku khawatir.
kemanakah sebagian dari diriku yang lain?
Sampai di ujung aku melihat cahaya kemilau keluar.
Perasaan nyaman aku rasakan dan kilauannya pun tidak menyilaukan serta menusuk mata yang pasti hati kecil ku tertembus dan cahaya itu pun merembes memberikan ketenangan suara yang aku dengar sebelumnya kembali menggema: “kemari…kemarilah”
Keraguan terbesit mengingat sumber suara berasal dari sumber cahaya yang ada di depanku.
”Ugh ah sudahlah,” aku beranikan diri melangkah memasukinya dan menelusuri cahaya dan suara untuk mencari sumbernya.
Tiba-tiba dalam penelusuranku, di atas langit-langit ruangan bercahaya tersebut mulai menetes air sedikit demi sedikit, membasahi muka ku dan semakin lama semakin deras, semakin lama membanjir. Aku berlari namun menabrak suatu dinding transparan, sedangkan disaat menoleh kebelakang jalan yg ku lewati sudah tidak ada. Seperti masa lalu yang tidak bisa diulang, air semakin memenuhi ruangan dan telah sampai dileherku. Ya Allah aku bisa kelelep.
La ila ha illa Lah rapalku terus menerus.
akhirnya air sudah memenuhi ruangan dan aku berusaha pasrah mengandalkan sisa nafasku didalam air, anehnya pengalaman yang baru aku lewati memberikan aku kekuatan ganda untuk menghadapi kesendirian yang membunuh ini.
Tiba-tiba pipi ku seperti ada yg menampar. Dalam keadaan nafas 1-2 aku panic, apa yang terjadi, di dalam air ada yang menampar ku dan setelahnya kesadaranku tertarik oleh kepanikanku…black out!!!
“Yan…Yan bangun Yan…ini sudah subuh”
“Yan…Yan bangun Yan…ini sudah subuh”
“Sholat subuh dulu, Ayah sudah menunggu kita untuk Jama'ah,” suara itu terdengar seperti suara yang akrab.
“Buruan donk, itu air di kali depan sudah naik. Bentar lagi banjir kedalam, buruan bangun dan solat”.
Aku tersedak dan bangun terperangah. Mamah yang sedari tadi mencoba membangunkan ikut terkaget melihat aku bangun seperti habis bertemu Kadam.
“Kamu mimpi buruk lagi, Yan?” Tanya Mamah setengah biasa.
”Randika mana Mah?” Tanya ku.
Dia sudah di mushola sama Ayah.
“Fuiihh” sambil menarik nafas lega.
Aku bangun mengambil wudhu dan bersatu dalam alunan kudus dengan seluruh keluarga dan hujan pun turut mengamini pertemuan 5 waktu dalam sehari itu.
…………………***…………………
“Yan semalam lo kemana? Gw kira elo di makan Kadam”.
“Yan semalam lo kemana? Gw kira elo di makan Kadam”.
“Hahahaha” kita berdua tertawa renyah.
”Elo mimpi lagi ya ka?” “Yoi sob” jawabku.
”Mamah bilang elo ngigo ya Yan?”
“Iya tuh si Sofyan ngigo sambil meracau indah, indah, indah, subhanallah, subhanallah, subhanallah”
Mamah menyela sambil memberikan semangkok papaya bagi kami masing-masing. “Mamah kira ini anak mimpi cewek gebetannya dia, itu tuh si Andam”
“Hahahahaha, elo kebanyakan si sob” kataku.
“Kak” sela Randika, coba deh lo liat kedua telapak tangan lo” sambil menyeraup potongan papaya manis buatan nyokap.
“Kak” sela Randika, coba deh lo liat kedua telapak tangan lo” sambil menyeraup potongan papaya manis buatan nyokap.
Aku buka telapak tanganku “Emang kenapa sob”.
“Coba perhatiin baik-baik” sahut Randika.
“Apaan si ah ga ngerti gw”
“Coba liat ada angka arab berapa di kedua tangan lo” Aku masih terperangah dan mengelengkan kepala tanda heran.
“Iya coba lihat lah telapak lo ada angka arab berapa disitu”.
“Ok” sambil ku perhatiin telapakku baik2…hm… ^I dan I^…hmmmm…
”Di kiri gw ada ^I dan di kanan gw I^” sambil masih heran tidak mengerti maksud Randika apa. “Ya, jadi 81 di kiri lo dan 18 ditangan kanan lo”
“Oh ya?” aku berbarengan dengan Mamah menyahut. Mamah yang dari tadi menyiapkan sarapan kita ternyata juga melakukan yang sama, mengamati telapak tangannya sendiri.
“Lantas?” kali kedua aku dan Mamah berbarengan menyahut.
“Coba lo tambahin angka yang dikiri dan di kanan, berapa?”
“99!” sekarang kita bertiga serempak.
Lalu Randika pun bercerita, semalam ia bermimpi tersedot oleh satu lobang sebesar pupil berwarna-warni dan muncul di sebuah padang pasir nan tak bertepi. Padang pasir di bawah dan padang bintang diatas.
Lalu Randika pun bercerita, semalam ia bermimpi tersedot oleh satu lobang sebesar pupil berwarna-warni dan muncul di sebuah padang pasir nan tak bertepi. Padang pasir di bawah dan padang bintang diatas.
”Luar biasa” lanjut Randika,
“Subhanallah” sahut Mamah.
Randika melanjutkan; antara hamparan padang pasir, angin yang berhembus dan bintang kemilang ia merasakan menyatu dengan semuanya, padang pasir membisikan dia kebijaksanaan-kebijaksanaan, angin yan berhembus menceritakan kisah-kisah dari seberang lautan dan bintang kemilang memberikannya petunjuk. Lantas dalam keheningan nan syahdu semua anasir menjadi satu dalam batin.
Tiba-tiba dari arah barat, timur, utara, selatan berdatangan dengan sepersekian detik bintang-bintang dengan berbagai macam cahaya nur memancar, setiap bintang dengan cahaya berbeda dengan didalamnya terkandung satu kata Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, Al-Salam,Al-Mu'min, Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir, Al-Khaliq, Al-Bari, Al-Musawwir Al-Ghaffar, Al-Qahhar, Al-Fattah sampai dengan An Nur. Semua bintang membawa 99 kebijaksanaan dengan warna-warni berlainan.
Dalam keadaan terkesima, Randika membuka tangannya dan mengadahkan keatas. Seketika, semua bintang cahaya nan bijak berputar dengan sebuah pola tertentu, seperti sekumpulan koloni tawon bertasbih mengelilingi sarang madu. Setelah itu kumpulan cahaya ini merasuki kedua telapak tangan Randika. Terasa panas, aliran cahaya itu menembus kulit telapak tangannya. Disaat bersamaan sesuatu membisikkannya, manusia diciptakan sebagai Khalifah, sebagai wakil Allah memelihara alam menegakkan “DIN” pada “MA” di bumi, kembalilah…kembalilah kau…
Dalam keadaan terkesima, Randika membuka tangannya dan mengadahkan keatas. Seketika, semua bintang cahaya nan bijak berputar dengan sebuah pola tertentu, seperti sekumpulan koloni tawon bertasbih mengelilingi sarang madu. Setelah itu kumpulan cahaya ini merasuki kedua telapak tangan Randika. Terasa panas, aliran cahaya itu menembus kulit telapak tangannya. Disaat bersamaan sesuatu membisikkannya, manusia diciptakan sebagai Khalifah, sebagai wakil Allah memelihara alam menegakkan “DIN” pada “MA” di bumi, kembalilah…kembalilah kau…
Aku dan Mamah yang sedari tadi berusaha mendengarkan cerita bin ajaib tersebut tersadar. “Terus-terus” ucap Mamah memecah keheningan. Randika sambil tersenyum menyeraup potongan papaya di sendok terakhir, tidak mengakhiri ceritanya. Hanya senyuman menyebalkan! Hah...! Aku setengah jengkel memutuskan meninggalkan meja makan yang terkadang sekaligus menjadi meja diskusi tersebut.
“Eh Ka mau kemana lo, elo sendiri belum cerita,” panggil Randika dengan Senyumnya yg makin menyebalkan. Mamah yang menyaksikan sambil bergabung dengan senyum. Dika menyela “Ka kamu sendiri emang mimpi apalagi semalam?” Aku rogoh kantong celana pendek yg ku pakai,
“Sudahlah mimpi buruk ya buruk, jawab ku gusar”.
“Ini sob” sambil ku lempar secarik kertas orat-oret ke muka Dika.
“Apaan ni Ka?, wangsit lagi ni…wahahaha”.
“Baca aja lah” jawab ku makin gusar. Mamah langsung mendekat ke Dika untuk ikut membaca.
The Mirror Reflect the Self
The Soul Searcher lost in space
Without question
Without reason
Without any single explanation
Nor scientific or poetic
This carnage narration…is a mirror
A reality beyond common sense reality
For sure I'm dead…Killed by thousand and light
For Sure I'm dead…killed by thousand and mirrors
In silent…I'm dead without definition
In silent…I'm dead without identification
Sebelum mereka selesai membaca, aku pamit mundur seribu langkah menuju kamar. Sambil setengah berlari, aku bergumam: “Mimpi yg aneh!. Manusia sebagai cermin…ckckck...
The Mirror Reflect the Self
The Soul Searcher lost in space
Without question
Without reason
Without any single explanation
Nor scientific or poetic
This carnage narration…is a mirror
A reality beyond common sense reality
For sure I'm dead…Killed by thousand and light
For Sure I'm dead…killed by thousand and mirrors
In silent…I'm dead without definition
In silent…I'm dead without identification
Sebelum mereka selesai membaca, aku pamit mundur seribu langkah menuju kamar. Sambil setengah berlari, aku bergumam: “Mimpi yg aneh!. Manusia sebagai cermin…ckckck...